Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.
Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).
Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.
Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Risma
Dia mencoba menggodaku dengan berbagai cara, dengan tipu muslihat, dengan godaan intim. Namun akal bulusnya tak akan bisa mempengaruhi diriku sama sekali. Fanny memang terlihat sangat cantik, tetapi aku harus bersikap profesional. Seandainya dia normal, mungkin aku bisa berpikir ulang untuk menjadikannya istri keduaku. Sayangnya, dia memiliki penyakit kepribadian dan dia seorang yang diduga sebagai kriminal, tidak mungkin aku akan menjadikannya istri keduaku.
Fanny melakukan semua itu tanpa berpikir panjang. Aku memalingkan wajahku darinya. Aku segera menuju kasur dan menatap langit-langit sel ini. Rasanya sangat membosankan. Aku ingin sekali mengeluarkan telepon genggamku, sayangnya sebentar lagi waktu berkunjung datang. Jika mereka melihat seorang pasien menggunakan telepon genggam, akan jadi berita heboh dan akan jadi pertanyaan besar. Akhirnya, yang aku lakukan hanya memandang langit-langit kamar sel.
Tiba-tiba ada seorang gadis yang melihat dengan wajah aneh ke arah selku. Dia menggunakan ikat kepala dengan motif kupu-kupu di rambutnya. Nampaknya, dia dari keluarga kaya, terlihat dari postur dan gerakannya.
"Kasihan, padahal abangnya ganteng tapi gila," ucapnya ke arahku.
Sialan nih orang, bisa-bisanya dia menyebutku gila. Aku tidak bereaksi atas hinaannya, hanya menatapnya tajam. Aku akan bersikap seperti orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
"Apa lu!" katanya lagi.
Aku berdiri dari tempat tidurku dan berjalan ke arahnya. Aku menggerakkan jari-jemariku dengan maksud untuk mendekatinya. Gadis itu tetap berdiri di tempatnya sampai aku berlari ke jeruji sel, lalu mengguncangnya dengan keras, bermaksud menakutinya.
"Waaaaaaaaa!" aku berteriak ke arah gadis itu.
Wajahnya memerah. Dia menunduk, lalu tiba-tiba kembali melihatku dengan wajah menantang. Kemudian dia menjulurkan lidahnya dengan maksud mengejekku.
"Emangnya gue takut, wleeee," ejeknya ke arahku.
Setelah itu, dia berlari menjauh dan meninggalkanku. Tak lama kemudian, aku melihat seorang karyawan lewat. Aku memanggilnya dan bertanya, "Bang, tadi perempuan yang pakai bando kupu-kupu itu siapa ya?"
"Ah itu anak dari kepala yayasan, pak. Namanya kalau tidak salah Risma," jawabnya.
"Aaah, sedang apa ya dia di sini, bang?" tanyaku lagi penasaran.
"Kalau nggak salah, dia sedang koas, pak. Dia dari universitas ternama, spesialis kejiwaan kayaknya, pak," jawab karyawan itu menjelaskan.
"Oh iya, bang, makasih ya," kataku.
"Iya, pak, sama-sama," kata karyawan itu sembari menjauh melanjutkan pekerjaannya.
Aku akan mengerjai gadis itu. Walapun dia anak kepala yayasan, dia tidak akan tahu bahwa aku adalah psikiater yang sedang menjalani tugas. Aku akan berpura-pura menjadi pasien dan membuatnya kesal.
Tiba-tiba Fanny berbicara dari jendela yang membuatku sedikit terkejut. "Cantikan aku daripada dia, wajahnya lebih mirip curut daripada manusia," ucap Fanny mengejek Risma.
Aku hanya menoleh sedikit dan tidak menghiraukannya. Kemudian kembali tiduran di kasur dan memandang langit-langit kamar.
"Aku bakal bongkar rahasiamu ke dia," kata Fanny tidak menyerah untuk mengajakku bicara.
Aku berdiri menuju ke arah jendela. Mata kami saling bertatapan. Aku tersenyum kecil memandangnya. "Siapa yang mau mendengar opini dari orang yang sakit jiwa," ucapku ke arah Fanny.
Fanny memasukkan tangannya ke jendela dan lagi-lagi berusaha menyerangku. Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia sepertinya kesal dengan sedikit provokasi dariku.
Dia kemudian mengeluarkan jari tengahnya dan mengacungkannya ke arahku. Aku kembali tertawa. Rasanya bahagia sekali dapat membuat Fanny marah. "Hahaha, Fanny, memang kamu bisa apa?" tanyaku ke arahnya. "Bahkan, kamu tidak bisa menyentuhku," lanjutku.
"Aku bisa membuat keturunan denganmu," jawabnya dengan wajah menggoda.
Dia mencoba memainkan mentalku. Kemudian dia menurunkan baju rumah sakit hingga tali branya terlihat. Dia sengaja memancingku dengan tindakan-tindakan yang tidak normal. Aku segera memalingkan wajahku dan kembali ke kasur, untuk menghindari kontak dengan Fanny.
"Munafik!" teriaknya ke arahku.
Ah, rasanya hari-hari yang akan kujalani di sini akan sangat panjang. Satu masalah dimana gadis labil, seorang terduga kriminal, dan menderita penyakit kejiwaan harus kutangani dengan baik. Belum lagi, datang masalah baru. Seorang gadis dari kepala yayasan yang tidak punya adab menggangguku. Semakin lama kasus ini kuselesaikan, semakin lama juga aku bisa bertemu keluargaku.
Lamunanku tiba-tiba terpecah karena selku terbuka. Aku melihat Risma masuk ditemani oleh dua orang perawat di sebelahnya. Apa yang dia inginkan? Menganggu ketenanganku saja.
"Jadi, si Toni ini sakit apa?" tanya Risma ke salah satu perawat.
Aku hampir saja kelepasan. Aku ingat Toni adalah nama samaranku. Sekarang aku adalah Toni si pasien, bukan Fikri si psikiater.
"Dia penderita skizofrenia akut, merasa dirinya adalah dokter psikiater," kata salah satu perawat ke Risma.
Risma mencatat informasi itu dalam bukunya. Sejak kapan aku setuju bahwa penyakitku skizofrenia? Rasanya aneh saja mendengar pernyataan itu dari perawat.
"Oke Toni, apa yang kamu rasakan dan kamu lihat?" tanya Risma ke arahku, mencoba mengobservasiku.
"Aku melihat, kamu sama aku berduaan di kamar dan melakukan hal yang menyenangkan," kataku mencoba menggoda Risma.
Wajahnya memerah seperti buah apel. Para perawat juga terlihat menahan tawa karena mereka tahu aku sedang pura-pura.
"Aku serius! Jangan main-main kamu ya!" Risma marah-marah ke arahku, wajahnya masih memerah, tak kunjung padam.
Aku tertawa dan meninggalkan Risma, kembali berbaring di kasur yang nyaman.
"Hei! Aku serius! Kamu kurang ajar ya!" Risma semakin marah karena aku mengabaikannya.
"Kakak nggak akan pernah jadi psikiater jika kakak terbawa suasana dengan pasien," ucapku menasehatinya.
"Ah aku lupa, kamu skizofrenia yang merasa dirimu psikiater ya," katanya mengejekku.
Jika aku tidak menjalankan tugas, aku akan memberikannya beberapa pelajaran untuk sikapnya yang sangat buruk. Aku berdiri dan mendekatkan mulutku ke dekat telinganya. "Kakak lebih baik pergi sebelum aku menyayatmu dan memotongmu menjadi 48 bagian," bisikku di telinga Risma.
Tubuhnya nampak bergetar hebat. Dia merasa ketakutan luar biasa dari ucapanku. Terlihat sangat jelas, dia sedang menahan tangisannya. Ah, rasanya cukup melegakan memberikan pelajaran kepada anak orang kaya yang bersikap semaunya kepada pasien.
"Catat datanya, latar belakangnya, dan semua rekam medisnya. Aku tidak akan kembali ke kampus sebelum pasien ini disembuhkan," ucapnya sombong.
Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Anak yang masih menempuh bangku kuliah, berani berhadapan denganku. Seorang psikiater kepolisian yang berhadapan langsung dengan para kriminal yang mempunyai riwayat penyakit kejiwaan. Rasanya, kehidupanku yang membosankan akan mulai seru dengan adanya gadis sombong yang merasa dirinya hebat. Aku tidak peduli dia siapa. Walaupun dia anak kepala yayasan, siswa tetaplah siswa, jangan bertingkah seperti langit. Aku akan mengajarinya bagaimana menjadi seorang psikiater yang baik.
aarrrrgh~~~