Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghadapi Kekecewaan dan Tekanan
Setelah berminggu-minggu berusaha memperluas jaringan mahasiswa di berbagai kampus, Haki mulai merasakan kelelahan. Meskipun ia berhasil merekrut beberapa mahasiswa baru, dukungan yang ia dapatkan tidak sekuat yang ia harapkan. Banyak mahasiswa yang terlalu takut untuk terlibat secara langsung, dan sebagian lagi mulai kehilangan semangat setelah melihat tekanan yang diberikan pemerintah.
Pagi itu, Haki duduk sendirian di salah satu sudut kampus. Di depannya, secangkir kopi yang sudah dingin dibiarkan begitu saja. Pikirannya penuh dengan rasa frustasi. Ia teringat pertemuan terakhirnya dengan sekelompok mahasiswa di kampus lain yang, meskipun awalnya tertarik, akhirnya menolak untuk bergabung karena takut dengan ancaman dari pemerintah.
"Gue rasa kita nggak bisa terus-terusan ngelawan sistem yang sebesar ini," kata salah satu mahasiswa yang ia temui di kampus tersebut. "Lo nggak ngerti, Haki. Orang-orang takut. Keluarga mereka bisa kena imbas. Lo lihat sendiri, banyak yang udah kehilangan kerja gara-gara ikut dalam aksi-aksi sebelumnya."
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Haki. Ia tahu bahwa perjuangan ini berisiko, tapi ia tidak menyangka bahwa rasa takut akan begitu mendominasi. Bahkan dirinya sendiri mulai merasakan tekanan yang semakin berat. Setelah kehilangan pekerjaannya, ia merasa semakin sulit untuk tetap bertahan tanpa penghasilan tetap, meskipun dukungan dari Olivia cukup membantu untuk memenuhi kebutuhan dasar.
“Gue nggak bisa terus kayak gini,” gumam Haki sambil menatap secangkir kopinya yang tak tersentuh. “Kita udah jalan sejauh ini, tapi gue ngerasa kayak nggak ada yang berubah.”
Malam itu, setelah pertemuan yang melelahkan, Haki duduk di apartemen baru mereka yang disediakan oleh Olivia. Di sekelilingnya, suasana terasa sunyi, meskipun ia tahu di luar sana, perjuangan terus berlanjut. Rasa frustasi yang ia rasakan semakin membesar. Ia merasa kehilangan arah, seolah perjuangannya tidak memiliki akhir yang jelas.
Di tengah keheningan itu, Haki membuka ponselnya dan mulai menulis pesan kepada Luvi. “Luvi, lo pernah ngerasa capek banget sampai lo nggak yakin lagi sama perjuangan ini?”
Butuh beberapa menit sebelum balasan dari Luvi muncul: “Sering, Hak. Gue juga capek. Tapi kalau kita berhenti sekarang, semua yang udah kita jalanin bakal sia-sia.”
Balasan itu membuat Haki termenung. Meski kelelahan fisik dan mental terus menghantui, ia tahu bahwa mundur bukanlah pilihan. Namun, di dalam hatinya, ia merasa butuh sesuatu yang lebih untuk membangkitkan semangat yang perlahan-lahan memudar.
Luvi: Tertekan oleh Ancaman dan Tekanan Sosial
Di sisi lain, Luvi menghadapi tantangan yang tidak kalah berat. Meskipun ia berhasil menyebarkan beberapa konten yang mendapat perhatian luas, tekanan dari pihak pemerintah semakin intens. Pemerintah tidak hanya mengandalkan teknologi untuk memblokir kontennya, tetapi juga mulai menekan secara sosial. Beberapa kenalannya mulai menjauh, takut terlibat atau dicap buruk karena mendukung perlawanan.
Sore itu, Luvi menerima pesan dari salah satu mantan sponsornya. “Maaf, Luvi. Gue harus mundur. Gue nggak bisa terus-terusan dikaitkan dengan nama lo. Terlalu banyak yang mempertanyakan.”
Luvi meletakkan ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ini bukan kali pertama ia kehilangan dukungan dari seseorang yang sebelumnya mendukungnya. Perlahan tapi pasti, dukungan yang dulu begitu kuat mulai memudar, digantikan dengan ketakutan akan konsekuensi sosial dan hukum.
Malam itu, Luvi merenung sendirian di depan laptopnya. Video-video yang ia buat, yang tadinya membuatnya bangga, kini terasa seperti beban yang semakin berat. Setiap kali ia mengunggah sesuatu, ada rasa takut yang muncul: takut bahwa kontennya akan diblokir, takut bahwa teman-teman terdekatnya akan semakin menjauh, takut bahwa ia tidak akan pernah bisa kembali ke kehidupan normal.
“Gue nggak tahu sampai kapan gue bisa terus kayak gini,” gumam Luvi pada dirinya sendiri.
Pikirannya teralihkan oleh bunyi notifikasi ponsel. Haki mengirim pesan: “Luvi, lo pernah ngerasa capek banget sampai lo nggak yakin lagi sama perjuangan ini?”
Luvi menatap pesan itu lama sebelum menjawab. Ia tahu persis apa yang dirasakan Haki, karena ia sendiri sedang berada di titik yang sama. Balasannya sederhana, tapi penuh makna: “Sering, Hak. Gue juga capek. Tapi kalau kita berhenti sekarang, semua yang udah kita jalanin bakal sia-sia.”
Meski ia menulis kata-kata itu dengan keyakinan, di dalam hatinya, Luvi merasa ragu. Setiap langkah yang ia ambil di dunia digital, meskipun terlihat signifikan, kini terasa hampa. Ia merasa perjuangan ini seperti perang yang tak berujung, dan setiap kemenangan kecil selalu diikuti oleh kekalahan besar.
Malam semakin larut, dan Luvi memutuskan untuk mematikan laptopnya. Ia butuh waktu untuk berpikir, untuk memutuskan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Tapi di dalam dirinya, ada perasaan bahwa mereka semua sedang berada di ambang kelelahan yang tak terhindarkan.
Kebersamaan Mereka sebagai Sumber Kekuatan
Meski berada di dua jalur perjuangan yang berbeda—Haki di lapangan dan Luvi di dunia digital—mereka berdua merasakan kelelahan yang sama. Keduanya tahu bahwa perjuangan ini tidak mudah, dan ada saat-saat di mana mereka merasa ingin menyerah. Namun, pesan singkat yang mereka tukar malam itu memberi mereka kekuatan kecil untuk bertahan.
Ketika pagi tiba, Haki dan Luvi memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai. Mereka butuh berbicara langsung, tanpa perantara teknologi, tentang apa yang mereka rasakan dan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.
“Kita nggak bisa terus-terusan ngerasa kayak gini,” kata Haki setelah menyesap kopinya. “Gue tahu kita capek, tapi gue nggak mau berhenti. Gue cuma butuh tahu kalau kita masih punya arah yang jelas.”
Luvi mengangguk setuju. “Gue juga capek, Hak. Tapi gue rasa ini bukan soal jalan yang gampang atau susah. Ini soal bertahan. Kita udah terlalu jauh buat balik lagi.”
Mereka berdua saling bertukar pandangan, dan meski kelelahan masih tampak jelas di wajah mereka, ada tekad yang perlahan-lahan kembali tumbuh. Meskipun dunia di sekitar mereka tampak semakin menentang, mereka tahu bahwa mereka masih memiliki satu sama lain dan teman-teman mereka yang lain. Dan dengan itu, mereka memutuskan untuk tetap melangkah.
---
Dito: Pertarungan Digital yang Makin Berisiko
Di dunia digital, Dito adalah jantung dari jaringan perlawanan mereka. Tugasnya bukan hanya memastikan bahwa informasi tetap mengalir, tetapi juga menjaga agar pemerintah tidak bisa melacak aktivitas mereka. Seiring dengan semakin berkembangnya gerakan ini, Dito mulai merasakan tekanan yang semakin besar dari aparat keamanan siber.
Pagi itu, Dito duduk di depan layar laptopnya yang penuh dengan kode-kode yang ia gunakan untuk menjaga keamanan jaringan mereka. Meskipun Dito sangat ahli dalam bidang ini, ia tahu bahwa pemerintah terus berupaya untuk menembus pertahanan digital yang ia bangun. Setiap hari, ia harus memperbarui sistem, mengubah jalur komunikasi, dan memastikan bahwa pesan-pesan perlawanan tetap bisa disebarkan tanpa terdeteksi.
Dito menatap layar yang menampilkan log aktivitas. Ada beberapa upaya yang gagal dari pemerintah untuk melacak beberapa akun yang mereka gunakan. “Mereka semakin agresif,” gumam Dito sambil terus mengetik di keyboard. “Gue harus buat ini lebih aman.”
Namun, tidak mudah baginya. Sistem keamanan yang ia bangun, meskipun canggih, terus-menerus diuji oleh teknologi pemerintah yang semakin canggih. Setiap kali ia berhasil mengamankan satu jalur komunikasi, ada ancaman baru yang muncul.
Hari itu, ketika sedang bekerja sendirian di apartemen, sebuah peringatan tiba-tiba muncul di layarnya. Salah satu server yang ia gunakan untuk menyebarkan konten telah terdeteksi dan diblokir. “Sial,” gumamnya, merasa terdesak.
Dito segera menghubungi Luvi, yang juga menggunakan server itu untuk menyebarkan video-videonya. “Lu, salah satu server kita ketahuan. Gue harus ganti semuanya lagi. Lo bakal off sementara.”
Luvi membalas dengan cepat. “Berapa lama kita bisa online lagi?”
Dito menghela napas, melihat kerumitan situasi. “Gue nggak bisa janji. Mungkin butuh waktu beberapa jam. Tapi gue bakal cari jalan lain.”
Bekerja tanpa henti, Dito terus-menerus berusaha menjaga agar sistem mereka tetap aman. Ia tahu bahwa pertarungan di ranah digital semakin berat. Teknologi yang digunakan oleh pemerintah jauh lebih maju dari yang ia bayangkan, dan Dito harus selalu selangkah di depan mereka.
Setelah berjam-jam bekerja, Dito berhasil menemukan cara untuk mengalihkan komunikasi mereka ke jalur yang lebih aman. Ia tersenyum kecil di tengah kelelahan. “Gue bisa nafas sebentar,” katanya pada dirinya sendiri. Tapi ia tahu, istirahatnya hanya sementara. Ancaman di dunia digital tidak akan pernah berhenti.
Yudi: Menggerakkan Kekuatan di Lapangan
Sementara Dito bertarung di dunia digital, Yudi menghadapi tantangan berbeda di lapangan. Sebagai mahasiswa Teknik yang punya jaringan kuat dengan teman-teman sesama jurusan, Yudi ditugaskan untuk membangun kekuatan massa yang solid. Namun, mahasiswa Teknik cenderung lebih pragmatis dan apolitis, membuat Yudi harus bekerja keras untuk meyakinkan mereka bahwa perlawanan ini bukan hanya soal idealisme, tapi soal masa depan mereka semua.
Sore itu, Yudi mengadakan pertemuan dengan beberapa teman lamanya dari Fakultas Teknik di sebuah bengkel kampus. Tempat ini, meskipun sederhana, adalah tempat di mana mereka merasa nyaman untuk berdiskusi tanpa takut diawasi oleh pihak luar.
“Apa gunanya kita ikut gerakan ini?” tanya salah satu temannya, Adi, yang sejak awal skeptis. “Gue lebih peduli soal gimana gue bisa dapet kerja setelah lulus. Kalau kita ikut-ikutan, malah bisa-bisa kita nggak dapet tempat di perusahaan manapun.”
Yudi mengerti kekhawatiran mereka. Sebagai mahasiswa Teknik, mereka terbiasa berpikir rasional dan selalu mempertimbangkan untung-rugi dalam setiap langkah. Tapi Yudi juga tahu bahwa jika mereka tidak melawan sekarang, masa depan mereka bisa jadi lebih suram.
“Gue ngerti,” jawab Yudi dengan tenang. “Tapi lo pikir kalau kita diem aja, masalah kita selesai? Lo udah liat sendiri gimana pemerintah sekarang. Mereka nggak cuma nguasain ekonomi, tapi juga pendidikan kita. Lo pikir kita bakal dapet pekerjaan yang layak kalau sistem ini terus jalan?”
Teman-temannya saling berpandangan, masih ragu. “Tapi risikonya terlalu besar, Yud. Gue nggak mau nama gue tercemar.”
Yudi menghela napas, lalu memutuskan untuk berbicara dengan lebih serius. “Gue udah kehilangan kerjaan gara-gara ini. Dan gue nggak akan bohong, risikonya gede. Tapi lo harus liat gambaran besar. Kalau kita bisa gulingin sistem ini, kalau kita bisa buat perubahan, lo bakal jadi bagian dari generasi yang bawa masa depan lebih baik. Gue tau lo semua lebih pinter dari yang lo tunjukin sekarang. Lo ngerti kan?”
Keheningan menyelimuti ruangan saat kata-kata Yudi menggema. Mereka semua tahu bahwa apa yang Yudi katakan ada benarnya. Meskipun mereka tidak suka terlibat dalam politik, mereka juga tahu bahwa kondisi yang mereka hadapi sekarang tidak adil, dan jika mereka terus diam, tidak akan ada perubahan yang berarti.
Adi akhirnya mengangguk pelan. “Gue nggak bisa janji bakal turun langsung, tapi gue akan bantu lo. Gue bakal mulai ngomong ke anak-anak Teknik yang lain. Kita mulai dari yang kecil dulu, liat gimana perkembangannya.”
Yudi tersenyum, merasa bahwa meskipun perlahan, ia mulai mendapatkan dukungan dari lingkungannya. Tidak mudah untuk menggerakkan mahasiswa Teknik yang cenderung lebih fokus pada karier dan masa depan pragmatis mereka. Tapi Yudi yakin bahwa dengan pendekatan yang tepat, ia bisa meyakinkan mereka bahwa perlawanan ini adalah untuk masa depan mereka juga.
Malam itu, Yudi mengirim pesan ke Haki: “Gue dapet sedikit dukungan dari anak-anak Teknik. Nggak banyak, tapi ini langkah pertama.”
Haki membalas cepat: “Bagus, Yud. Kita semua butuh mulai dari yang kecil.”
Keduanya tahu bahwa perjuangan ini panjang dan berat. Tapi seperti yang Yudi selalu katakan, perubahan besar dimulai dari langkah kecil. Yudi tidak akan menyerah untuk membangun kekuatan di lapangan, meskipun itu berarti harus menghadapi keraguan dan ketakutan dari orang-orang di sekitarnya.
---