Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 - Tanggung Jawab yang Bagaimana?
Pertanyaan konyol, orang gila saja mungkin tahu jawabannya. Bagaimana bisa Ervano bertanya lagi, begitu pikir Haura dalam diam sebelum kemudian menjawab lesu. "Pikir saja sendiri, apa mungkin tidak takut?"
Sesuai dugaan Ervano, Haura memang takut hingga membuat pria itu menghela napas panjang. "Saya tidak segila itu, Haura ... kalau bukan karena obat yang kamu masukkan ke dalam_"
"Shut!! Untuk masalah ini mohon diingat, saya tidak bermaksud memasukkan obat perang-sang ke dalam minuman Anda, tidak sama sekali!!" Haura kembali ke mode formal dan menganggap Ervano sebagai seseorang yang terhormat tatkala memberikan penjelasan.
Sebisa mungkin dia tetap bersikap sopan agar Ervano mengerti dan tidak berpikir aneh setelah ini. "Akan tetapi, entah kenapa justru berubah dan jadi petaka untuk saya padahal awalnya ...."
Gleg
Kelepasan, tidak seharusnya dia sejujur itu dan Haura benar-benar baru sadar. Terlambat, karena kini Ervano seolah sudah menunggu jawabannya.
"Pada awalnya apa? Kamu memang berniat mencelakai saya?"
"Ti-tidak!! Saya hanya_"
"Hanya apa? Katakan, apa yang sebenarnya kamu rencanakan, Haura?"
"Tidak ada, lupakan saja." Tidak ingin salah menjawab, Haura kembali melanjutkan perjalanan.
Rasanya juga percuma menjelaskan kepada Ervano, toh posisinya tetap sama-sama salah. Akan lebih baik jika malam ini dia mengakhiri pertemuan dengan Ervano segera.
Tanpa berucap, Haura menambah kecepatan agar segera tiba. Bukan ke apartemen tentu saja, Haura tidak mau terjebak untuk kedua kalinya.
Cukup kemarin saja dia yang bodoh, malam ini tidak lagi. Meskipun keadaan Ervano lebih memprihatinkan malam ini, Haura tidak peduli.
Dia hanya bersedia mengantar Ervano ke rumah sakit, lagi pula mana mungkin luka seperti itu bisa dirawat sendiri di rumah tanpa pertolongan dokter.
Tidak begitu lama waktu yang diperlukan oleh Haura untuk tiba di rumah sakit terdekat. Tanpa peduli kualitas, Haura percaya saja dan memilih yang paling dekat.
Begitu tiba, Ervano dibuat terkejut begitu sadar dimana dirinya kini berada. "Kita dimana?"
"Rumah sakit," jawab Haura masih baik, tetap ada sopannya walau nama rumah sakit sudah terpampang jelas di depan mata.
Mendengar jawaban Haura, Ervano mendadak terdiam dan melayangkan tatapan tak terbaca ke arah Haura. "Kenapa ke rumah sakit? Saya bilang_"
"Saya tidak mau, kalau memang tetap memaksa ... pesan taksi online saja," tegas Haura sudah siap dengan ponselnya andai memang Ervano memaksa harus pulang ke apartemennya.
Ervano terdiam, sementara Haura kini masih memberikan pilihan. "Gimana? Mau ke apartemen atau rumah sakit? Saya masih baik hati dan berniat tanggung jawab atas luka yang Anda alami, itu saja."
"Fine, rumah sakit," jawab Ervano memejamkan mata.
Masih dengan penampilan yang terlihat tak berdaya di samping Haura, Ervano tetap tidak tergerak untuk turun segera.
Sampai akhirnya, Haura melepas seat belt dan mempersilakan Ervano untuk turun. "Silakan turun."
"Terus kamu?"
"Ya pulanglah, Bapak berharap apa memang? Saya jagain gitu? Hah?"
Ervano bertanya baik-baik, tapi Haura seperti ngajak bertengkar dengan melibatkan emosi di sana.
"Bukan begitu, tapi bukankah kamu sendiri yang mengatakan akan bertanggung jawab?"
Mulut Haura seketika menganga tatkala mendengar Ervano justru menagih ucapannya beberapa saat lalu. Padahal, sewaktu Haura bicara pria itu seperti tidak mendengar dengan baik.
"Kenapa? Kamu sendiri yang bilang tadi, 'kan?"
Sungguh menyesal Haura bicara, agaknya dia memang harus lebih berhati-hati kepada pria yang memang belum dia kenali secara personal ini.
"Fine, tapi setelah ini jangan pernah mengusik hidup saya lagi!!"
Tak berjanji, Ervano diam saja dan pasrah dengan perlakuan Haura yang terkesan dingin. Bagaimana tidak? Langkahnya sewaktu membantu jelas sekali terlihat tidak niat.
Walau begitu, nyatanya Haura tetap baik bahkan rela meluangkan waktu untuk menunggu, padahal bukan siapa-siapa.
Berawal dari dia yang sebenarnya khawatir bocor di kepala Ervano parah dan bisa membuatnya kembali terjebak dalam petaka, Haura dibuat terkejut begitu mengetahui semua luka yang ada di tubuh Ervano sewaktu diperiksa.
Terlebih lagi, luka di telapak tangan yang ternyata cukup dalam dan butuh dijahit. Bisa dipastikan luka itu bukan sekadar tergores, sampai Haura ngilu membayangkannya.
.
.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Haura basa-basi demi memastikan yang melakukannya Abimanyu atau bukan.
Ervano menatap Haura sekilas, wanita yang telah membuatnya persis pria lemah itu masih setia di sisinya. "Apanya?"
"Telapak tangannya."
"Oh ini?" Ervano memperlihatkan telapak tangan yang sudah diganti perbannya dan juga dijahit tentu saja. "Ini luka," lanjutnya kemudian.
"Aku tahu itu luka, maksudku luka karena apa?" Bukan bermaksud perhatian, Haura hanya ingin tahu penyebabnya, itu saja.
Tak segera menjawab, Ervano seperti sengaja merahasiakan hal itu sampai Haura malas juga. "Baiklah, saya rasa cukup sampai di sini ... saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Anda bisa meminta keluarga atau istri Anda datang ke sini."
Begitu tegas Haura katakan dengan maksud agar Ervano sadar akan statusnya. Namun, alih-alih sadar Ervano menahan kepergian Haura.
"Bisakah kamu tetap di sini sampai keadaan saya benar-benar membaik?"
"Tidak."
"Kenapa? Tanggung jawabmu baru setengah kalau hanya sebatas ini."
"Shuuut!! Jangan bicara tentang tanggung jawab ... coba pikir lagi siapa korban sebenarnya di sini?" Haura balik bertanya sembari bersedekap dada.
Sikap Ervano yang justru terbalik dan seperti tidak sadar posisi semacam ini sungguh membuat Haura kesal sebenarnya.
"Saya, saya korban di sini!! Terlepas dari kejadian awal, saya tetap korban karena sebagai pelaku Anda bisa melakukan cara lain jika hanya karena obat itu!!" tegas Haura menggunakan analogi yang sempat Abimanyu sampaikan kepadanya.
Selama Haura menegaskan duduk masalahnya, Ervano terus menatap lekat bahkan tidak berkedip di sana.
Hingga selesai, barulah dia menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian dia embuskan perlahan. "Jadi maksudmu bagaimana? Butuh pertanggungjawaban atas apa yang terjadi malam kemarin?"
Gleg
Untuk kesekian kali Haura menyesal bicara. Niat hati menampar Ervano dengan fakta, nyatanya Haura sendiri yang gelagapan dibuatnya.
"Katakan, tanggung jawab apa yang kamu inginkan?"
"Eum ...." Lidah Haura mendadak kelu, seperti tidak berguna tatkala Ervano justru menawarkan tanggung jawab atas perbuatannya.
"Hem? Katakan saya harus bagaimana? Jangankan kompensasi, pernikahan pun akan saya berikan, Haura," tegas Ervano begitu yakinnya.
Sontak Haura terkekeh, merasa geli mendengar pernyataan Ervano.
"Kenapa tertawa? Saya tidak bercanda."
"Thanks, tapi saya tidak butuh kompensasi apalagi dinikahi!! Cukup jangan usik ketenangan saya dan anggap tidak ada yang terjadi, permisi!!" pungkas Haura berlalu pergi meninggalkan Ervano tanpa kata.
Kali ini agaknya pria itu mengalah, dia tidak membuntuti Haura lagi hingga bisa melangkah dengan bebas. Sembari berjalan, Haura mengutuk Ervano. "Dasar gila!! Bisa-bisanya dia menawarkan pernikahan padahal statusnya masih pria beris_"
"Bagus!! Ternyata ini alasanmu kenapa kekeuh minta putus, Haura?"
"Heuh?"
.
.
- To Be Continued -