Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Aku berlari mendekati kamar ayah. Namun langkahku terhenti tepat di depan kamarnya. Di dalam kamar, terdengar ayah sedang berbicara dengan seseorang.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Ayah pada seseorang.
"Mana janjimu?" Terdengar suara seorang wanita.
"Saya sudah bilang sabar!" jawab Ayah meninggikan suaranya.
"Waktunya sebentar lagi, kamu masih harus mencari dua tumbal lagi!" Suara Wanita itu juga meninggi.
"Atau saya ambil anak itu?" sambungnya.
Kakiku terasa lemas sekali, tak menyangka selama ini ayah lah pelakunya. Bagaimana dia tega mengorbankan anak-anaknya? Bahkan sekarang akulah yang menjadi sasarannya.
"Saya akan cari secepatnya! Asalkan jangan kamu sentuh anak itu."
Krek!
Dug!
Dengan cepat aku membanting pintu kamar ayah.
"AYAH!" teriakku.
Ayah terlihat sangat kaget dengan kehadiranku. Apalagi di sampingnya ada si Wanita Ular yang langsung menatapku tajam.
"Sekarang dia sudah tau," ucap si Wanita Ular.
"Apa kamu akan tetap mempertahankannya?" sambungnya.
Air mataku menetes, menahan rasa marah yang kian membara di hati. Semua terasa seperti mimpi. Orang yang menjadi panutan hidupku, malah tega menghancurkan keluarganya sendiri.
"Kenapa ayah tega?" tanyaku terisak.
Wanita Ular itu menyunggingkan bibirnya, tersenyum.
"Maaf," balas Ayah tak berani menatapku langsung.
Wanita Ular itu berdesis dan menjulurkan lidahnya. Pandangannya tidak pernah lepas dariku.
"Saya mohon jangan bawa dia!" Sungguh pemandangan yang memalukan, ayah berlutut di hadapan Wanita Ular itu.
"Terlambat!" Mata Wanita Ular itu berubah menjadi merah. Tubuhnya membesar. Kini hanya kepalanya saja yang terlihat seperti manusia. Sisanya, sudah berubah menjadi ular berwarna hitam legam.
"Novita lari!" perintah Ayah sambil bangkit dan berlari mendekatiku.
Sayangnya, tubuhku terasa kaku. Sementara itu Wanita Ular semakin mendekat.
Heu!
Dadaku sesak. Wanita Ular itu berhasil melilit tubuhku. Semakin lama lilitannya semakin kencang. Kini wajah kami berhadapan, hanya berjarak beberapa senti. Dia terus tersenyum sambil sesekali menjulurkan lidahnya ke wajahku.
Kulihat ayah masih terus memohon agar aku tidak dibunuhnya. Namun, sepertinya Wanita Ular ini tidak peduli.
Nafasku semakin memendek. Dada pun mulai terasa panas, seperti terbakar. Kepalaku pusing sekali. Penglihatan pun perlahan meredup. Dep! Tiba-tiba semuanya gelap gulita.
Apakah begini rasanya mati?
*
Kurasakan tubuh ini seperti melayang. Saat membuka mata terlihat sesosok makhluk besar sedang membawaku di pundaknya. Bulunya lebat, berwarna hitam.
Kucoba berontak, tapi tidak bisa. Tubuhku terikat.
Suara-suara menakutkan mulai terdengar. Jeritan kesakitan dan teriakan meminta tolong. Setiap langkah sosok itu, membuat suara-suara itu semakin terdengar jelas.
Kini aku tiba di suatu tempat dengan pemandangan mengerikan sekaligus menyedihkan. Sebuah lapangan besar yang dipenuhi banyak orang. Mereka semua disiksa dengan sangat sadis.
"Kak novita, Tolong!" ucap Seseorang dari balik kerumunan orang.
Aku memfokuskan penglihatan ke sumber suara itu.
"Kak novita!" teriaknya lagi.
"Leon!" sahutku saat melihatnya sedang berjalan di bara api, dengan tangan terikat. Tubuhnya kurus penuh dengan luka.
"Leon!" Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan ikatan. Namun tidak berhasil.
"Kak novita!" panggilnya. Namun sosok menyeramkan itu telah membawaku jauh dari tempat leon berdiri. Hingga kami memasuki jalan setapak yang gelap, menuju sebuah rumah.
"Bawa dia masuk," ucap Wanita Ular itu yang sudah menungguku di depan rumah itu.
Makhluk besar itu melepaskan ikatanku. Memaksaku berjalan masuk ke dalam rumah. Kemudiah aku dimasukan ke sebuah ruangan yang sangat gelap.
"Kenapa kamu ada di sini?" Terdengar suara seorang wanita dalam kegelapan.
"Kamu mengenalku?" tanyaku bingung, sambil meraba-raba ruangan gelap itu.
"Namaku Lastri," balasnya.
"Lastri? Bagaimana kamu bisa ada di sini, bukannya kamu ...."
"Penunggu rumahmu. Seharusnya begitu, tapi Wanita Ular itu merasa terancam dengan keberadaanku. Hingga aku ditangkap dan dibawa ke sini," jelasnya.
"Apa kamu tau ini tempat apa?"
"Tempat di mana Wanita Ular itu mengumpulkan para tumbal. Mereka akan dijadikan budak sekaligus makanan."
"Berarti leon...."
"Ya, selamanya dia akan dijadikan budak. Jika sudah bosan mungkin mereka akan memakannya."
Hatiku hancur, saat mengetahui tentang hal ini. Adikku yang malang. Dia masih tersiksa, bahkan setelah meninggal dunia.
"Lalu, bagaimana dengan Kevin?" tanyaku.
"Sepertinya dia masih ada di sini."
"Di mana? Aku ingin menemuinya dan memeluknya."
"Aku tidak tau. Mungkin di salah satu ruangan di rumah ini."
"KEVIN!" teriakku memanggil namanya.
"Jangan bertindak bodoh, jika Genderuwo itu mendengar teriakanmu maka kamu akan disiksanya."
Aku terdiam.
"Lalu, bagaimana dengan Mbok Wati? Apakah dia ada di sini juga?" tanyaku.
"Dia tidak ada di sini."
"Di mana?"
"Dia tidak ada di sini!" balas Lastri kesal.
"Dia tidak menjadi tumbal seperti kedua adikmu," sambungnya.
"Bagaimana bisa?"
"Tidak penting membahas hal itu, lebih baik kamu segera pergi dari tempat ini."
"Pergi?" tanyaku seraya berjalan mendekati sumber suaranya.
"Apa kamu benar-benar tidak ingat dengan tempat ini?"
Aku kembali terdiam dan berpikir.
Jalan setapak yang gelap. Wanita Ular yang menyambutku di depan rumah. Hutan belantara. Ah! Persis dengan mimpiku dulu.
"Bukankah itu hanya mimpi?" tanyaku ragu.
"Itu bukan mimpi. Dia sempat ingin membawamu tapi gagal."
"Aku ingat ada suara seorang wanita yang menyelamatkanku."
"Itu aku."
"Jadi suara itu? Suaramu?" Kini aku sudah sangat dekat dengannya. Namun ruangnya yang gelap tanpa cahaya membuatku tak bisa mengetahui di mana dia berada.
"Ya."
"Kenapa kamu menolongku."
"Aku tidak menolongmu. Aku hanya benci dengan Wanita Ular itu. Dia sudah mengganggu tempat tinggalku."
"Terimakasih. Kamu juga sudah menolongku malam itu." Malam di mana sosok yang menyerupai Mbok Wati berusaha masuk ke kamarku.
"Sebaiknya kamu segera pergi!"
"Bagaimana caranya? Kamu saja tidak bisa ke luar dari sini."
"Aku tidak bisa, tapi kamu bisa. Karena ini belum saatnya kamu mati," ucapnya.
"Coba Kamu ingat-ingat ke mana harus pergi?"
"Jurang?"
"Ya, itu perbatasan antara alammu dan alamku. Sekarang kamu hanya perlu mencari jendela."
Kuluruskan kedua tangan ke depan, mulai meraba-raba area di sekitarku sampai merasakan ada sebuah tembok yang begitu dingin. Kuraba setiap inci tembok itu, hingga menemukan jendela kayu.
"Di sin!" ujarku.
"Buka jendela itu. Lalu pergilah."
"Apa kamu tidak ikut?"
"Sudah kubilang tidak bisa."
Kudorong jendela kayu itu kuat-kuat, hingga akhirnya terbuka. Cahaya rembulan langsung menyinari tubuhku. Membuat ruangan yang tadinya gelap menjadi agak terang.
"Pergi cepat! Jika ingin selamat tinggalkan rumah itu," pesannya.
Sebelum melompat ke luar jendela, aku menoleh ke belakang. Di sana seorang wanita cantik sudah berdiri dengan gaun putih panjang. Rambutnya panjang tergerai sampai lututnya.
"Lastri," panggilku.
"Ya?"
"Semoga kamu bisa segera ke luar dari sini," ucapku seraya melompat dari jendela dan berlari menuju barisan pepohonan.
Aku terus berlari masuk ke dalam hutan. Hingga tiba-tiba di sisi jurang. Tanpa ragu, aku melompat ke dalam jurang dan ....
Hue!
Kurasakan hentakan yang sangat kuat di tubuhku. Kutarik nafas panjang. Ternyata aku masih hidup. Lalu membuka mata perlahan.