Di desa Harapan Kahuripan, ada dua hal yang tidak boleh dilakukan oleh anak-anak.
Pertama, jangan main dengan Muhammad Syukur. Karena selain bocah berusia lima tahun itu sangat nakal, Syukur lahir dari wanita mati tidak wajar yang sempat menjadi kuntilanak. Ditakutkan, mama dari Syukur datang menuntut balas jika anaknya diusik.
Sementara larangan yang kedua, jangan pernah main ke Hutan Tua karena bocah mana pun yang main ke sana pasti tidak pernah selamat!
Namun di suatu sore menjelang petang, Syukur dan keenam temannya nekat memasuki Hutan Tua. Kejadian mencekam diwarnai pertumpahan darah benar-benar terjadi. Satu persatu dari mereka ditemukan mati. Hanya ada dua anak yang selamat. Anak pertama adalah Ibrahim dan terkenal sangat alim. Sementara satunya lagi merupakan Syukur!
Sebenarnya, apa yang terjadi? Karena semenjak itu juga, Ibrahim jadi sakti dan bisa menyembuhkan banyak penyakit dengan cara di luar nalar!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3 : Semak-Semak Berjalan
“Semak-semak berjalan. Kira-kira, andai aku cerita ke kakek, kakek percaya enggak, ya?” pikir Syukur.
Sudah larut malam, tapi Syukur tetap belum bisa tidur. Syukur terus terngiang-ngiang kejadian di hutan Tua. Mengenai semak-semak berjalan yang sampai bisa memengga.l kepala bocah. Semak-semak itu bahkan bisa mengejarnya sambil membawa golok tajam.
Di sebelah Syukur, sang kakek sudah tidur pulas. Pak Handoyo mendengkur keras. Syukur tahu, sang kakek kelelahan. Demi bertahan hidup, demi membuat mereka bisa tetap makan tepat waktu, sang kakek memang selalu banti.ng tulang di sawah dan kebun. Warung yang awalnya laris, kini tinggal kenangan akibat Syukur yang dianggap pembawa musibah oleh warga setempat.
Anak kuntilanak. Anak pembawa sia.l, sebutan itu sudah menjadi bagian cemo.oah mereka kepada Syukur. Mereka beranggapan, bahwa alasan warung pak Handoyo laris, efek penglaris dan itu masih dikaitkan dengan kuntilanak. Padahal alasan warung pak Handoyo laris, murni karena selain harga lebih murah, kualitasnya juga terjamin. Ditambah lagi, pak Handoyo selalu belanja ke pusat yang ada di Jakarta.
Setahu Syukur, menurut desas-desus yang beredar, mama dan neneknya pernah jadi kuntilanak. Warga, termasuk itu teman sepermainan Syukur, kerap mengungkit-ungkit fakta tersebut. Mereka terus meledek, bahkan menghin.a dilengkapi dengan puku.lan. Namun ketika Syukur membalas, mereka tidak terima dan akan main keroyo.k. Masalahnya ketika itu terjadi, belum pernah Syukur kalah. Karena memang, ada saja yang seolah membantu Syukur. Bantuan yang akan disertai angin kencang. Kemudian mendadak seperti ada makhluk tak kasatmata yang turut mengha.jar setiap mereka yang melukai Syukur.
Keadaan mereka yang bukan orang biasa, membuat Syukur paham itu. Syukur jadi berpikir jauh lebih dewasa dari usianya.
“Besok, aku harus ke hutan lagi. Aku harus memastikan, lihat tuh rumah!” Tekad Syukur sudah bulat. Hingga ketika ia ikut sang kakek mengurus ladang, ia sudah siap-siap. Syukur masih mencari celah agar ia bisa pergi dan alasannya cukup karena ia ingin main.
Ransel kecil yang Syukur bawa berisi tali tambang, pisau, gunting, dan juga korek. Selain itu, Syukur juga membawa dua bungkus garam kasa.r.
“Besok kalau mas Athan ke sini, kita ikut mereka buat mondok di Jawa, ya Kur. Kita tinggal di Cilacap!” ucap pak Handoyo yang terengah-engah.
Pak Handoyo berhenti mencangkul. Syukur yang paham sang kakek haus, segera membawa bekal minumnya, kemudian memberikannya kepada sang kakek.
Sambil menerima pemberian botol minumnya dari Syukur, pak Handoyo berkata, “Di sini, kamu enggak bisa ngaji. Andai sama Kakek, ... Kakek merasa kurang pas.”
“Kalau hanya doa-doa sama baca Iqro atau menulis arab, dikit-dikit, Kakek memang bisa. Namun untuk Alquran, lebih baik kamu belajar ke ahlinya.”
“Insya Allah, di Cilacap kita akan diterima dengan lebih baik. Sementara kebun dan sawah kita di sini, bisa kita sewakan saja. Yang penting tetap ditanami, biar tanahnya tetap bagus,” ucap pak Handoyo.
Karena keadaan mereka yang dikucilkan, Syukur juga menjadi satu-satunya teman bicara pak Handoyo.
“Kita makan dulu,” ucap pak Handoyo.
Pak Handoyo dapati, sedari tadi, kesibukan sang cucu membuatnya tak perlu memisahkan kacang tanah yang ia panen dari batangnya. Sebab Syukur sudah membantunya melakukannya.
“Ini nanti direbus. Sebagiannya nanti kita jual ke desa sebelah buat beli beras,” ucap pak Handoyo. Karena andai ia membagikannya ke tetangga, belum tentu juga akan diterima.
Pak Handoyo sadar, pindah dari desa dirinya dan keluarga kecilnya sempat merajut bahagia, akan jauh lebih membuatnya tenang. Karena jika dirinya dan Syukur tinggal di lingkungan baru, otomatis masa lalu mereka tidak akan diungkit. Masa lalu yang juga menjadi alasan mereka dipandang rem.eh. Akan tetapi, pak Handoyo tetap saja berat meninggalkan desa dirinya tinggal. Terlebih, pak Handoyo ingin membuat sang cucu merasakan suasana tempat mamanya lahir juga.
“Kek, ... hantu itu bisa memengg.al kepala anak-anak sampai putus, enggak, sih?” tanya Syukur sengaja memastikannya kepada sang kakek.
Mendengar pertanyaan barusan dari sang cucu, pak Handoyo langsung bingung. Bisa-bisanya, Syukur bertanya begitu? Apakah memang, Syukur pernah menyaksikan kejadian yang dimaksud? Baik secara langsung, atau hanya cerita yang kebetulan Syukur dengar? Pikir pak Handoyo. Ia terpincan.g-pin.cang melangkah menuju saung di belakang Syukur.
Tanpa direncanakan, Syukur tak sengaja melihat kaki kanan sang kakek. Baru ia sadari, kaki kanan sang kakek terluka. Berjalan saja, pak Handoyo harus menye.ret kaki kanannya.
“Kek, ... kaki Kakek, sakit?” tanya Syukur sambil mengikuti pak Handoyo. Namun, tatapannya tidak bisa berhenti mengawasi keadaan kaki kanan sang kakek.
“Iya, kemarin digigit ular. Enggak apa-apa, ini sudah mendingan, kok,” ucap pak Handoyo dengan santainya.
“Hah? Digigit ular, Kek?” kaget Syukur yang langsung ingat semak-semak berjalan. Karena sosok tersebut sempat dipatok ular!
“Kakek beneran digigit ular?” lanjut Syukur.
“Terus, jalan kakek juga mirip semak-semak berjalan. Mereka jalannya sama-sama bungkuk. Tapi masa iya, semak-semak berjalan itu malah kakek?” batin Syukur benar-benar berpikir keras.
Di hadapan Syukur, sang kakek jadi berhenti melangkah. Pria tua itu berangsur balik badan dan menatapnya dengan banyak kekhawatiran. Pak Handoyo memang tersenyum kepada Syukur, layaknya biasa. Namun khusus kali ini, Syukur merasa, apa yang kakeknya lakukan, semata-mata agar ia tak lagi bertanya. Agar Syukur berhenti khawatir.
Maaf Mak saya kok malah senyum,soal pak Yaine kok melu mlayu🤭🤭