Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3 : Korban Perceraian Orang Tua
Dewi terpaksa membiarkan putri cantiknya diazani orang lain lantaran Prasetyo tak kunjung datang. Prasetyo tetap tidak ada kabar, tapi yang Dewi tahu, pasti suaminya itu sedang bekerja. Apalagi terakhir kali, alasan suaminya meninggalkannya karena ditelepon ibu Retno. Bayangkan jika Dewi tahu apa yang sesungguhnya terjadi, pasti Dewi tak akan sesabar sekarang.
Termasuk juga dengan keluarga Prasetyo. Mereka yang selama Dewi menjadi istri Prasetyo, menganggap Dewi sebagai benalu mereka, juga tidak ada yang datang. Padahal selama lima tahun menjadi bagian dari mereka, Dewi mereka paksa menjadi tulang punggung keluarga.
Bagi keluarga Prasetyo, sudah menjadi kewajiban sekaligus risiko Dewi sebagai istri Prasetyo untuk menjadi tulang punggung juga. Bahkan sekadar mencuci pakaian dan bekas makan mereka saja, masih Dewi yang harus melakukannya.
Kini, sebelum Prasetyo menjemput, Dewi bertekad tidak akan pulang. Dewi memanfaatkan sisa waktu istirahatnya di rumah sakit, untuk mengurus anak-anaknya.
Terbiasa bekerja keras membuatnya tak merasakan hambatan berarti. Meski sekitar empat jam lalu, dirinya baru melahirkan. Terlebih jika bukan dirinya yang melakukannya, memang tidak ada yang mengurus anak-anaknya.
Dewi memandikan Alif, mengobati luka putranya itu, dan memakaikan pakaian baru yang sudah ia beli lewat teman kerjanya. Dewi sengaja mengambil tabungan yang selama ini ia titipkan ke tiga orang majikannya.
“Aku enggak mungkin bisa nabung kalau enggak disimpankan orang lain. Karena andai aku yang pegang uang, sekencang dan serapat apa pun aku menyimpannya, pasti ujung-ujungnya buat dana darurat keluarga mas Pras. Ada saja alasannya dan pada akhirnya ribut.”
“Saking hafalnya ketiga bosku pada keadaan keluarga suamiku, tiap bulannya mereka sengaja menahan seperempat bagian dari gajiku. Karena meski seperempatnya lagi selalu aku pakai buat beli keperluan Alif, lagi-lagi hak Alif juga dirampas keluarga mas Pras. Beneran bukan hanya setengah gaji yang aku sisakan.”
“Tentu awal-awal, bahkan sampai sekarang, aku selalu melawan. Namun saking capeknya, sekarang aku lebih memilih diam.”
“Sementara alasanku tetap bertahan, semata-mata memang demi anak.”
“Orang tuaku bercerai ketika aku berusia sekitar lima tahun. Sedikit banyaknya aku masih ingat. Dulu, sebelum mereka bercerai, mereka sering bertengkar seperti yang terjadi antara aku dan papanya anak-anak.”
Saat itu, aku sering menjadi pelampiasan amarah orang tuaku. Aku sering dipukuli, di setiap pertengkaran orang tuaku.”
“Aku tahu rasanya jadi yatim piatu meski orang tuaku masih hidup. Mereka bahkan bahagia dengan keluarga baru mereka. Karena setelah bercerai, mereka sudah mendapatkan jodoh sekaligus keluarga baru. Sementara aku, ... aku harus berjuang sendiri, di usiaku yang masih sangat dini.”
“Karena jangankan nafkah yang sudah menjadi hakku sekaligus kewajiban mereka kepadaku. Sekadar menanyakan kabar, atau setidaknya mendatangiku, mereka tidak pernah melakukannya.”
“Padahal kami tinggal di kecamatan sama. Sementara ketika aku nekat datang karena kerinduanku terhadap mereka, ... lagi-lagi mereka hanya memarahiku. Mereka mengusirku, dan cacian akan terus mereka lakukan kepadaku, bahkan meski aku sudah pergi.”
“Pernah aku nekat masuk rumah mereka. Aku duduk di sebelah adik-adikku yang sedang makan satu meja dengan anak bawaan dari pasangan baru orang tuaku.”
“Saat itu, aku juga ingin makan karena aku sudah sangat lapar. Kebetulan, mereka sedang makan dengan lauk dan sayur yang tampak sangat lezat. Namun lagi-lagi, mereka mengusirku.”
“Mereka berdalih, untuk makan keluarga mereka saja masih kurang. Sementara hadirnya aku di tengah mereka hanya jadi beban.”
“Selain tidak memberiku makan walau satu butir nasi, yang mereka lakukan tetap mengusir sekaligus memukuliku selagi aku tidak mau pergi.”
“Kemudian, ... kakek dan nenek dari pihak mamak yang mengurusku, juga turut mereka marahi.”
“Mak, Pak, ... jaga Dewi. Jangan biarkan dia jadi pengemis di sini! Bentar-bentar datang ke rumah minta makan! Urus keluargaku yang sekarang saja, sudah pusing. Eh Dewi malah makin bikin pusing!”
“Dulu, ucapan itu terlontar dari mulut mamak maupun bapakku kepada kakek dan nenekku. Dengan sabar, kakek dan nenekku menasehati keduanya. Kakek dan nenekku mengingatkan orang tuaku, bahwa biar bagaimanapun, aku tetap anak mereka. Hanya saja, mereka tetap tidak menginginkan kehadiranku.”
“Orang tuaku menganggap, bahwa aku merupakan simbol luka sekaligus kesedihan mereka. Padahal andai boleh memilih, aku juga tidak mau memiliki orang tua seperti mereka.”
“Saat itu juga kakek nenekku berusaha merangkulku. Mereka memintaku untuk berhenti menangis.”
“Kakek nenekku tak mau aku bersedih lagi karena aku masih memiliki mereka yang akan senantiasa menyayangiku. Padahal tanpa harus mereka minta, sejak itu juga aku bertekad untuk tidak lagi memikirkan orang tuaku.”
“Aku bersumpah tak akan datang meminta makan kepada orang tuaku, seberapa pun aku kelaparan. Sementara alasanku saat itu menangis meraung-raung, tak semata karena aku ingin mengakhiri semua rasa sayangku kepada orang tuaku. Saat itu, rasanya memang sangat sulit karena aku juga hanya seorang anak biasa. Seorang anak yang sangat haus kasih sayang orang tua!”
Dewi kecil dirawat kakek neneknya yang sudah renta. Berlinang air mata, Dewi mengingatnya. Apalagi akibat keadaan kakek neneknya, sejak kecil Dewi juga turut merawat keduanya. Pekerjaan rumah dan pekerjaan sawah, sudah biasa Dewi lakoni sejak dini. Keadaan menuntut Dewi untuk dewasa sebelum waktunya.
Jangankan merasakan kehidupan anak-anak sebayanya. Sekadar makan saja, Dewi makan apa yang ia temukan di pekarangan, sawah, atau itu mencari ikan di sungai.
Sering kali jika musim tanam maupun panen padi tiba, Dewi juga turut diajak bekerja atau yang warga setempat sebut embret. Sementara untuk biaya sekolah, Dewi mendapatkan keringanan biaya. Puncaknya ketika sang kakek meninggal, saat itu Dewi masih kelas lima SD. Sang nenek yang memang sangat mencintai suaminya, jadi makin sakit-sakitan. Beberapa kali, anak dari nenek Dewi datang, kecuali mamanya Dewi. Mereka mengobati sekaligus merawat nenek. Hanya saja, mereka langsung marah besar ketika tahu, bahwa nenek dan kakek Dewi, mewariskan dua petak sawah, maupun rumah berikut pekarangannya, kepada Dewi.
Semua yang diwariskan Dewi merupakan bagian yang belum dibagikan kepada anak-anaknya. Karena semuanya sudah mendapatkan jatah warisan. Dewi yang tidak tahu apa-apa, dipaksa mereka untuk pergi merantau ke kota. Mereka melarang dewi melanjutkan sekolah karena memang tidak ada biaya.
“Kalau kamu pengin sekolah, sana kerja. Cari uang dulu karena mamak kamu saja sudah enggak mau urusin kamu!” Itulah yang dikatakan ketiga paman dan juga tiga tante Dewi.
Dewi terusir dan terpaksa ikut tetangganya yang biasa menyalurkan pekerja ke makelar yang ada Bandung. Di Bandung, Dewi bekerja sebagai ART. Majikannya langsung cocok karena meski masih kecil, Dewi sangat rajin sekaligus cekatan.
Belum ada satu bulan di Bandung, Dewi mendapat surat dari kampung. Dewi dikabari bahwa neneknya sudah meninggal. Namun, anak-anak neneknya melarang Dewi pulang. Lagi-lagi mereka memaksa Dewi untuk tidak mengungkit warisan. Detik itu juga, Dewi tidak memiliki semangat untuk pulang. Meski pertemuannya dengan Prasetyo yang merupakan sopir rumah di depan rumah majikan Dewi, membawa Dewi kembali ke kampung halaman.
Kesantunan Prasetyo, dan juga rasa sayang Prasetyo kepada orang tua sekaligus keluarga, menjadi alasan Dewi cepat dekat dengan Prasetyo. Dewi yang berasal dari keluarga amburadul, yakin Prasetyo akan membuatnya merasakan hangatnya keluarga, andai dirinya menikah dengan Prasetyo. Apalagi demi mendapatkan uang lebih untuk keluarganya, Prasetyo bahkan sengaja sambil jualan pakaian, perabotan, dan juga makanan.
Selain parasnya yang gagah, Prasetyo yang berkulit kuning langsat juga berasal dari kampung yang sama dengan Dewi berasal. Alasan tersebut juga yang membuat keduanya cepat nyambung bahkan, cocok.
Namun setelah mereka menikah, akhirnya Dewi tahu alasan Prasetyo begitu bertanggung jawab kepada orang tua maupun saudaranya. Sebab Prasetyo tak ubahnya dana darurat yang akan selalu keluar, ketika mereka membutuhkan. Apalagi nyatanya, Dewi juga dipaksa melakukan apa yang selama ini Prasetyo lakukan, dan itu menjadi tulang punggung.
Kendati demikian, demi anak-anaknya agar tidak merasakan apa yang ia rasakan, Dewi bertekad untuk mengubah cara pikir suaminya. Soalnya, Dewi juga memiliki kenalan yang nasibnya mirip Dewi. Suami wanita itu berubah dan kini mereka hidup tentram.
“Semoga aku juga bisa!” batin Dewi yang kini tengah menyuapi Alif makan. Ia mendapat kiriman makanan enak dari salah satu bosnya. Hingga kini, bersama sang anak, ia akan makan dengan leluasa. Sebab andai ia ada di kontrakan, pasti tidak mungkin bisa karena di sana ada keluarga Prasetyo. Bukannya tak mau berbagi, masalahnya andai mereka tahu, pasti semuanya dihabiskan dan Dewi bahkan Alif, sama sekali tidak diberi.
••••
saat itu jamannya.....
semuanya pada sakit......