Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAJU DINAS WANITA
"Selamat sore, Nyonya Pradipta," sapa seseorang dengan ramah.
Sekar sedikit meringis, lalu mengangguk sopan.
"Sore," balasnya pelan sebelum mengikuti Sinta masuk ke dalam toko.
Toko pertama yang mereka kunjungi dipenuhi dengan warna pink dan peach dari dinding ke dinding. Rak-raknya penuh dengan bra, celana dalam, dan barang-barang lain yang menurut Sekar hampir tidak berguna di dunia nyata kecuali di film dewasa.
"Tempat ini... benar-benar luar biasa," komentar Sekar, setengah bingung.
"Panji menyukainya," jawab Sinta sambil mengambil bra hitam dengan renda hijau. "Dia punya setengah dari saham toko ini."
"Serius?" tanya Sekar dengan wajah sedikit cemberut sambil menyentuh salah satu celana dalam merah di rak. Dia tidak bisa membayangkan dirinya memakai barang seperti ini, apalagi membelinya.
Dia membalik label harga pada salah satu lingerie itu dan melihat angkanya.
"Ini harganya sembilan ratus ribu rupiah?" tanya Sekar tak percaya, sambil memegang bahan tipis itu.
"Penawaran yang cukup bagus, kan?" jawab Sinta sambil berjalan ke rak lain. "Berapa ukuran bra-mu?"
Sekar kaget hingga jarinya tergelincir, membuat celana dalam itu terlepas dari genggamannya dan melayang melintasi toko. "Ya ampun," gumamnya panik, segera berjalan cepat untuk mengejar Sinta, berharap tidak ada yang melihat kejadian itu.
"Aku ukuran B cup," kata Sinta sambil mengangkat korset berwarna pink.
Sekar memandang korset itu yang penuh dengan tali dan kait.
"Bagaimana caramu memakai benda itu?" tanyanya bingung.
"Ayolah," Sinta tertawa, "Apakah Panji belum pernah melihatmu memakai yang seperti ini?"
"Tidak!!, maksudku aku tidak pernah memakai benda seperi itu" kata Sekar sambil meletakkan tangannya di perut. "Aku tidak terlalu nyaman dengan penampilanku, atau bagaimana aku akan terlihat jika memakai itu," katanya sambil menunjuk pakaian yang dimaksud. Sekar menyelipkan sehelai rambut ke belakang telinganya.
"Ya ampun," ujar Sinta dengan seringai kecil. "Lucu sekali, ternyata kamu pemalu." Sinta menggeleng sambil meletakkan korset itu kembali di rak. "Kamu benar-benar terlalu baik untuk kakakku."
Sekar menggigit bibirnya dan mengangkat bahu.
"Dia tidak seburuk itu," katanya sambil melirik korset dengan rasa ingin tahu. Ini persis seperti yang dia bayangkan untuk dipakai oleh tipe wanita ideal Panji. Dia teringat pada wanita-wanita cantik yang mungkin pernah dilihat oleh Panji saat memakai lingerie, wanita-wanita yang berbaring di tempat tidurnya dan bercinta dengannya sepanjang malam. Sekar sadar, dia bukan salah satu dari mereka dan tidak akan pernah bisa menjadi seperti mereka.
Dia hanya memakai celana dalam ukuran sedang dari supermarket. Terakhir kali dia berpacaran hanya sebatas berpegangan tangan dan cium pipi, dan dia belum pernah disentuh oleh Damar. Sekar menghela napas sambil menyentuh pita korset itu. Dia teringat kembali kenangan mereka, rasanya sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali, padahal sebenarnya baru beberapa tahun lalu.
"Bagaimana dengan ini?" tanya Sinta sambil mengangkat sebuah baju tidur putih. "Ini lucu, dan bahannya cukup banyak untuk menutupi tubuhmu."
Sekar memandangi baju tidur itu dan tersenyum kecil saat memeriksanya. "Apakah kebanyakan wanita benar-benar tidur dengan memakai ini?"
Sinta tertawa, "Hanya jika kamu kelelahan," katanya sambil tersenyum nakal. "Sebagian besar pakaian ini hanya dipakai sebentar—atau sampai dia melepaskannya," tambahnya sambil mengedipkan mata.
Sekar mengambil baju tidur putih itu dari tangan Sinta dan merasakan kainnya di antara jarinya. Bahannya halus dan dingin, lalu tiba-tiba dia membayangkan Panji menyelipkan tangannya di bawahnya. Cepat-cepat, dia meletakkannya kembali ke rak. "Aku rasa pinggulku terlalu besar," katanya sambil merapikan rambutnya dengan jari.
"Omong kosong. Lihat saja, aku akan memilihkan beberapa dan kita akan mencobanya bersama," kata Sinta sambil mengambil baju itu kembali dari rak.
Sekar menghela napas saat Sinta berjalan mendahuluinya, sibuk menarik beberapa pakaian dari rak. Sekar melirik korset merah muda itu sekali lagi, menjilat bibir bawahnya yang tiba-tiba kering. Dia lalu berbalik dan mengikuti Sinta menyusuri lorong.
"Percayalah, daya tarik seseorang terdiri dari lima puluh persen apa yang kamu miliki dan lima puluh persen lagi apa yang orang lain pikir kamu miliki." kata Sinta sambil menyerahkan setumpuk pakaian kepada Sekar. "Aku akan mati-matian ingin punya pinggul seperti milikmu. Ini hanya soal menemukan ukuran dan gaya yang pas."
"Baiklah," jawab Sekar sambil digiring ke ruang ganti. Setelah sekitar satu jam mencoba berbagai pakaian, Sekar keluar dari toko dengan membawa enam baju tidur seksi dan beberapa pakaian dalam yang penuh renda dan pita.
"Kita perlu mencari beberapa gaun yang bagus," ujar Sinta saat mereka berjalan di trotoar. "Apa kamu punya merk desainer favoritmu?"
"Tidak," jawab Sekar. Terakhir kali dia mendapatkan pakaian baru adalah karena Panji yang menyuruh asisten pribadinya membelikannya beberapa pakaian baru. Ponselnya mulai bergetar, dan dia merogoh tasnya saat Sinta menggiring mereka masuk ke toko berikutnya.
"Kamu masih disana?" suara Panji terdengar di ujung telepon. Tanpa sadar, Sekar langsung menyembunyikan kantong merah berisi lingerie di belakang punggungnya.
"Panji?!" ucapnya terkejut.
"Aku menelepon hanya memastikan jika aku tidak perlu menyetir untuk menjemputmu," jawab Panji dengan nada santainya yang biasa.
"Aku tidak tahu kamu punya toko lingerie," kata Sekar di telepon.
"Tentu saja aku punya, aku suka lingerie." Suasana hening sesaat sementara Sekar berdiri menatap gaun-gaun di rak di depannya. "Kamu beli sesuatu?" tanya Panji penasaran. "Warnanya apa?"
"Kenapa kamu ingin tahu?" kata Sekar sambil memutar matanya dan menyibakkan rambut ke belakang bahunya.
"Tidak perlu, aku bisa mengecek tagihan kartu kreditku nanti." Tawa Panji di ujung telepon membuat perut Sekar sedikit bergejolak, dan rasa hangat mulai terasa di antara pahanya. "Aku senang kamu mulai mengubah isi lemari pakaianmu."
"Apa yang salah dengan lemari pakaianku?" tanya Sekar, sambil memperhatikan Sinta yang memegang beberapa gaun dan mencocokkannya dengan tubuhnya di depan cermin.
"Tidak ada. Kamu wanita yang sangat menarik, tapi kamu terlalu ‘tertutup’. Pilihanmu selalu soal kenyamanan dan efisiensi," jawab Panji dengan nada santai.
"Apa salahnya?" Sekar bertanya dengan sedikit cemberut.
"Tidak ada," jawab Panji dengan suara rendah, "kecuali tidak ada yang merasa tergoda karena itu," tambahnya sambil tertawa.
"Kamu memang tipikal pria manly," ujar Sekar sambil melirik gaun-gaun di rak. "Aku harus mencari beberapa gaun; tangan Sinta sudah penuh dengan beberapa pilihanya."
"Bagus, pilih sesuatu yang benar-benar menawan," kata Panji. "Mungkin yang tanpa tali atau, lebih baik lagi, yang pendek."
"Kalau menurutmu tidak masalah, aku cukup pilih yang ‘lumayan bagus’ saja," jawab Sekar, membuat ekspresi masam saat melihat sebuah gaun biru muda di manekin di depannya.
"Ingat," kata Panji, "Gaun tercantik adalah yang dirancang untuk dilepas."
"Dan aku akan menutup telepon sekarang," kata Sekar sambil melihat ponselnya dan menekan tombol mengakhiri panggilan.
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'