Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warung Nasi
Seminggu kemudian, aku membuka warung makan di ruko yang sama. Tempat showroom mobil dan motor berada. Ini peluang yang cukup menjanjikan. Bukankah, setiap konsumen yang datang akan menunggu cukup lama. Sambil menunggu, mereka bisa makan di warungku.
Hari pertama aku buka warung nasi. Etalase sepanjang dua meter berdiri di depan ruko. Aku pasang partisi di sampingnya, sebagai pembatas antara ruko dengan showroom riko. Beberapa bangku kusediakan di sana untuk pembeli yang ingin makan di tempat. Belum layak rasanya jika warung ini disebut restaurant. Semoga ke depannya, aku bisa membuka restaurant sungguhan.
Aneka masakan sudah siap tersaji. Dari mulai ayam goreng, gepuk, orek tempe, dan tumisan lainnya. Semua kukerjakan sendiri. Aku tidak mau meminta bantuan Ria atau Eyang putri. Sebab aku juga ingin menunjukkan kemampuanku. Selama ini, mereka mengira aku tidak bisa memasak. Padahal usia pernikahan kami baru sebulan. Kenapa dengan mudahnya menyimpulkan sesuatu yang belum bisa dibuktikan. Riko menyarankan untuk mencari karyawan yang bisa membantuku. Lucu, karyawannya saja masih digaji oleh orangtuanya, kok bisa menyarankan hal seperti itu. Lagipula, aku belum yakin apakah usahaku ini akan menguntungkan atau tidak. Baru juga hari pertama, belum tentu ada yang beli.
“Wah, enak banget ini. Aku baru tau kalau kamu pintar memasak.” Begitu celoteh Riko sambil menyantap makananku. Tak lama kemudian, dia sibuk menelepon teman-temannya. Mempromosikan warung makan istrinya.
Menjelang makan siang, beberapa tetangga ruko membeli masakanku. Sebagian besar adalah karyawan salon yang sejajar dengan ruko ini. Lalu munculah serombongan teman-teman Riko. lebih tepatnya, anak-anak muda yang baru lulus SMA dan sebagian mahasiswa.
“Om, Tante, … apa kabar?” begitu serentak mereka menyapa. Aku tersenyum dan mempersilakan mereka duduk.
“Mana yang lain? Ayo makan-makan semuanya. Enak banget loh. Mumpung masih promosi. Seminggu ini gratis kalau makan di sini.” Ujar riko
What? Gratis? Apa tidak salah dengar? Ada apa dengan Riko? Dia memberikan makan gratis untuk teman-temannya tanpa berdiskusi denganku. Aku menahan diri. Berusaha tidak terpancing emosi dengan situasi. Kutarik tangan Riko ke belakang.
“Mas, kok bisa sih gratis seminggu? Aku rugi dong. Sudah capek masak tapi gak dibayar.”
“Tenang sayang, biar laku warungmu. Yang penting orang-orang tahu kalau masakanmu enak. Nanti aku ganti semuanya. Catat aja, berapa yang mereka makan. Oke?”
Riko berlalu, ia kembali mengobrol dan tertawa dengan teman-temannya. Aku sedikit lega dengan ucapannya tadi. Biarlah, yang penting dibayar. Kalau dikasih diskon sih oke. Tapi kalau gratis, rasanya tidak masuk akal.
Sampai pukul empat sore, tidak ada pengunjung lagi. Tak ada satu pun keluarga Riko yang datang. Mereka hanya antusias menyuruhku berdagang, tetapi tidak antusias melihat daganganku. Kubungkus sisa-sisa makanan yang tidak habis lalu kukirimkan ke rumah mertuaku.
Piring-piring berserakan. Gelas-gelas kopi, asbak rokok, dan abu yang mengotori meja. Aku bersihkan semuanya. Setelah itu, ku pel lantai di area tempat makan. Lantas di mana Riko? Dia tetap ngobrol dengan teman-temannya. Riko sempat memanggil salah satu karyawannya yang bernama Doni untuk membantuku. Tapi aku menolak. Aku tidak mau menambah beban pekerjaan karyawan yang bukan karyawanku.
Sepanjang hari di Ruko, kuperhatikan hanya satu orang konsumen yang datang menemui Riko. Showroom ini selain menjual mobil dan motor bekas, juga menerima service atau perbaikan mobil dan motor. Lebih tepatnya merangkap bengkel. Unit mobil yang ada di sini juga hanya satu. Kalau sudah laku, akan datang mobil yang baru. Selebihnya, motor dipajang sekitar 10 unit. Kadang aku melihat Doni hanya duduk-duduk sambil bermain ponsel. Lalu karyawan yang lain menonton TV. Doni tinggal di ruko itu. Di lantai dua, tersedia dua kamar tidur. Sedangkan lantai tiga dibiarkan kosong.
Setelah membereskan semuanya. Kami pulang sekitar pukul delapan malam. Bahan-bahan untuk dagangan besok, sudah kusiapkan dan kumasukan ke dalam kulkas. Daging dan ayam sudah dimarinasi. Bumbu-bumbu masakan sudah kublender dan kuiris. Besok pagi, aku tinggal goreng-goreng dan tumis.
Cukup lelah hari itu. Pendapatan yang kuterima hanya lima puluh ribu rupiah. Sebab hanya dua orang yang memebeli masakanku. Sisanya teman-teman riko yang makan gratis dan akan diganti oleh suamiku yang dermawan itu. Ingin kutanyakan soal itu, tapi rasanya tak pantas. Toh, Riko juga memberikan ATM-nya padaku.
Sudah enam bulan kami menikah, Riko tidak pernah bertanya berapa kebutuhan rumah tangga kami untuk sebulan. Ia pun tidak pernah menanyakan bagaimana biaya sekolah Aksa serta keperluan ibuku. Mungkin ia berpikir, ATM-nya yang kupegang cukup untuk memenuhi kebutuhan kami semua.
Sebenarnya cukup. Bahkan lebih dari cukup. Bagaimana tidak, setelah kami menikah, Eyang putri mengirimkan sembako untuk satu bulan. Mulai dari beras, telur, tepung, gula, kopi, sabun, dan sebagainya. Tidak lupa, Eyang juga memberikan deodorant dan parfum yang biasa digunakan riko. Belum lagi, setiap kali kami berkunjung ke rumah Eyang, Eyang seringkali menyuruhku membawa makanan atau hal-hal lain untuk keperluanku dengan Riko. Penghasilan usaha Riko, tentu saja cukup jika sekadar membeli makan kami berdua. Aku juga baru tahu, kalau bensin mobil dan sopir, semuanya dari Eyang.
Ada harga diri yang sulit kuterima. Aku, Raina Daffa Salsabila, perempuan yang biasa hidup mandiri bahkan membiayai anak, ibu, dan adik-adik. Kini memiliki suami pencemburu yang belum mandiri. Apa ketidakmandiriannya itu baru terjadi sekarang? Karena kondisi usahanya yang sedang turun? Jangankan setelah lulus kuliah, sejak pertama kali kuliah pun, aku sudah bisa mencari uang sendiri. Tapi kini, kenapa suamiku seperti ini? Ada suara sumbang yang kadang terdengar dari adiknya Riko, setiap kali kami ke rumah Eyang. Ima, adik riko yang bungsu itu memang agak ketus. Mungkin karena dia memiliki pekerjaan yang bagus. Ketika aku sedang memasukan telur, gula, dan lainnya ke dalam kantong karena disuruh Eyang, Ima pernah berkomentar, “Lagi borong ya, di supermarket?”
Sambil tersenyum sinis, Ima menegurku. Aku sebenarnya tidak mau membawa makanan dari rumah Eyang. Tetapi Eyang suka memaksa. “Sombong, dikasih kok malah nggak mau!” begitu kata Eyang putri.
Sudah satu minggu aku berjualan. Aku semakin mengenal karakter Riko sesungguhnya. Selama seminggu itu pula, Riko mengundang teman-temannya dan makan gratis di warung nasi kami. Pengunjung lain mulai berdatangan, tetapi belum terlalu ramai. Tetap saja, Riko tidak pernah mengganti uang daganganku.
Kondisi usaha Riko pun tidak pernah ramai. Sibuk dengan teman-temannya yang ikut nongkrong atau makan. Tetapi Riko terlihat santai. Ia tidak terlalu memikirkan penghasilan. Apa karena orangtuanya yang masih mampu membantu kehidupan Riko.
Hari itu aku tidak enak badan. Rasanya seluruh tubuhku lemas dan sakit. Sepertinya aku terlalu lelah memasak sendirian dan menyiapkan semuanya. Padahal Riko juga pintar memasak dan senang jika teman-temannya memuji masakannya. Ah ya, aku lupa. Riko lebih suka masakan Jawa. Malam harinya aku minta Riko untuk mengantarku ke dokter kandungan, sebab aku curiga dengan jadwal menstruasi yang sudah terlambat beberapa hari.
“Selamat ya Pak, istrinya hamil. Janinnya sudah berusia dua minggu.” Dokter kandungan itu menyalami Riko dengan senyuman. Ada segurat bahagia di wajah Riko. Ada setitik keraguan di dalam hatiku. Mampukah aku menjadi seorang ibu lagi?