Menikah dengan lelaki yang dia cintai dan juga mencintainya adalah impian seorang Zea Shaqueena.
Namun impian tinggalah impian, lelaki yang dia impikan memutuskan untuk menikahi perempuan lain.
Pergi, menghilang, meninggalkan semua kenangan adalah jalan yang dia ambil
Waktu berlalu begitu cepat, ingatan dari masa lalu masih terus memenuhi pikirannya.
Akankah takdir membawanya pada kebahagiaan lain ataukah justru kembali dengan masa lalu ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Destiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertanggung jawab
Seorang wanita paruh baya memasuki sebuah kamar yang di dominasi warna pink. Ia duduk di tepi tempat tidur seraya menatap foto sang anak yang terpajang dalam sebuah pigura yang ia pegang.
Ia merindukan putrinya yang tinggal jauh darinya. Pulang pun hanya sesekali. Ia menghela nafas pelan, lalu menyimpan foto itu kembali ke atas nakas.
Entah dorongan dari mana, ia membuka laci nakas tersebut. Terlihat banyak foto tersimpan disana. Namun bukan itu yang menjadi fokusnya.
Ia mengambil amplop yang bertuliskan rumah sakit. Ia penasaran dengan isinya. Ia membukanya lalu membacanya dengan teliti.
Matanya membulat sempurna "Ya tuhan." Ia sangat terkejut membaca isi surat itu.
Ia bergegas keluar dari kamar itu, sedikit berlari sambil berteriak. "PAPA"
Ia menghampiri suaminya yang sedang berada di tera samping rumahnya.
"PA!"
"Ada apa? kenapa teriak- teriak begitu?" Tanya nya santai, lalu menyeruput kopinya.
"Zea hamil pa"
Uhukkk
Tama sampai tersedak saat mendengar yang di ucapkan istrinya. Ia sungguh terkejut. "Jangan sembarangan bicara."
"Nih lihat, baca sendiri " Ucapnya, menyerahkan kertas yang dia bawa pada suaminya.
Tama menerima kertas itu lalu membacanya.
"Pa, apa karena ini dia gak mau pulang?"
"Papa jangan diam aja." Ucapnya saat melihat suaminya terdiam menatap lekat kertas yang di pegangnya.
Tama juga terkejut mengetahui hal itu, ia juga mengkhawatirkan anaknya namun ia berusaha tenang memikirkan langkah yang harus ia ambil.
Tama mengambil ponselnya lalu menelpon seseorang.
"Halo?"
.
.
.
Pagi-pagi sekali Varro sudah berada di apartemen Zea. Seperti biasa setiap pagi mereka akan sarapan bersama lalu Varro mengantarkan Zea ke butiknya.
Namun semenjak kejadian malam itu, Zea kembali acuh pada Varro, tidak terlalu banyak bicara, bicara hanya seperlunya.
Pagi ini Zea hanya membuat sandwich untuk sarapan mereka. Keheningan menguasai keduanya. Varro memperhatikan Zea yang fokus menghabiskan dua potong sandwich serta segelas susu hangat.
"Biar aku yang cuci." Ucapnya, menghentikan Zea yang hendak membawa piring serta gelas kotor ke dapur.
Zea membiarkan Varro. Ia memilih masuk ke kamar untuk membawa tasnya. Zea keluar bertepatan dengan Varro yang keluar dari area dapur.
"Berangkat sekarang?" Tanya Varro. Zea hanya mengangguk lalu berjalan mendahului Varro.
Varro menghela nafasnya dalam. Ia akan bersabar menghadapi sikap Zea padanya saat ini.
"M- mama" Zea terkejut saat mendapati kedua orang tuanya sudah berada di hadapannya. Begitu juga Varro.
"Masuk!" Zea merasa takut mendengar ucapan tegas papanya. Ia tidak tau apa yang membuat kedua orang tuanya datang tanpa memberi tahu nya lebih dulu.
Mereka duduk di kursi sofa ruang tamu. Zea duduk bersisian dengan Varro. Sungguh Zea tidak berani mengangkat pandangannya, tatapan keduanya menghunus tajam menatapnya.
"Apa kalian tinggal bersama?" Tanya tama setelah terdiam cukup lama.
Mendengar pertanyaan papanya, Zea langsung menyangkalnya dengan cepat. "Enggak pa. Kita gak tinggal bareng."
"Lalu?" Tanya nya kembali dengan tatapan mengintimidasi keduanya.
"Kami hanya sarapan bersama om, setelahnya aku mengantarkan Zea ke butik." Kali ini Varro menjawab.
Tama menghela nafas panjang, terdiam beberapa saat. "Bisa kamu jelaskan sama papa Zea?" Ucapnya, mengeluarkan Surat yang istrinya temukan.
Melihat itu Zea terkejut bukan main. Ia tidak mengira orang tuanya mengetahuinya lebih cepat sebelum ia sendiri yang memberitahukannya. "Pa, i-itu ... "
"Papa sungguh kecewa sama kamu. Apa papa sama mama pernah mengajarkan kamu berbuat hal seperti itu Zea?" Tama menatap Zea lekat. Ia sungguh kecewa terhadap putrinya itu, ia merasa gagal menjadi seorang ayah untuk putrinya.
Melihat Zea menangis Varro merasa tak tega, ia menarik tangan Zea ke dalam genggamannya.
"Apa kamu mengetahuinya Varro?" Tama beralih menatap Varro.
"Saya tau om." Sahutnya.
deg
Zea semakin terkejut mendengar jawaban Varro. Apa mungkin Varro mengejarnya karena Varro tahu kalau Ia sedang mengandung anaknya.
"Sejak awal saya tau. Untuk itu saya membongkar kejahatan mereka lebih cepat."
Tama memijat pangkal hidungnya. Kini ia mengerti maksud ucapan Varro hari itu.
"Berapa bulan?" Kini ia menatap Zea yang terus menundukkan kepalanya tanpa berani menatapnya.
"Zea!" Ucapnya penuh penekanan saat Zea tak kunjung menjawabnya.
"Ti-tiga bulan pa." Sahut Zea lirih
Zea sangat takut akan kemarahan papanya. Bukan marah yang meledak-ledak memarahi, namun marah papanya itu diam. Ia akan mendiamkan Zea sampai amarahnya mereda, biasanya. Namun untuk kesalahannya kali ini, Zea lebih takut lagi.
"Maaf pa, ma." Lirih Zea disela isak tangisnya.
"Untuk apa kamu melakukan hal itu? Lihat papa Zea, papa sedang bicara sama kamu." Mendengar ucapan dingin dan tegas papanya membuat Zea semakin menangis tak berani menatap sedikit pun.
Lisa yang berada di samping suaminya mengusap tangannya supaya tidak terus menekan Zea. Ia juga sama kecewanya seperti sang suami. Namun sebagai seorang ibu, ia tak kuasa melihat Zea menangis seperti itu.
Tama menarik nafas beratnya, mencoba kembali menekan kekecewaannya.
"Apa yang akan kamu lakukan untuk masalah ini Varro?"
"Saya akan bertanggung jawab om. Saya akan menikahi Zea.
"Lebih cepat lebih baik."
"Pa!" Seru Zea menatap papanya. Kemudian kembali menunduk saat melihat tatapan dingin papanya.
"Ini semua salah aku sendiri, kak Varro gak perlu tanggung jawab" Ucapnya lirih.
"Ze" Varro sungguh kecewa dengan perkataan Zea.
"Apa belum cukup kamu mengecewakan papa Zea?"
Zea menggeleng samar.
"Apa yang ada dalam pikiran kamu? Apa kamu tidak berfikir bagaimana masa depan anak kamu kelak? Disini sudah jelas ada ayahnya yang akan bertanggung jawab."
"Om, saya mau berbicara berdua dengan Zea sebentar"
Tama mengangguk. Varro beranjak berdiri menarik tangan Zea untuk mengikutinya. Varro membawanya ke balkon tak jauh dari ruang tamu hanya terhalang pintu kaca, masih bisa terlihat oleh kedua orang tua Zea.
Varro mendudukan Zea di kursi yang ada disana. Sedangkan dirinya berjongkok di hadapan Zea.
Zea menunduk dengan air mata yang masih menetes. Varro mengusap air mata yang mengalir di pipi Zea dengan lembut. Ia tatap dengan lekat, ia genggam kedua tangan Zea.
"Lihat aku" Varro berbicara lembut. Ia tidak mau Zea semakin tertekan.
Dengan ragu-ragu Zea menatap Varro. Varro tersenyum "Apa dia baik-baik saja?" menunjuk perut Zea dengan tatapan matanya. Zea mengangguk samar.
"Kamu tau? Saat pihak rumah sakit memberi tau kalau sampel benihku hilang, aku terkejut, aku takut, aku khawatir. Aku takut sampel itu disalah gunakan orang tak bertanggung jawab. Tapi, saat aku tau kamu orang yang menggunakan sampel itu aku bahagia. Mungkin kalau orang lain, aku akan marah. Tapi itu kamu, aku senang saat dokter mengatakan program yang kamu lakukan berhasil." Varro menjeda ucapannya menunggu respon Zea.
"Maaf" Ucap Zea lirih.
"Enggak, aku yang minta maaf. Aku minta maaf atas kesalahanku dulu. Maaf saat itu aku mutusin kamu gitu aja, maaf untuk semua kebodohanku. Tolong kasih aku kesempatan untuk menebus semua kesalahan aku sama kamu. Ayo kita menikah, kita besarkan anak kita sama-sama. Tolong pikirkan ini baik-baik, Pikirkan anak kita." Varro menatap Zea penuh harap.
"Mau ya?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ada yang masih nungguin kelanjutan cerita ini gak?
Aku usahakan up tiap hari ya..