Pembaca baru, mending langsung baca bab 2 ya. Walaupun ini buku kedua, saya mencoba membuat tidak membingungkan para pembaca baru. thanks.
Prolog...
Malam itu, tanpa aku sadari, ada seseorang yang mengikuti ku dari belakang.
Lalu, di suatu jalan yang gelap, dan tersembunyi dari hiruk-pikuk keramaian kota. Orang yang mengikuti ku tiba-tiba saja menghujamkan pisau tepat di kepalaku.
Dan, matilah aku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Misteri Dibalik Hilangnya Naya. 5
"Siapa?" Sekali lagi aku menelusuri kamar tidur yang dulunya di pakai oleh Naya. Tapi percuma, suara itu sudah hilang dan keheningan kini yang telah menggantikannya.
Aku melihat ke arah jam dinding di kamar Naya. Sudah hampir tengah malam. Aku memutuskan untuk mengakhiri explore ini. Apa yang aku harapkan, tidak sesuai dengan keinginan.
Masih ada waktu lain untuk mengungkap misteri ini. Kebetulan, saat suara tadi terdengar, kamera handycam ini merekamnya. Aku yakin kalau suara itu juga terdengar. Pak Jatmiko mungkin mengenali suara tangisan tadi. Dan aku yakin, kalau suara tangisan tadi adalah suaranya Naya.
Nex
Mimpi tentang Udin kembali menghantui, seperti di malam sebelumnya, aku terbangun ketika wajah Udin muncul tepat di depan mukaku. Jam alarm masih belum berbunyi, dan sepertinya di luar masih gelap. Aku bangun lebih cepat dari biasanya. Tapi, beruntung aku bisa kembali tidur, dan tidak mengalami mimpi buruk lagi.
Nex
"Gimana explore kemarin?" tanya Angga, dia menungguku di depan rumahnya. Ayu juga terlihat bersama Angga dia tersenyum manis padaku. Enaknya punya adek cewek. Bisa di ajak maen tiap hari.
"Yah, lumayan menegangkan." jawabku. "Sayang sekali kamu tidak ikut."
"Bodoh ah. Capek Gua."
"Mas Riyono pemberani ya?" kata Ayu.
"Dia tidak pemberani, Yu." sahut Angga. "Dia itu nekat!!" dan kami bertiga pun tertawa terbahak bahak bersama.
Ayu berangkat ke sekolah bersama kedua teman ceweknya. Dia sekolah di SDN Mulyorejo 30, dimana aku dulu sekolah di sana. Sedangkan Angga, dia sekolah di SDN Tanjungrejo, itu tepatnya di dekat Mergan. Dekat Pak Jatmiko bekerja dulu. Dan dekat rumahnya Roy Mattalatta, teman masa kecilku. Kalian pembaca setia pasti akan langsung ingat deh. Ya kan? Ya kan? Ingak Ingak, Ting! :p
Dika bergabung dengan aku dan Angga setelah Ayu sudah hilang di tikungan jalan raya Mulyorejo. Dia bersama Lenny Anggraini, teman sekelas kami. Lenny si tomboi, andaikan dia berdandan layaknya cewek tulen. Aku yakin dia akan menjadi salah satu cewek idaman di sekolah.
Di sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, aku menceritakan kisah explore ku kemarin malam. Dika cuek cuek bebek. Sedangkan Lenny, dia sangat tertarik dengan ceritaku.
"Nanti sepulang sekolah, mampir saja kerumahku." kata Angga ke Lenny. "Kita lihat hasil rekamannya si Riyono kemarin malam."
"Yah. Kayaknya itu ga mungkin deh." Jawab Lenny. "Gua harus kerja. Tau sendirilah, aku yatim dan piatu. Harus cari uang untuk menyambung hidup."
"Oh, begitu ya?" jawab Angga. "Sayang sekali. Oh, ngomongin tinggal sendirian. Elu juga seperti itu kan, Yon?"
Wajah Lenny Anggraini terkejut ketika mendengar perkataan Angga barusan. "Benarkah?" Lenny bertanya kepadaku.
"Begitulah. Tapi, aku masih mending, aku masih ada yang mengirim i uang. Sedangkan kamu..."
"Heiii!!!" Levi, melambaikan tangannya kepada kami. "Riyonooooo!!" Oh, kepadaku!! Ajaib, dia sudah mulai ingat tentang diriku kah?
"Hai! Levi, selamat pagi!" aku membalas sapaannya.
"Pagi!! Angga juga. Pagi. Lenny juga, ohayou!!" teriak Levi. Oh, ternyata kepada kami. Tuas GR Cok.
"Om haou?" tanya Angga ke Lenny.
"Ohayou!! Buged!! Itu tadi sapaan selamat pagi dalam bahasa jepang!" Lenny memarahi Angga. Yak, muncul lagi orang budeg di novel saya. Wakakaka.
"Ohhh, begitu?" kata Angga. "Hai Lenny. Ohayou!!" Angga melambaikan tangannya ke arah Levi. Levi langsung tambah sumringah dibuatnya. Are? Nani Kore?
"Oi! Gua tidak di sapa juga kah?" teriak Dika ke arah Levi.
"Oh. Hai? Siapa namamu? Maaf aku tidak hafal nama nama teman sekelas!" teriak Levi.
"Bodoh ah. Ngambek Gua!" celetuk Dika yang membuat kami tertawa terbahak bahak.
Nex
Udin. Yaa, silakon alias tokoh utama, kita saat ini, dia sedang bercerita tentang kuntilanak yang di kali Gimun. Dia selalu melebih lebihkan ceritanya. Padahal dia yang pertama kali ngacir dari sana. Tapi, kalau cerita ke teman sekelas, dia selalu berkata kalau dialah yang paling di depan. Tapi, masa bodoh lah dengan dia. Biarkan dia menikmati kesombongannya itu.
Selama pelajaran, Levi sering sekali mengajak aku berbicara, harusnya aku seneng kan kalau di ajak bicara dengan seseorang yang aku suka. Tapi, ini beda cerita gaess, dia menanyakan tentang Angga terus. Dari pagi hingga sampai siang. Saat aku mulai agak jengkel, aku sampai kelepasan bicara. "Tanya saja ke dia sendiri!" dengan nada yang cukup tajam. Tapi, dia tidak mau peduli dan terus terusan menanyakan tentang Angga.
Fuck Of.
Nex
Siang hari, setelah pulang sekolah. Aku langsung mampir ke rumah Angga. Dia semangat sekali saat memutar video yang aku rekam kemarin. Banyak sekali penampakan bayangan hitam. Seperti yang Angga katakan. Sosok itu kadang muncul di lantai bawah, tapi paling sering dia muncul di lantai dua. Dan selalu berada di balik bayang bayang, sehingga kalau kita tidak fokus pasti akan melewatkan penampakan tersebut.
Sebelum aku pamit pulang, Ayu bergabung dengan kami. Dia berceloteh tentang sekolahnya yang akan mengadakan Pramuka. Dan kemah di lapangan sekolah. Aku bercerita ke Ayu kalau aku dulu juga sering melakukan hal yang sama.
"Aneh. Mas Riyono kan sekolah di sana juga. Tapi, Pramuka nya kan sudah lama tidak di adakan. Dan ini pertama kalinya setelah sekian tahun." kata Ayu.
"Ahahaha. Waktu itu aku dan teman teman sekelas melakukan Pramuka mandiri." jawabku berbohong.
"Mandiri?"
"Tanpa guru dan pengawas. Lalu cerita horor di depan api unggun. Wah, seru sekali!! Aku jadi ingin melakukannya lagi!!" Lalu aku menceritakan sedikit kisah horor yang di ceritakan oleh teman sekelas yang muncul di buku pertama. Tapi, hari sudah mulai sore, karena saat ini aku sudah tidak tinggal sendirian, maka aku harus cepat cepat segera pulang supaya Pak Jatmiko tidak terlalu cemas. Tapi, itupun kalau dia sudah pulang duluan.
Nex
"Lho? Ini televisi berwarna yang ada di rumah Anda itu kan?" aku melihat sebuah televisi berwarna berukuran jomblo, eh jumbo sudah terpasang di ruang tamu. Selain Televisi, ada beberapa sofa yang ada di sana juga. "Dan juga, apaan ini?"
"Yah, seperti aku akan tinggal cukup lama di rumahmu. Makanya, beberapa barang yang kiranya kamu inginkan aku taruh sini." jawabnya.
"Anda mengangkat nya sendiri?"
"Ya engga lah. Aku minta bantuan kepada Pak Buang yang membangun rumahku. Dia tinggal di sebelah rumahnya temanmu yang bernama Udin. Dan ini." dia menyerahkan sebuah bingkisan yang di bungkus rapi. Aku membukanya.
"Oi!!! Ini!!! Handphone!! Nokimen!! Nokimen N93i!! Ini muahal buanget lho Pak!! Ini terlalu berlebihan!!" aku berseru kegirangan. Tapi ada rasa sedikit sungkan kepadanya sih.
"Tidak juga. Nih, aku juga pake handphone yang sama. Lagi pula, kalau kamu pulang telat, setidaknya bisa menghubungi aku."
"Ta.. Tapi.."
"Ga ada tapi tapi an. Ambil saja. Sini, tak pasangin SIM card nya." Lima menit kemudian. "Nih, itu nomor ku. Kalau ada apa apa di mana pun kamu berada, telpon ke nomor itu. Caranya? Begini. Nah begitu. Jangan sampai rusak ya."
"Hiks!" aku si penulisnya saja tak kuasa menahan tangis. Itu handphone impian sang penulis, dan dia ga sanggup membelinya sampe sekarang. Eeh malah curhat si penulisnya. "Hiks. Ini handphone impian saya Pak Jatmiko. terima kasih, saya akan menjaganya sebaik mungkin."
Nex
Sore harinya, Pak Jatmiko mengajak aku ke warung Mie pangsit yang dia ceritakan. "Lho? Kok tutup lagi sih?" Katanya saat kami berada di pertigaan jalan ada di dekat SDN Mulyorejo 30. Pertigaan jalan itu tembus di pos jaga dimana bapakku jaga. Ya, yang ada di buku pertama. Bagus masih ingat.
"Mungkin masih terlalu sore. Bisa jadi dia bukannya agak malam an dikit." kataku sambil maenin handphone yang dia berikan. Nokimen N93i itu bisa di tekuk tekuk layaknya handycam. Dan kameranya juga ga kalah jernih dengan handycam nya Angga. Aku benar benar terhipnotis oleh benda laknat itu.
"Engga juga kok. Biasanya jam lima sore sudah buka." jawabnya. "Ya sudahlah, besok saja kita balik lagi ke sini."
Nex
keesokan harinya, lagi lagi warung Mie pangsit yang Pak Jatmiko sebutkan masih tidak terlihat buka. Jadi, kita cuma lewat saja.
Dan di hari kelima, akhirnya warung Mie pangsit itu buka. "Mas, pesan dia ya. Seperti yang aku pesan biasanya."
"Ya pak." Jawab Mas penjual i..... Oi!!
"Wahahaha!!" aku tidak sengaja tertawa terbahak karena yang di panggil Mas oleh pak Jatmiko itu.
"Brengsek lu Yon!! Seneng banget lu ya?" Kata Mas itu.
"Lho? Mas nya kenal sama Riyono?" tanya Pak Jatmiko.
"Ga kenal saja Pak." jawabku. "Dia teman sekelas ku. Namanya Lenny Anggraini. Dia cewek. Wahahaha!!"
"Bodoh!!" dan keplakan Lenny mendarat di kepalaku.
Nex
"Maaf," Kata Pak Jatmiko ketika Mie pangsit yang kami pesan sudah ada di depan mata kami. "Dek Lenny mirip cowok sih. Ganteng pula." aku kembali tertawa mendengar kata kata Pak Jatmiko. Lenny kembali ngeplak, tapi berhasil aku hindari.
"Iya Pak. Tapi, aku masih ga terima sama ketawanya si bego ini." kata Lenny sambil mencoba memukul aku lagi.
"Heheh.. Maaf, Len. Maaf. Khilaf." kataku sambil menikmati Mie pangsit buatan Lenny. "Hem!! Benar, lebih enak kalau di makan saat masih panas!"
"Ya donk. Mie pangsit nya siapa lagi." kata Lenny sambil menyombongkan diri.
"Ini usahamu kah? Katanya ikut orang." kataku.
"Awalnya sama Pak de. Tapi, dia juga meninggal, jadi saat ini aku mewarisi nya. Jangan tanya lagi deh, kalau tanya tanya, yang lain saja." tatapan mata Lenny seketika menjadi sedih. Aku jadi merasa tidak enak. Benar, dia kan anak yatim piatu seperti aku. Tapi, dia sebatang kara beneran. Tidak ada yang menafkahi dia. Sedangkan aku, aku masih ada kerabat yang mengirim i uang bulanan.
"Maaf, maaf." kataku.
"Dek Lenny, beberapa hari ini tutup ya? Kemana?" tanya Pak Jatmiko.
"Tiap hari buka kok Pak." jawab Lenny Anggraini.
"Lho. Kami hampir tiap hari kesini lho. Warung kamu tutup terus."
"Ho'oh." aku menimpali perkataan Pak Jatmiko. "Padahal sudah ngidam dari kemarin lusa."
"Lho, sumpah Yon, aku buka terus. Aku... Aku..." Wajahnya kebingungan seolah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan tapi dia ragu ragu.
"Kenapa? Ada apa? Katakan saja." aku mendesaknya kali ini.
"Kemarin lusa, saat kalian berhenti di situ." dia menunjuk ke arah tempat aku dan Pak Jatmiko mengobrol beberapa hari lalu saat ingin mampir ke Warung Mie pangsit ini. "Tapi, kalian seolah tidak bisa melihatku. Dan aku memanggilmu, Yon. Tapi kamu juga tidak menjawab ku. Aku pikir kamu jadi sombong karena punya handphone canggih, makanya aku marah sama kamu dan menghindari kamu di sekolah. Dan. Dan...."
"Waduh. Ada yang tidak beres nih." kataku. "Sepertinya ada seseorang yang menghalangi usahamu deh."
"Maksudnya?"
"Maksudmu ada seseorang yang memasang pagar gaib supaya usaha orang lain tidak laku, begitu?" tanya Pak Jatmiko.
"Benar." jawabku.
"Tau darimana?" tanya Lenny.
"Ya, hal itu sudah lumrah terjadi di dunia perdagangan." jawabku. "Aku sering baca buku tentang teluh, santet dan lain sebagainya. Dan pagar gaib seperti ini sering muncul di buku buku itu."
"Kamu mau jadi dukun ya, Yon?" sahut Lenny.
"Sembarang, Lu." seru ku.
"Lah kamu kok bisa bicara seperti itu?"
"Ya kan cuma menebak nebak saja."
"Udah ah, aku ga percaya yang seperti itu. Tapi, syukur lah, kamu tidak sombong seperti yang aku pikirkan." Kata Lenny Anggraini sambil menyuguhkan teh hangat. "Ini, tehnya gratis sebagai tanda permintaan maaf karena sudah berburuk sangka kepadamu."