Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
"Ibu mau pulang?" kata Wina saat mereka sarapan.
"Kapan Buk, biar Nada pesankan taksi," kata Nada sembari mengeluarkan ponselnya.
Wina berdesis dengan respon Nada yang sangat cepat. Wajahnya langsung di tekuk.
"Kamu kelihatanya sangat senang ibu mau pulang," ujarnya dengan melirik ke arah Nada. "Kamu tidak senang ibu di sini?" tuduhnya.
"Tidak Buk, aku kan cuma memesankan taksi. Memangnya salahnya di mana?" Nada bingung, dia tidak mengerti apa yang salah dengan perhatian kepada mertuanya.
"Sudahlah, ibu pulang sekarang saja. Pandu antarkan ibu pulang," katanya dengan bergegas menuju ke kamar untuk mengambil tasnya.
"Nada, kamu bisa tidak jangan buat masalah dengan ibu," keluahnya.
Pagi hari yang harusnya semangat dia berubah tidak mood, perseteruan istri dan ibunya membuat dia kesal.
"Memangnya aku salah apa? Aku cuma menawarkan bantuan," kata Nada agar ibu mertuanya tidak kesusahan. Tapi, ternyata dia salah, perbuatanya membuat mertuanya tersinggung.
"Kamu sih buru-buru pesankan taksi, kesannya kamu mau usir ibu," omel Pandu. "Kamu bilang saja kalau tidak suka ibu menginap di sini." Pandu menaruh sendoknya keras lalu pergi menemui ibunya.
Nada hanya bisa melongo mendengar jawaban dari suaminya. Bisa-bisanya dia menuduh dirinya mengusir ibunya. Nada mengusap perutnya, agar bayinya nanti saat keluar tidak seperti neneknya.
Sebagai rasa sopan, Nada ikut mengantarkan sang mertua pulang sampai di mobil. Meskipun, dia sangat kesal tapi sebagai istri yang berbakti dia tetap harus menghormati mertuanya.
Nada hendak mencium tangan Wina, tapi langsung di tepisnya. Wina seakan jijik jika tanganya dicium oleh menantunya itu.
"Hati-hati Buk," kata Nada saat ibunya sudah naik dalam mobil.
Wina sangat angkuh, dia hanya diam tidak mengatakan apa-apa. Justru, menyuruh Pandu segera menjalankan mobilnya.
"Mau ibu sebenarnya apa?" kata Nada sampai pusing dengan sikap ibunya itu. Dia sering banget menjatuhkan martabat Nada.
Dulu, waktu pertama kali ketemu Wina sangat ramah. Dia terlihat sangat menyayangi Nada. Tapi, setelah menikah Wina berubah sangat drastis. Nada menjadi selalu selalu salau di matanya, apa pun itu.
Sepanjang perjalanan Wina terus mengoceh, menjelekkan Nada kepada Pandu. Dan Pandu mendengarkan omelan ibunya seperti musik.
"Kau ini, mau sampai kapan diatur perempuan?" omel Wina sepanjang perjalanan.
"Diatur bagaimana sih, Buk?" tanya Pandu dengan masih fokus melihat jalan.
Wajah Wina tampak kesal ia menyipitkan matanya ke arah anak laki-lakinya karena tidak paham-paham dengan masalah yang sering dibicarakan.
"Kamu biarkan istrimu kerja, dia pasti akan menghina kamu kalau gajinya lebih besar," ujarnya penuh dengan kebencian.
"Nada sudah bekerja sebelum kita menikah, Buk, lagian dengan dia punya uang sendiri, gaji Pandu aman," paparnya.
Menjadi wanita karir itu sangat hebat, membuat Wina takut menantunya akan kurang ajar terhadap anak laki-lakinya. Terlebih lagi dia seorang bos, yang gajinya lebih besar daripada anak laki-lakinya. Sedangakan Pandu, hanya karyawan salah satu perusahaan.
Namun, pemikiran Pandu berbeda dengan ibunya. Dengan Nada bekerja, dia tidak perlu memberikan uang bulanan kepadanya. Dia bisa menabung, atau menggunakan uang sesuka hatinya.
"Kamu tidak takut dihina sama istrimu?" tanya Wina.
"Kalau Ayu mau dibiayai Pandu, ibu jangan mempermasalahkan Nada yang berkarir," ujar Pandu.
Pandu tahu kalau istrinya itu sangat taat sama suami, dia juga sangat menyayanginya. Walau sering terjadi cek cok kecil.
...----------------...
Pandu mendorong pintu kamarnya pelan, ia langsung berlari menghampiri Nada yang meringis kesakitan sembari mengusap perutnya.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Pandu ikut mengusap perut Nada.
"Adik bayi, menendang terlalu keras sampai sakit rasanya," adu Nada manja.
"Adik, jangan kencang-kecang mainnya. Kasihan mamanya." Pandu mengusap lembut perut Nada lembut.
Tendangan di perut Nada mulai menghilang, Nada tersenyum seakan bayinya menurut kepada sang papa.
"Bagaimana?" tanya Pandu lagi sembari melihat istrinya yang masih meringis sedikit.
"Sudah baikan," katanya sembari mengusap perutnya.
"Kamu kapan cuti?" tanya Pandu sembari menarik selimut sampai di dada Nada.
"Aku kan tidak kerja berat, lagian aku bisa bebas datang atau tidak," katanya dengan tersenyum.
Nada tidak perlu cuti atau izin jika hendak libur, bos bebas mau datang dan pergi dengan semaunya.
"Benar, kamu kan bos," ujarnya dengan tidak senang, ia merebahkan tubuhnya di samping Nada. Tatapanya lekat ke arah langit-langit.
Pandu jadi kepikiran ucapan ibunya, dengan gaji istri yang lebih besar pasti dia akan besar kepala. Dan menganggap suaminya tidak berguna.
"Kamu ada masalah apa? kayak tidak senang?" Nada penasaran dengan perubahan ekspresi wajah suaminya.
"Nada, kalau kamu berhenti bekerja bagaimana?" Pandu mengikuti saran ibunya. Benar adanya jika harga dirinya akan diinjak-injak oleh Nada.
"Kenapa mendadak?" Nada heran, dia memiringkan tubuhnya untuk memandang wajah Pandu.
"Sayang, apa kamu tidak pernah berpikir kata orang-orang?" tanya Pandu sembari memiringkan wajahnya.
"Mereka pasti bilang kalau aku yang numpang hidup sama kamu," imbuhnya.
Pandu sadar jika dia datang tidak membawa apa-apa, rumah yang dia tempati saat ini milik Nada. Pandu memang sudah memiliki jabatan tinggi diperusahaanya.
Namun, pendapatan perbulannya masih kalah dengan Nada yang seorang bos.
"Kamu kenapa mendengarkan orang lain," ujarnya sembari mengusap wajah Pandu.
"Aku malu Nada, selalu saja mereka memandang sebelah mata karena jabatanmu lebih tinggi." Pandu dengan wajah kecut karena istrinya seperti tidak menanggapi sarannya.
"Kita sama-sama memiliki jabatan tinggi, kenapa kamu perlu malu? Aku juga tidak mungkin keluar dari perusahaanku sendiri," ujarnya dengan keyakinan.
Perusahaan yang sudah diperjuangkan semenjak dia selesai kulian. Sebelum berjaya, Nada pernah magang di sebuah perusahaan mewah. Setelah mendapatkan ilmunya, ia resign dan membuka perusahaan sendiri.
"Kamu memang tidak pernah mengerti perasaanku," ujarnya dengan wajah masam. Dia yang awalnya enjoy Nada bekerja menjadi goyah karena ceramah dari ibunya. Di mulai sependapat jika perempuan itu harusnya di rumah.
Nada serba dibuat bingung, "Lalu aku harus berbuat apa, Mas?" tanya Nada lembut.
Itu perusahannya dia sendiri, bagaimana bisa dia keluar, lalu siapa yang menjalankan perusahaan?
"Ya kamu berhenti, jadi ibu rumah tangga," katanya bersikeras agar Nada di rumah mengurus rumah tangganya.
"Kita sudah bicarakan masalah ini, Mas, kamu tidak keberatan aku bekerja," kata Nada, mengingatkan perjanjian sebelum menikah.
Pandu sudah menyetujui semua permintaan Nada, termasuk setelah menikah tinggal di rumah yang telah dia tempati sejak lama.
"Ibu benar, kau memang sangat keras kepala. Pantas saja dia tidak cocok denganmu," cemoohnya.
Pandu mencoba menyimpulkan hal apa yang membuat ibunya tidak suka dengan Nada.
Nada mulai tersulut emosi, dia menarik diri sehingga terduduk. "Jadi, kau lebih mendengarkan ibumu?!"