Anastasia, wanita berhijab itu tampak kacau, wajahnya pucat pasi, air mata tak henti mengalir membasahi wajah cantiknya.
Di sudut rumah sakit itu, Ana terduduk tak berdaya, masih lekat diingatannya ketika dokter memvonis salah satu buah hatinya dengan penyakit yang mematikan, tumor otak.
Nyawanya terancam, tindakan operasi pun tak lagi dapat di cegah, namun apa daya, tak sepeser pun uang ia genggam, membuat wanita itu bingung, tak tahu apa yang harus di lakukan.
Hingga akhirnya ia teringat akan sosok laki-laki yang telah dengan tega merenggut kesuciannya, menghancurkan masa depannya, dan sosok ayah dari kedua anak kembarnya.
"Ku rasa itu sudah lebih dari cukup untuk wanita rendahan seperti mu... ."
Laki-laki kejam itu melempar segepok uang ke atas ranjang dengan kasar, memperlakukannya layaknya seorang wanita bayaran yang gemar menjajakan tubuhnya.
Haruskah Anastasia meminta bantuan pada laki-laki yang telah menghancurkan kehidupannya?
IG : @reinata_ramadani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinata Ramadani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dengan Cara Apa?
°°°~Happy Reading~°°°
Marcus mengusap wajahnya frustasi. Ingin ia tak mempercayai semua ini, namun entah kenapa pikirannya melayang pada sosok perempuan yang tadi siang ia temui.
Ana. Apa perempuan yang di maksud sang papa adalah perempuan itu? Melihat ketakutan yang terpancar jelas dari wajah itu, apa kenyataan ini yang berusaha perempuan itu tutupi selama ini?
"Apa maksud papa adalah Ana? Anastasia?"
Tuan Regar tersenyum sinis. "Rupanya kamu masih mengingatnya?"
Marcus menghela nafas dalam. Dikiranya kejadian malam itu tak akan meninggalkan jejak, namun kenyataannya, karena kejadian malam itulah kini ia dalam masalah besar.
"Kau harus bertanggungjawab pada perempuan itu, Marc. Nikahi dia."
Membuat Marcus sontak mendelik. "Tidak. Sudah pernah ku katakan aku tidak ingin berkomitmen."
"Jadi kau akan lepas tanggungjawab begitu saja?!" Sentak tuan Regar mulai tersulut.
"Aku akan tetap bertanggungjawab atas mereka, Pa. Aku pastikan itu."
"Dengan cara apa?" Tantang tuan Regar.
"Aku akan mencukupi segala kebutuhan mereka. Semuanya. Aku akan menjaminnya."
Tawa seketika menggelegar. "Kau pikir semua bisa di beli dengan uang?"
"Kau terlalu angkuh, Marcus. Bahkan uangmu tak akan bisa mengganti kesengsaraan mereka selama ini. Apalagi perempuan itu. Kau telah menghancurkannya, Marc. Dia hancur karena perbuatan b*jatmu itu."
"Tapi pernikahan palsu juga tidak akan membuat mereka bahagia, Pa."
"Tapi setidaknya kau bisa memberikan mereka keluarga yang utuh. Kau tidak berpikir bagaimana anak-anakmu dulu hidup tanpa ayah? Dan kau ingin anak-anakmu merasakan itu seumur hidup mereka"
Tiba-tiba hatinya terasa sesak, saat fakta akan penyakit sang putra kini tiba-tiba mengusik hatinya.
'Apa dia baik-baik saja?'
"Come on Marc. Sampai kapan kamu seperti ini. Tidakkah kamu ingin punya keluarga? Apa kamu tidak takut nanti menjadi tua sendirian?"
"Setidaknya lakukan ini untuk anak-anakmu. Kasian mereka Marc, sudah cukup mereka hidup sengsara. Sekali ini saja, tolong dengarkan mama."
Marcus menghela nafas dalam. Sungguh ini begitu rumit. Pilihannya begitu sulit. Hati dan akalnya mulai berperang satu sama lain. Tidak mungkin pernikahan tanpa cinta akan berakhir bahagia. Namun, hatinya pun gamang mengingat anak-anaknya yang sepertinya dulu selalu hidup sengsara.
"Pikirkan ini baik-baik. Papa beri waktu sampai besok."
🍁🍁🍁
Kaki mungil yang menggantung di atas kursi itu bergerak-gerak saat lidah itu mulai menyesap permen ditangannya. Rasa strawberry yang khas membuat kelopak matanya memejam.
Heummm... Ini enak sekali di lidahnya. Sungguh permen ini tidak ada duanya.
Maurin yang tengah asik memakan permen pemberian suster dibuat mengernyit menatap sosok di kejauhan. Kenapa sosok itu terus memandanginya, apa karena dia semakin menggemaskan karena semakin gendut. Pikirnya terlalu percaya diri.
Membuat gadis kecil itu sontak bangkit dari duduknya, kaki mungilnya mengalun mendekati sosok itu tanpa sedikitpun gurat ketakutan.
"Nenek mau keummana? Apa nenek tellsheshat?"
Mama Elena dibuat terkejut saat sosok itu sudah ada dihadapannya. Sore itu, setelah ia dari perusahaan Marcus, rencananya ia bertandang ke rumah sakit hanya untuk melihat secara langsung cucu kecilnya dari kejauhan.
Meski tuan Regar melarangnya keras karena tak mungkin menemui perempuan itu disaat sang putra belum memutuskan, namun mama Elena tetap bersikukuh. Ia tak sabar menemui cucunya yang baru ia tau keberadaannya.
"Ya, bisakah kamu mengantarkan aku ke ruang dokter Stephanie." Tergagap, mama Elena menjawab seadanya.
"Mashud nenek, dotell tantik?"
"Ya. Apa kamu tau?"
"Ya, Mollin tau nenek."
Membuat mama Elena mengernyit. Apa ia setua ini hingga di panggil nenek oleh gadis kecil itu?
"Ayo nenek. Biall Mollin antall. Kallau nenek dallan-dallan sheundilli, nanti nenek bisha tellsheshat lagi. Mollin pellnah tellsheshat, tullush belltemu uncle Hillo. Habish itu uncle Hillo antall Mollin deh ke mommy."
Gadis kecil itu menggandeng tangan mama Elena, menuntunnya berjalan seolah hanya dirinya sendiri yang hafal jalanan rumah sakit itu.
"Kamu sangat menghafal ruangan disini?"
"Ya. Mollin shuka mashuk-mashuk. Tapi kata mommy itu eundak baik. Jadi Mollin tuma mashuk ke luangan na dotell tantik. Mollin shuka dotell tantik. Dotell tantik baik shuka kashih Mollin tokullat."
Mama Elena mengukir senyum, rupanya cucunya ini sangat menggemaskan. Terlebih saat berbicara dengan bahasa cadel yang dimilikinya.
🍁🍁🍁
Annyeong Chingu
Happy reading
Saranghaja 💕💕💕