Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak masa lalu
Bayu terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja menembus tirai tipis di kamar kost-nya yang sempit. Ia masih mengingat percakapannya dengan Rara kemarin. Apa maksudnya? Kenapa Rara seperti menyiratkan sesuatu?
Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca buku filsafat yang baru ia pinjam dari perpustakaan kampus: "Being and Nothingness" karya Jean-Paul Sartre. Namun, hanya beberapa paragraf masuk ke otaknya sebelum pikirannya kembali ke Rara.
Ia menghela napas panjang. "Bayu, fokus. Jangan mikirin yang nggak penting," gumamnya pada diri sendiri. Tapi, kenangan masa kecil mereka mulai bermunculan di pikirannya.
Bayu kecil adalah anak yang pendiam, sering bermain sendiri di depan rumah. Tetangganya sering menganggap dia aneh karena lebih suka membaca buku cerita daripada bermain sepak bola seperti anak-anak lain.
Namun, Rara berbeda. Dia adalah satu-satunya teman yang selalu mengajaknya keluar rumah.
"Ayo, Bayu! Kita bikin rumah pohon di belakang!" Rara kecil menarik tangannya dengan penuh semangat.
"Tapi aku nggak bisa naik pohon," jawab Bayu malu-malu.
"Nggak apa-apa, aku dorong kamu dari bawah."
Mereka menghabiskan banyak waktu bersama, bahkan ketika anak-anak lain mengejek Bayu karena tubuhnya yang kurus dan sikapnya yang aneh. Rara selalu membela dia.
"Aku nggak peduli mereka bilang kamu aneh. Menurutku, kamu spesial," kata Rara suatu hari, saat mereka duduk di taman.
Namun, ketika usia mereka menginjak sembilan tahun, keluarga Rara pindah ke kota. Bayu tidak pernah mendengar kabar darinya sejak itu. Hingga sekarang.
Di kampus, Bayu merasa lebih gelisah dari biasanya. Ia duduk di kelas filsafat sambil menulis catatan dengan rapi, meski pikirannya melayang.
Dimas, seperti biasa, menyadari kegelisahan temannya. "Bayu, lu kok dari tadi diem aja? Biasanya kalau ada yang aneh, lu langsung keluarin kutipan filsafat."
Bayu menoleh, mencoba mengelak. "Nggak ada apa-apa, Dim. Gue cuma lagi mikir soal tugas."
Dimas menggeleng. "Alah, nggak mungkin. Jangan bilang ini gara-gara cewek."
Bayu mengangkat bahu. "Kenapa, emangnya?"
Dimas menatapnya dengan tatapan penuh godaan. "Hah! Bener kan! Jadi siapa dia? Cerita dong."
"Lu kepo banget, Dim."
"Ayolah. Gue temen lu dari awal masuk kampus. Kapan lagi gue denger cerita cinta filsuf kayak lu?"
Bayu menghela napas. "Bukan cerita cinta. Gue cuma ketemu temen lama, itu aja."
Namun, tatapan Dimas menunjukkan bahwa ia tidak percaya. "Seriusan? Temen lama siapa?"
"Rara," jawab Bayu akhirnya.
Dimas terdiam sejenak, lalu tertawa. "Rara? Yang mana tuh? Anak psikologi yang manis itu?"
Bayu hanya mengangguk, merasa canggung.
"Wow, jadi lu punya sejarah sama dia? Kok nggak bilang-bilang dari dulu?"
"Karena nggak ada yang perlu diceritain," jawab Bayu cepat.
Dimas masih tersenyum penuh arti. "Hmm, gue rasa bakal ada cerita menarik dari sini."
Selesai kelas, Bayu memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Ia berharap bisa menemukan tempat yang tenang untuk berpikir. Namun, rencananya gagal ketika ia melihat Rara duduk di salah satu meja, tersenyum padanya.
"Bayu! Sini duduk."
Bayu ragu sejenak, tapi akhirnya mendekat. "Ngapain di sini?"
"Baca buku, lah. Kamu sendiri?"
"Nyari referensi buat tugas."
Rara mengangguk sambil menunjuk kursi di depannya. "Duduk sini. Aku udah lama nggak ngobrol sama kamu."
Bayu duduk dengan canggung. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Kamu berubah, ya," kata Rara tiba-tiba.
"Berubah gimana?"
"Dulu kamu nggak pernah bisa diam. Sekarang malah pendiam banget."
Bayu mengangkat bahu. "Waktu ngubah orang, Ra."
Rara tersenyum kecil. "Tapi kamu tetap Bayu yang aku kenal. Masih suka berpikir terlalu banyak, kan?"
Bayu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia membuka bukunya dan mencoba terlihat sibuk.
Namun, Rara terus mengajaknya berbicara. "Masih inget nggak, waktu kecil kita pernah berantem gara-gara aku ngambil buku favoritmu?"
Bayu teringat. "Iya. Buku itu sobek gara-gara kamu, kan?"
Rara tertawa. "Tapi kamu tetap maafin aku."
Bayu tersenyum kecil, merasa sedikit lebih rileks. Tapi suasana itu terganggu ketika teman-teman Rara datang menghampiri meja mereka.
"Ra, ayo! Kita ada janji ngerjain proyek bareng."
Rara menoleh ke arah mereka, lalu kembali menatap Bayu. "Aku harus pergi. Tapi nanti kita ngobrol lagi, ya."
Bayu hanya mengangguk, merasa lega sekaligus bingung. Rara benar-benar mengacaukan dunianya.
Malam itu, Bayu duduk di kamar kost sambil mencoba menulis esai filsafat. Tapi seperti sebelumnya, pikirannya terus melayang ke Rara.
Ia membuka buku catatannya dan mulai menulis sesuatu yang berbeda:
"Apakah hubungan masa kecil bisa kembali sama seperti dulu? Atau apakah waktu mengubah segalanya menjadi sesuatu yang asing?"
Tulisannya terhenti ketika ia mendengar suara di luar. Dimas datang tanpa pemberitahuan, membawa makanan ringan.
"Bayu! Gue tau lu pasti lagi melamun. Makanya gue bawain cemilan."
Bayu mendesah. "Kenapa lu nggak pernah ada niat buat kasih gue ruang sendiri?"
"Karena lu butuh dihibur. Jadi, Rara ini gimana ceritanya?"
Bayu melirik tajam. "Dim, gue serius. Ini nggak ada apa-apa."
Dimas tertawa kecil. "Yakin? Gue liat tatapan lu beda waktu di kantin tadi. Ada sesuatu, kan?"
Bayu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia berkata, "Kalo hidup gue kayak tugas filsafat, mungkin gue lebih gampang nyelesainnya."
"Alah, filsafat lagi. Udah, lu nggak usah mikir berat-berat. Kalau lu suka sama dia, ya bilang aja."
"Gue nggak suka, Dim."
"Serius?"
Bayu mengangguk. "Dia cuma temen lama."
Namun, jauh di dalam hatinya, Bayu merasa ada sesuatu yang berubah sejak kehadiran Rara.