"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perpisahan yang Sulit
Setelah mendapatkan kepercayaan Ki Rajendra dan petunjuk baru dari gulungan Tapak Angin Kendan, Rangga dan kelompoknya harus meninggalkan Leuweung Manjang. Namun, keputusan untuk pergi tidak mudah. Larasati menentang meninggalkan desa yang masih dalam bahaya, sementara Rangga harus menghadapi dilema tanggung jawabnya sebagai penerus Tapak Angin Kendan.
Matahari pagi baru saja muncul, memandikan Leuweung Manjang dengan cahaya keemasan. Desa itu tampak lebih damai dibandingkan beberapa hari terakhir, tetapi bayangan serangan bandit dan musuh aliran hitam masih terasa di benak Rangga. Ia berdiri di depan rumah Ki Rajendra, menatap gulungan Tapak Angin Kendan yang kini tergantung di pinggangnya.
“Sudah saatnya kita pergi,” kata Ki Jayeng, yang berdiri di sebelahnya. “Penjaga berikutnya menunggu, dan waktu tidak berpihak pada kita.”
Rangga mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Ia memikirkan warga desa yang telah mereka selamatkan, termasuk anak-anak dan para orang tua yang hidup dalam ketakutan akan serangan berikutnya.
“Ki, bagaimana dengan desa ini? Jika kita pergi, siapa yang akan melindungi mereka?” tanyanya.
Ki Jayeng memandangnya dengan tatapan tenang. “Rangga, kau tidak bisa menyelamatkan semua orang. Tapi kau bisa memastikan bahwa ancaman yang lebih besar tidak menghancurkan mereka.”
Sebelum Rangga bisa menjawab, Larasati muncul dari dalam rumah, wajahnya terlihat tidak puas. “Kita akan meninggalkan mereka begitu saja?” katanya dengan nada penuh emosi.
“Laras, kita tidak punya pilihan,” jawab Rangga dengan lembut. “Kita harus melanjutkan perjalanan ini.”
“Tapi mereka masih dalam bahaya!” seru Larasati, suaranya bergetar. “Kita tidak bisa hanya pergi dan berharap semuanya baik-baik saja.”
Ki Rajendra keluar dari rumah, mendengar perdebatan itu. Ia mendekati mereka dengan langkah pelan, tongkatnya mengetuk tanah. “Larasati, aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi ini bukan tugas mereka untuk tinggal di sini.”
“Tapi, Ki—”
“Aku akan melindungi desa ini,” lanjut Ki Rajendra. “Aku mungkin sudah tua, tapi aku masih memiliki kemampuan untuk melindungi orang-orang yang membutuhkan. Dan sekarang, tugas kalian adalah melanjutkan perjalanan ini.”
Larasati terdiam, tetapi air mata mulai menggenang di matanya. Rangga menatapnya dengan rasa bersalah, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain.
Di depan gerbang desa, warga berkumpul untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Rangga dan kelompoknya. Beberapa orang membawa makanan sebagai bekal, sementara yang lain hanya berdiri diam, menatap mereka dengan penuh harapan.
“Terima kasih atas apa yang kalian lakukan,” kata seorang pria tua dengan suara berat. “Kami tidak akan melupakan kalian.”
“Kami akan menjaga desa ini,” tambah seorang pemuda, menggenggam tombak kayu dengan tangan gemetar.
Rangga tersenyum kecil, menepuk pundak pemuda itu. “Kalian lebih kuat dari yang kalian kira. Tetap bersama, dan kalian akan mampu menghadapi apa pun.”
Larasati berdiri di dekat pintu gerbang, masih terlihat enggan untuk pergi. Ia memandang ke arah anak-anak yang bermain di jalanan, wajah mereka yang ceria membuat hatinya semakin berat.
“Kau tahu,” kata Ki Jayeng pelan, berdiri di sebelah Larasati. “Perjalanan ini lebih dari sekadar menemukan penjaga lainnya. Ini tentang memastikan bahwa tidak ada desa lain yang harus mengalami apa yang terjadi di sini.”
Larasati mengangguk, meskipun wajahnya masih menunjukkan keraguan. “Aku tahu, Ki. Tapi tetap saja... sulit.”
Saat mereka berjalan keluar dari desa, suasana menjadi sunyi. Larasati berjalan di belakang, diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Rangga ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.
“Laras,” akhirnya ia berkata, menoleh ke belakang. “Aku tahu ini tidak mudah. Tapi aku berjanji, kita akan kembali suatu hari nanti. Dan saat itu, kita akan memastikan desa ini benar-benar aman.”
Larasati menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, lalu mengangguk pelan. “Kau lebih yakin dari aku, Rangga. Tapi aku berharap kau benar.”
Ki Jayeng, yang berjalan paling depan, memandang mereka dengan senyum tipis. “Ini adalah bagian dari perjalanan, Nak. Kadang kita harus membuat pilihan sulit untuk mencapai tujuan yang lebih besar.”
Mereka terus berjalan hingga desa itu menghilang dari pandangan, digantikan oleh hutan lebat yang membawa suasana yang lebih gelap. Namun, meskipun bayangan bahaya terus mengintai, Rangga merasa ada sedikit beban yang terangkat dari hatinya.
“Ayo,” katanya dengan suara tegas. “Kita harus menemukan penjaga berikutnya.”
Angin berhembus lembut di antara pepohonan, seolah-olah mendorong mereka untuk terus maju.
Rangga dan kelompoknya meninggalkan Leuweung Manjang dengan hati yang berat, tetapi dengan tekad baru untuk melanjutkan perjalanan mereka. Di balik hutan yang menanti, bahaya baru sedang menunggu.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya