Di puncak Gunung Kunlun yang sakral, tersimpan rahasia kuno yang telah terlupakan selama ribuan tahun. Seorang pemuda bernama Wei Xialong (魏霞龙), seorang mahasiswa biasa dari dunia modern, secara misterius terlempar ke tubuh seorang pangeran muda yang dikutuk di Kekaisaran Tianchao. Pangeran ini, yang dulunya dipandang rendah karena tidak memiliki kemampuan mengendalikan Qi surgawi, menyimpan sebuah rahasia besar: dalam tubuhnya mengalir darah para Dewa Pedang Kuno yang telah punah.
Melalui sebuah pertemuan takdir dengan sebilah pedang kuno bernama "天剑" (Tian Jian - Pedang Surgawi), Wei Xialong menemukan bahwa kutukan yang dianggap sebagai kelemahannya justru adalah pemberian terakhir dari para Dewa Pedang. Dengan kebangkitan kekuatannya, Wei Xialong memulai perjalanan untuk mengungkap misteri masa lalunya, melindungi kekaisarannya dari ancaman iblis kuno, dan mencari jawaban atas pertanyaan terbesarnya: mengapa ia dipilih untuk mewarisi teknik pedang legendaris ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teka-teki Takdir 天命的谜题
Dalam keheningan Kuil Seribu Bayangan yang kini porak poranda, Wei Xialong berlutut di samping tubuh ibunya yang terbaring lemah. Pedang Bulan Perak masih tergenggam erat di tangan Selir Yang, berkilau redup seolah menangisi kepergian tuannya.
"Ibu..." Xialong berbisik, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Di sebelahnya, Tianfeng berdiri kaku, matanya masih menyimpan jejak-jejak kekuningan dari pengaruh Kaisar Ular.
"Jangan menangis, anak-anakku," Selir Yang tersenyum lemah. "Ada yang harus... kalian ketahui."
Sebelum ia bisa menyelesaikan kata-katanya, mendadak tubuhnya diselimuti cahaya keperakan yang familiar—energi yang sama dengan yang mengalir dalam Pedang Bulan Perak.
"Tidak..." Xialong mencoba menggenggam tangan ibunya, tapi cahaya itu semakin terang. "Ibu, jangan pergi!"
"Dengarkan baik-baik," suara Selir Yang terdengar semakin jauh. "Rahasia terbesar... bukan terletak pada siapa kalian, tapi... pada apa yang akan menjadi pilihan kalian."
Dengan kata-kata terakhir itu, tubuh Selir Yang pecah menjadi ribuan titik cahaya yang melayang ke langit malam. Pedang Bulan Perak jatuh ke tanah dengan dentingan yang memilukan, meninggalkan keheningan yang mencekam.
Di tengah kesedihan itu, sesuatu yang aneh terjadi. Tian Jian di punggung Xialong mulai bergetar, memancarkan aura yang berbeda dari biasanya. Bukan cahaya keemasan yang hangat, melainkan sinar biru es yang dingin dan dalam.
"Kakak," Xialong berdiri perlahan, matanya terpaku pada fenomena di hadapannya. "Lihat..."
Titik-titik cahaya yang tadinya adalah tubuh Selir Yang tidak menghilang ke langit seperti yang mereka kira. Alih-alih, cahaya-cahaya itu mulai membentuk formasi yang familiar—pola yang sama dengan ukiran kuno di dinding-dinding Kuil Seribu Bayangan.
"Ini..." Tianfeng melangkah maju, "...bukankah ini..."
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, seluruh titik cahaya mendadak melesat ke arah Pedang Bulan Perak. Namun alih-alih terserap, pedang itu justru beresonansi dan memantulkan cahaya ke segala arah, menciptakan proyeksi holografis yang memenuhi seluruh ruangan.
Di hadapan mereka, sejarah kuno mulai terpapar dalam bentuk bayangan-bayangan yang bergerak. Sosok-sosok para Dewa Pedang dalam wujud ganda mereka—terang dan gelap—sedang berhadapan dengan entitas yang bahkan membuat Xialong merinding hanya dengan melihatnya.
"Ketahuilah, para penerus," suara Selir Yang bergema, tapi kini terdengar berbeda—lebih tua, lebih dalam, seolah membawa kebijaksanaan ribuan tahun. "Apa yang kalian saksikan hari ini hanyalah permulaan."
Bayangan-bayangan itu menunjukkan pertempuran dahsyat antara para Dewa Pedang dan sosok raksasa yang tampak seperti gabungan dari segala kegelapan dunia. Namun yang mengejutkan, sosok itu memiliki wajah yang familiar...
"Tidak mungkin," Tianfeng tergagap. "Itu..."
"Ya," suara Selir Yang membenarkan. "Itu adalah wujud asli dari apa yang kalian kenal sebagai 'Kaisar Ular'. Tapi bahkan nama itu hanyalah topeng dari kebenaran yang jauh lebih dalam."
Proyeksi itu kemudian menunjukkan bagaimana para Dewa Pedang, bahkan dengan kekuatan ganda mereka, tidak mampu mengalahkan entitas tersebut. Alih-alih, mereka melakukan sesuatu yang mengejutkan—memecah jiwa mereka sendiri dan menyebarkannya ke berbagai sudut realitas.
"Para Dewa Pedang tidak menghilang," suara itu melanjutkan. "Mereka berevolusi. Mereka memahami bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kesatuan yang dipaksakan, melainkan pada keragaman yang harmonis."
Mendadak, Tian Jian memancarkan cahaya yang lebih terang. Dari pedang itu, sosok transparan muncul—seorang lelaki tua dengan janggut panjang dan mata yang memancarkan kebijaksanaan tak terbatas.
"Guru?" Xialong dan Tianfeng berkata bersamaan, mengenali sosok yang selama ini hanya muncul dalam mimpi-mimpi mereka.
"Murid-muridku," sosok itu tersenyum. "Atau haruskah kupanggil... reinkarnasi dari diriku sendiri?"
Dunia seolah berhenti berputar. Xialong merasakan kepalanya berputar dengan informasi yang terlalu berat untuk dicerna. "Apa maksud..."
"Kalian berdua," sosok itu melanjutkan, "adalah pecahan dari jiwaku yang sama. Tapi tidak seperti yang Klan Ular Hitam kira, tujuan pemecahan ini bukanlah untuk disatukan kembali."
"Lalu untuk apa?" Tianfeng bertanya, suaranya bergetar.
"Untuk berevolusi," jawab sosok itu. "Untuk menciptakan sesuatu yang bahkan para Dewa Pedang sendiri tidak mampu capai—kesempurnaan yang lahir dari ketidaksempurnaan."
Namun sebelum penjelasan itu bisa dilanjutkan, mendadak tanah bergetar hebat. Dari kejauhan, raungan yang familiar terdengar—campuran dari suara manusia dan ular yang membuat bulu kuduk merinding.
"Dia belum mati," Tianfeng menggeram, tangannya menggenggam erat pedang gelapnya.
"Tidak akan pernah mati," sosok guru mengoreksi. "Karena ia adalah manifestasi dari ketakutan terdalam umat manusia—ketakutan akan ketidaksempurnaan itu sendiri."
Raungan itu semakin dekat, membawa bersamanya badai energi hitam yang mengancam akan menelan segalanya. Namun kali ini, Xialong merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Alih-alih ketakutan, ia merasakan... ketenangan.
"Aku mengerti sekarang," ia berkata pelan, mengangkat Tian Jian yang kini bersinar dalam gradasi warna yang belum pernah ia lihat sebelumnya. "Kita tidak perlu menjadi sempurna..."
"...kita hanya perlu menjadi utuh," Tianfeng melanjutkan, pedang gelapnya beresonansi dengan Tian Jian dalam harmoni yang aneh namun indah.
Sosok guru tersenyum, perlahan memudar. "Kalian mulai memahami. Tapi ingat, pemahaman hanyalah langkah pertama. Yang terpenting adalah..."
Kata-katanya terputus oleh ledakan energi hitam yang menghancurkan dinding kuil. Dari kepulan debu, sosok Kaisar muncul—atau setidaknya, apa yang tersisa dari dirinya. Tubuhnya kini adalah campuran antara manusia dan ular, dengan sisik hitam yang menutupi sebagian wajahnya dan mata yang memancarkan kebencian tak terbatas.
"Anak-anak durhaka," suaranya bergema dengan kekuatan yang membuat udara bergetar. "Kalian pikir memahami sedikit kebenaran membuat kalian layak mewarisi kekuatan para dewa?"
"Bukan masalah kelayakan," Xialong menjawab tenang, meski jantungnya berdegup kencang. "Tapi masalah pilihan."
"PILIHAN?!" Kaisar tertawa, suaranya bercampur dengan raungan ular yang memekakkan telinga. "Kalian bahkan tidak tahu siapa diri kalian sebenarnya!"
"Mungkin tidak," Tianfeng melangkah maju, berdiri sejajar dengan adiknya. "Tapi kami tahu apa yang kan menjadi pilihan kami."
Dengan gerakan yang seolah telah dilatih selama ribuan tahun, kedua bersaudara itu mengangkat pedang mereka dalam formasi yang familiar namun berbeda. Kali ini, tidak ada usaha untuk mendominasi atau mengungguli satu sama lain. Yang ada hanyalah keseimbangan.
Tian Jian dan pedang gelap Tianfeng berputar dalam tarian yang mematikan, menciptakan pusaran energi yang berbeda dari sebelumnya. Bukan lagi pertarungan antara terang dan gelap, melainkan harmoni yang lahir dari penerimaan akan kedua sisi tersebut.
"Kalian masih belum mengerti," Kaisar mendesis, tubuhnya membengkak dengan energi hitam yang semakin tak terkendali. "Kekuatan sejati tidak datang dari harmoni yang lemah. Ia datang dari dominasi!"
Dengan satu gerakan, ia melepaskan gelombang energi yang bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di antara energi hitam itu, Xialong melihat kilasan-kilasan memori yang bukan miliknya—atau mungkin, milik versi dirinya yang lain.
Seorang anak kecil berlatih pedang di bawah sinar bulan... Seorang pria muda berlutut di hadapan altar, memohon kekuatan... Seorang guru pedang yang frustasi karena tidak bisa mencapai kesempurnaan...
"Tunggu," Xialong tersentak. "Memori-memori ini..."
"Ya," Tianfeng mengangguk, matanya terpaku pada gelombang energi yang mendekat. "Aku juga melihatnya. Ini... ini adalah memori Pendekar Pedang Ungu."
"Tepat!" Kaisar tertawa. "Dan kalian tahu apa yang kupelajari dalam ribuan tahun pencarianku? Bahwa kesempurnaan adalah satu-satunya kebenaran! Segala yang tidak sempurna harus dimusnahkan!"
Namun saat gelombang energi itu hampir menghantam mereka, sesuatu yang tak terduga terjadi. Pedang Bulan Perak, yang tergeletak di tanah, mendadak memancarkan cahaya yang membutakan. Dari cahaya itu, sosok Selir Yang muncul sekali lagi—tapi kali ini dalam wujud yang berbeda.
"Suamiku," ia berkata lembut, suaranya mengandung kesedihan ribuan tahun. "Kau masih belum berubah."
"Yue'er?" Kaisar tergagap, untuk sesaat energi hitamnya goyah. "Tidak... kau sudah mati..."
"Mati? Atau berevolusi?" Selir Yang tersenyum. Tubuh transparannya kini diselimuti cahaya keperakan yang sama dengan Pedang Bulan Perak. "Seperti para Dewa Pedang yang kau puja, aku memilih untuk berubah alih-alih bertahan dalam bentuk yang sama."
Xialong dan Tianfeng menatap tak percaya pada sosok ibu mereka yang kini memancarkan aura yang bahkan lebih kuat dari Kaisar. Namun ada sesuatu yang berbeda dari kekuatan itu—alih-alih menindas atau mendominasi, energinya mengalir seperti air, menyesuaikan diri dengan segala yang disentuhnya.
"Mustahil," Kaisar menggeleng. "Kau... kau adalah..."
"Reinkarnasi dari Dewi Pedang Air?" Selir Yang menyelesaikan kalimatnya. "Ya, sama sepertimu yang adalah reinkarnasi dari Pendekar Pedang Ungu. Tapi tidak sepertimu, aku memilih untuk menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari evolusi."
Mendadak, sebuah kenangan lain melintas di benak Xialong—kali ini lebih jelas, lebih personal. Ia melihat dirinya sebagai bayi, diselimuti cahaya keperakan yang sama, sementara Selir Yang menangis sambil membisikkan mantra kuno.
"Ibu," ia berbisik. "Kau memecah jiwa reinkarnasiku bukan untuk melemahkanku..."
"...tapi untuk memberi kami kesempatan memilih jalan kami sendiri," Tianfeng melanjutkan, akhirnya memahami.
Selir Yang mengangguk. "Kesempurnaan yang dipaksakan hanya akan melahirkan kehancuran. Tapi ketidaksempurnaan yang diterima..." ia menatap kedua putranya dengan bangga, "...dapat melahirkan keajaiban."
"OMONG KOSONG!" Kaisar meraung. Kali ini, seluruh energi hitamnya berkumpul menjadi satu titik di dadanya. "Akan kubuktikan bahwa kalian salah! Dengan menghancurkan segala ketidaksempurnaan ini!"
Namun sebelum ia bisa melepaskan serangan finalnya, sosok guru muncul kembali—kali ini lebih solid, lebih nyata.
"Muridku yang keras kepala," ia menggeleng sedih. "Kau masih belum memahami arti sebenarnya dari ramalan itu."
"Apa maksudmu?" Kaisar menggeram.
"'Ketika yang sempurna dan yang tidak sempurna bersatu, pintu menuju tingkat tertinggi akan terbuka,'" guru mengutip ramalan kuno yang mereka semua kenal. "Kau mengira ini berbicara tentang mencapai kesempurnaan absolut. Tapi sebenarnya..."
"...ini berbicara tentang penerimaan," Xialong menyelesaikan, matanya melebar dalam pemahaman. "Tentang menerima bahwa kesempurnaan dan ketidaksempurnaan adalah dua sisi dari koin yang sama!"
Tepat saat pemahaman itu mencapai puncaknya, sesuatu yang luar biasa terjadi. Tian Jian dan pedang gelap Tianfeng mulai memancarkan aura yang belum pernah mereka lihat sebelumnya—bukan emas, bukan hitam, melainkan spektrum lengkap yang mencakup segala warna.
"Tidak..." Kaisar mundur, untuk pertama kalinya terlihat ketakutan. "Ini bukan yang seharusnya terjadi!"
"Justru inilah yang seharusnya terjadi," Selir Yang tersenyum. Pedang Bulan Perak melayang ke tangannya, bergabung dalam harmoni energi yang kini memenuhi kuil. "Inilah evolusi sejati."
Dalam momen yang seolah membeku dalam waktu, Xialong merasakan sesuatu mengalir dalam dirinya—pemahaman yang melampaui kata-kata. Ia melihat dirinya bukan sebagai Wei Xialong si mahasiswa modern, bukan pula sebagai pecahan jiwa reinkarnasi Dewa Pedang, melainkan sebagai... dirinya sendiri. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
"Kakak," ia memanggil Tianfeng yang juga tampak mengalami pencerahan serupa. "Aku tahu sekarang apa yang harus kita lakukan."