Gus Shabir merasa sangat bahagia saat ayah Anin datang dengan ajakan ta'aruf sebab dia dan Anin sudah sama-sama saling menyukai dalam diam. Sebagai tradisi keluarga di mana keluarga mempelai tidak boleh bertemu, Gus Shabir harus menerima saat mempelai wanita yang dimaksud bukanlah Anin, melainkan Hana yang merupakan adik dari ayah Anin.
Anin sendiri tidak bisa berbuat banyak saat ia melihat pria yang dia cintai kini mengucap akad dengan wanita lain. Dia merasa terluka, tetapi berusaha menutupi semuanya dalam diam.
Merasa bahwa Gus Shabir dan Anin berbeda, Hana akhirnya mengetahui bahwa Gus Shabir dan Anin saling mencintai.
Lantas siapakah yang akan mengalah nanti, sedangkan keduanya adalah wanita dengan akhlak dan sikap yang baik?
"Aku ikhlaskan Gus Shabir menjadi suamimu. Akan kuminta kepada Allah agar menutup perasaanku padanya."~ Anin
"Seberapa kuat aku berdoa kepada langit untuk melunakkan hati suamiku ... jika bukan doaku yang menjadi pemenangnya, aku bisa apa, Anin?"~Hana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga
Hana sengaja menggunakan cadar, karena malu berhadapan langsung dengan Gus Shabir, pria yang sangat dia kagumi. Dia takut menjadi gugup jika nanti putra kiai Samsudin itu memandangi wajahnya. Dia juga tidak ingin semua orang tahu jika saat ini sedang berbahagia karena keinginannya untuk berumah tangga dengan pemuda tampan itu akan terkabul.
Gus Shabir saat ini telah duduk berhadapan dengan Ghibran. Sebagai kakaknya Hana, dia akan menjadi wali nikah wanita itu.
Gus Shabir melihat ke arah catatan, di sana tertulis nama calon pengantin wanita adalah Hana Kayla Maira. Dia jadi berpikir, kenapa saat kenalan dulu wanita itu menyebut namanya Anin. Apakah itu nama panggilan saja? Pikir Gus Shabir.
Di pondok pesantren dulu, dia tidak pernah mengajar langsung di kelas Anin, sehingga tidak tahu nama gadis itu. Gus Shabir menarik napas, dia akan mengucapkan ijab kabul sesaat lagi.
Anin yang baru sampai segera turun dari taksi, dia sengaja tidak membawa pakaian. Dari terminal langsung menuju mesjid. Gadis itu sangat mandiri. Tidak mau dijemput dengan supir.
Dengan setengah berlari dia masuk ke mesjid dan tatapannya langsung tertuju pada pria yang saat ini sedang duduk dihadapan sang papi. Tubuh Anin terasa lemas, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Jadi, calon suami Aunty Hana adalah Gus Shabir. Rencana apa yang sedang kau buat untukku Tuhan. Pria yang sangat aku idamkan untuk menjadi suamiku ternyata akan menikah dengan tanteku," gumam Anin pada dirinya sendiri.
Tubuh wanita itu terasa lemah. Bersandar di tiang mesjid. Air mata jatuh membasahi pipinya tanpa bisa di cegah.
"Melihatmu menikahi wanita lain, saat aku sedang memantaskan diri untuk menjadi calon istrimu adalah kejutan yang tak pernah ku duga. Lukanya sangat perih menusuk hingga ke jantung," gumam Anin dalam hatinya.
Gadis itu memegang dadanya yang terasa sesak. Belum ada yang menyadari kedatangannya. Kakinya terasa lemah, dia akhirnya memilih duduk sebelum jatuh.
Saat ini Ghibran dan Shabir telah berjabat tangan. Mereka akan mengucapkan Ijab Kabul.
"Shabir Ahmad Shadiq," panggil Ghibran.
"Saya, Pak," jawab Shabir dengan mantapnya.
"Saya nikah dan kawinkan engkau dengan adik kandungku Hana Kayla Maira binti Abdul Hakim, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan seperangkat perhiasan emas, dibayar tunai!" ucap Ghibran.
Shabir terdiam mendengar ucapan Ghibran, dia merasa ada yang janggal dengan ucapan pria itu. Jika nama, Shabir memang tidak tahu nama panjang Anin, karena memang tidak pernah mengajar di kelas gadis itu.
"Shabir, kenapa diam. Kamu harus langsung menjawab dengan sekali tarikan napas. Kita ulangi lagi," ucap petugas dari kantor urusan agama.
"Maaf, Pak. Kenapa tadi sebutnya adik?" tanya Shabir dengan suara pelan.
"Hana itu memang adik saya, Shabir," jawab Ghibran.
Shabir semakin bingung dengan ucapan Ghibran, kenapa dia menyebut adik. Bukankah kemarin, saat pengambilan hasil nilai akhir, dia di sebut sebagai ayah dari Anin. Pikir Shabir. Tapi, dia tidak mungkin bertanya lebih jauh lagi karena Abinya berbisik.
"Shabir, jangan bengong saja. Kamu membuat Abi malu. Masa pembacaan ijab kabul saja kamu tidak bisa," bisik Abinya Shabir.
Shabir mengangguk sebagai jawaban. Dia tidak ingin Abinya malu. Kali ini harus bisa mengucapkan ijab kabul dengan sekali tarikan napas.
"Silakan Pak Ghibran ulangi ijab kabul-nya," ucap petugas itu. Dia juga bertanya dengan Gus Shabir, apakah siap untuk mengucapkan ijab kabul. Pemuda itu langsung menjawab siap.
"Shabir Ahmad Shadiq," panggil Ghibran.
"Saya nikah dan kawinkan engkau dengan adik kandungku Hana Kayla Maira binti Abdul Hakim, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan seperangkat perhiasan emas, dibayar tunai!" ucap Ghibran, mengulanginya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Hana Kayla Maira binti Abdul Hakim, dengan mas kawin tersebut di atas, dibayar tunaiii," ucap Shabir dengan sekali tarikan napas.
Pak penghulu lalu bertanya pada saksi, apakah pernikahan sah, kedua saksi menjawab serempak.
"Sahh ...," ucap mereka serempak.
Semua yang hadir di mesjid tampak lega dan memancarkan kebahagiaan, kecuali seorang gadis. Air matanya tak henti mengalir sejak Gus Shabir mulai mengucapkan ijab kabul.
Anin memegang dadanya yang terasa sesak menahan sebak. Menghapus air mata yang jatuh membasahi pipi. Dia tidak ingin orang-orang memandangnya dengan tatapan heran jika melihat dia menangis di hari bahagia sang tante.
"Ya Allah, sangat menyakitkan memang, ketika kita dipaksa untuk melupakan seseorang yang bahkan belum pernah kita miliki sebelumnya," gumam Anin dalam hatinya.
Hana di minta duduk di samping Shabir untuk menyematkan cincin dan memberikan mas kawin. Mereka juga akan menandatangani surat nikah. Saat ini dia telah berada di hadapan pria yang telah sah menjadi calon suaminya itu.
Gus Shabir menyematkan cincin dengan senyuman, dalam hati dia berkata, jika akhirnya dia kini bisa menikahi wanita yang dicintainya dalam diam. Saat memberikan mas kawin, kedua pengantin di minta berdiri agar bisa di foto untuk dijadikan kenangan.
Anin sudah tidak bisa menahan rasa sesak di dadanya. Dia berdiri dari duduknya. Pada saat itu, Gus Shabir sedang memandang ke arah dirinya. Terjadilah kontak mata di antara keduanya.
Anin berjalan keluar dari ruang mesjid dengan tergesa. Sementara itu Gus Shabir tampak syok. Wajahnya yang semula ceria berubah pucat.
"Bukankah yang aku lihat tadi adalah Anin? Jadi siapa wanita yang aku nikahi saat ini?" tanya Gus Shabir dalam hatinya.
Anin berlari ke samping mesjid. Dia memilih duduk di bangku taman yang berada di sisi kiri mesjid. Tangis gadis itu akhirnya pecah.
Duhai hati, kamu baik-baik saja'kan? Tidak seharusnya aku pertanyakan itu. Menangis saja. Tak apa menangislah. Kadang tak baik menahan emosi yang seharusnya dikeluarkan. Namun, jika bisa jangan sampai ada yang tahu kamu menangis. Mencintai dalam diam tak selalu berakhir manis, tapi jika kita mau mengambil bagian untuk berprasangka baik pada Allah. InsyaAllah akan manis meskipun tak bersama dia yang kamu idamkan selama ini. Barangkali di bagian bumi sana ada seseorang yang mendoakan kamu meskipun tak tahu namamu.
"Aku mengenalmu secara tidak sengaja, mencintaimu secara tiba-tiba dan harus melupakan kamu secara terpaksa. Apakah aku harus mengikhlaskan'mu? Memilikimu saja belum sempat, bagaimana caranya aku mengikhlaskan kamu?" tanya Anin pada dirinya sendiri dengan terisak.
Shabir yang penasaran ingin tahu siapa wanita yang telah menjadi istrinya itu, makin merapatkan berdirinya. Dia lalu mengulurkan tangan untuk membuka cadar yang Hana pakai. Gadis itu tersenyum saat sang suami ingin membuka kain penutup wajahnya. Hana berpikir pria itu pasti ingin melihat wajahnya yang telah di rias. Sementara kerabat yang lain ikut tersenyum, mereka berpikir Gus Shabir pasti tidak sabar ingin melihat wajah cantik sang istri.
...----------------...
jadikan itu menjadi dewasa,bijak dan sabar serta luas memaafkan,jgn lebai,egois dan kekanak kanakn
jdi ingat alm papamu saat menikahkanku, alm nangis terus😭😭