NovelToon NovelToon
Hasrat Sang Kapten

Hasrat Sang Kapten

Status: tamat
Genre:Tamat / One Night Stand / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Nikah Kontrak / Diam-Diam Cinta / Office Romance
Popularitas:12k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.

Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.

Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jangan Berhenti

"Buat gue, ini pasti bakal jadi siksaan," bisik gue.

Resleting gue terbuka, dan tangannya mulai masuk ke dalam celana gue. Dia geser tangannya ke pinggul gue, lalu mulai tarik celana gue turun.

Gue tutup mata dan berusaha enggak goyang, tapi tangan dia yang satu lagi sudah mengangkat baju gue sedikit, jadi bibirnya bisa menempel di perut gue.

Rasanya panas.

Sekarang, kedua tangannya masuk ke dalam celana gue, ke bagian belakang. Dia tarik celana gue pelan-pelan sampai di lutut. Lidahnya menempel di perut gue, dan tangan gue menyangkut di rambutnya.

Saat celana gue akhirnya ada di pergelangan kaki, gue melangkah keluar dari celana dan sepatu gue sekaligus. Tangannya naik lagi ke paha dan pinggang gue. Dia tarik gue ke arah dia sampai gue nempel ke tubuhnya. Dia atur kaki gue di sisinya, lalu mencengkeram bokong gue dan menarik gue lengket ke tubuhnya.

Gue kehabisan napas.

Gue enggak bisa napas.

Enggak tahu kenapa rasanya justru gue yang kurang berpengalaman di sini. Padahal gue kira dia bakal enggak tahu harus bagaimana, mengingat dia sudah lebih dari enam tahun enggak berhubungan seperti ini.

Tapi gue enggak marah.

Sama sekali enggak.

Gue angkat tangan saat dia coba lepas baju gue. Dia lempar ke lantai lalu bibirnya menyambung lagi ke bibir gue sementara tangannya sibuk sama pengait Bra gue.

Ini enggak adil.

Gue hampir enggak pakai baju, dan dia belum melepaskan apa-apa.

“Lo cantik banget,” bisiknya, mundur sedikit buat melepas Bra gue.

Jarinya menyelip di bawah tali Bra, dan dia mulai menariknya turun dari lengan gue. Gue tahan napas, menunggu dia melepaskannya. 

Gue mau bibirnya ada di tubuh gue.

Pas Bra gue turun, dan semuanya terbuka, dia menelan ludah. “Wow,” katanya dengan napas bergetar.

Dia lempar Bra ke lantai dan lihat gue lagi. Dia senyum dan cepat-cepat mencium bibir gue dengan lembut. Pas dia mundur, dia angkat tangannya ke pipi gue dan tatap mata gue. “Lo seneng?”

Gue gigit bibir bawah gue biar enggak kelihatan senyum. Dia maju dan ambil bibir gue ke mulutnya, tarik dari gigi gue. Dia cium sebentar, lalu lepas. “Jangan digigit lagi,” katanya. “Gue suka lihat lo senyum.”

Gue senyum lagi.

Tangan gue di bahunya, jadi gue geser agak ke bawah dan mulai tarik bajunya. Dia lepaskan muka gue dan angkat tangannya agar gue bisa mundur sedikit dan melihat dia, persis kayak dia lagi lihat gue sekarang.

Gue sentuh dadanya, merasakan setiap lekuk ototnya. "Lo juga cakep," kata gue.

Dia menempelkan telapak tangannya ke punggung gue, mengajak gue duduk tegak. Begitu gue duduk tegak, dia menunduk dan dengan lembut berhasil mendaratkan lidahnya di lembah pegunungan gue.

Iya, gue tau lo Pilot.

Lo pasti tahu cara mendaratkan pesawat lo dengan tepat.

Tapi gue enggak mau jadi Bandara, gue mau jadi panel yang ada di kabin lo, Tama.

Gue mau jadi semua tombol analog yang ada di depan lo.

Dan sekarang...

Dia mainin ‘analog’ gue. 

Dia mengendarai gue.

Gue jadi pesawat.

Kita terbang.

Gue mengerang tapi suaranya masih lembut, dan dia tutup 'analog' gue sepenuhnya dengan mulutnya. Salah satu tangannya menyelip di pinggul gue dan masuk ke dalam celana dalam gue. "Gue mau lo telentang," bisiknya. 

Dia tetap pegang punggung gue sambil pindah posisi, tarik gue dari pangkuannya ke tempat tidur. Dia sekarang menunduk di atas gue, tarik celana dalam gue sambil lidahnya masuk ke mulut gue.

Tangan gue langsung jatuh ke kancing celana jeans dia, dan gue buka, tapi dia cepat-cepat tarik diri. "Jangan dulu," potongnya. "Kalau enggak, ini bakal kelar lebih cepat dari yang lo bayangin."

Gue enggak peduli berapa lama ini berlangsung. 

Gue cuma ingin melihat dia tanpa baju.

Dia mulai tarik celana dalam gue. Dia tekuk salah satu kaki gue dan tarik celana dalamnya, lalu lakukan hal yang sama ke kaki lainnya. Dia  enggak memperhatikan mata gue lagi. Biarkan kaki gue jatuh kembali ke kasur sambil berdiri tegak dan mundur dua langkah dari gue. "Wow," bisiknya sambil memperhatikan gue. 

Dia cuma berdiri di situ, lihat gue telanjang di kasur, sementara dia masih pakai jeans.

"Ini gak adil," kata gue.

Dia geleng-geleng kepala, tarik jarinya ke mulut. Dia balik badan, menghadap ke arah lain dan tarik napas dalam-dalam. 

Dia balik menghadap gue lagi, lihat tubuh gue dari bawah ke atas sampai ketemu mata gue. "Ini udah kelewatan, Tia."

Gue merasakan kekecewaan dari kata-katanya. Dia masih geleng-geleng kepala, tapi dia jalan ke meja samping tempat tidur. Dia ambil kondom sachet dan taruh di antara giginya, kemudian dia sobek bungkusnya.

"Gue minta maaf," katanya, cepat-cepat loncat dari celana jeansnya. "Gue mau ini jadi hal yang spesial buat lo. Gue pingin ini jadi kenangan, setidaknya."

Dia berhasil keluar dari celana jeansnya. Dia lihat gue dengan matanya yang tajam, tapi gue susah banget buat balas tatapannya, karena sekarang celana dalamnya juga sudah lepas.

Dan pesawatnya sudah dalam posisi siap untuk take-off.

 "Tapi kalau gue belum masuk dalam dua detik, ini bakal jadi hal yang paling memalukan buat gue."

Dia langsung mendekat ke gue dan entah bagaimana cara dia pasang kondom sambil membuka lutut gue dengan tangan yang lain.

“Gue bakal bikin lo lemas dalam beberapa menit. Janji,” katanya, berhenti di antara kaki gue, tunggu persetujuan gue.

“Tama,” kata gue, “Gue enggak peduli. Gue cuma pingin lo buruan masuk!.”

“Syukurlah.” Dia hempaskan napas berat.

Dia pegang kaki gue di belakang lutut dengan tangan kanan, lalu bibirnya menyentuh bibir gue. Dia tancapkan dirinya ke dalam rahim gue dengan keras dan cepat banget sampai gue hampir teriak ke mulutnya.

Dia enggak berhenti buat tanya apakah rasanya sakit.

Dia enggak melambat. 

Dia dorong lebih keras dan lebih dalam sampai rasanya kita enggak mungkin lebih dekat lagi, karena kita sudah saling melekat jadi satu.

Memang ini menyakitkan, tapi dalam cara yang paling mengesankan.

Gue mengeluarkan suara mesra ke mulutnya, dan dia menggerung di leher gue, bibirnya ada di mana-mana, begitu pun tangannya.

Tangannya kasar.  

Dia lebih cepat, dan gue bisa merasakan otot punggungnya yang kaku di bawah tangan gue.

Dia benar, ini enggak bakal bertahan lama.

“Tia,” ucapnya dengan napas yang mau habis. “Tia.”

Otot-otot kakinya jadi kaku, dan dia mulai bergetar. “Sial,” gumamnya.

Bibirnya menempel ke bibir gue, dan dia tahan dirinya tetap diam, meski getaran terasa di kaki dan punggungnya.

Dia tarik bibirnya dari bibir gue dan hembuskan napas panjang, meletakkan dahi di samping kepala gue. “Gila,” katanya, masih tegang. 

Masih bergetar. 

Masih tertekan dalam rahim gue.

Begitu dia keluar, bibirnya langsung ada di leher gue, turun sampai ke lembah di antara dua pegunungan. Dia naik lagi dan berhasil ada di puncak gunung itu sebentar sebelum balik lagi ke mulut gue. 

“Gue pingin nyicipin lo,” katanya. “Boleh?”

Gue mengangguk, mengangguk dengan semangat.

Dia mundur dari tempat tidur, buang kondomnya, dan balik ke posisinya di samping gue. 

Gue lihat dia terus, karena dia enggak mau tahu, berapa lama gue enggak begini sama cowok. Sudah hampir setahun, walau enggak selama dia, tapi itu cukup lama buat gue.

Gue enggak mau melewatkan ini dengan mata tertutup. Apalagi sekarang gue bisa memperhatikan dengan bebas ke V-line di perutnya dan enggak perlu malu karena dia belum bisa lepas dari pandangan gue.

Dia sekarang lihat tubuh gue dengan rasa ingin tahu yang sama saat tangannya menyusuri perut gue, lalu turun ke paha gue. Dia angkat kaki gue sampai terbuka sambil memperhatikan apa yang sudah dilakukannya ke gue.

Gue harus tetap buka mata supaya bisa lihat dia yang lagi fokus ke gue. Melihat apa yang gue lakukan ke dia cukup bikin gue terangsang, bahkan tanpa dia menyentuh gue.

Dua jarinya masuk ke dalam rahim gue, dan tiba-tiba gue merasa jauh lebih susah buat terus menatap wajahnya.

Ibu jarinya tetap di luar, menggoda setiap titik kelemahan gue yang bisa dia sentuh.

Gue berisik, suara mesra itu buat tangan gue jatuh ke kasur di atas kepala gue, mata gue terpejam.

Gue berdoa agar dia enggak berhenti. 

Gue enggak mau dia berhenti.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!