NovelToon NovelToon
Takdir Yang Berbelit: Dari Mata-Mata Menjadi Duchess

Takdir Yang Berbelit: Dari Mata-Mata Menjadi Duchess

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Romansa Fantasi / Cinta Paksa / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / Bercocok tanam
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: d06

Prolog

Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.

Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19 sebuah kebetulan atau bukan?

...✧⁠*⁠。🌷 happy reading 🌷✧⁠*⁠。...

Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menyinari kamar dengan lembut. Cedric mengerjap pelan, merasa tubuhnya lebih ringan dibandingkan biasanya. Sensasi hangat di dadanya membuatnya terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia menundukkan kepala.

Eleanor.

Wanita itu tidur dengan wajah damai, kepalanya menelusup ke dadanya, sementara satu tangannya masih menggenggam lengan bajunya. Rambut panjangnya terurai berantakan, beberapa helainya menyentuh kulit Cedric, memberikan sensasi lembut yang anehnya membuatnya nyaman.

Cedric terkejut, tetapi alih-alih menjauh, dia justru tetap diam, menikmati momen langka ini. Sejak kapan terakhir kali ada seseorang yang tidur sedekat ini dengannya?

Biasanya, dia selalu bangun dengan tubuh kaku dan perasaan kosong, tetapi pagi ini terasa berbeda. Ada ketenangan yang jarang dia rasakan.

Tatapan Cedric melembut saat melihat wajah Eleanor yang tertidur pulas. Kenapa dia bisa tidur dengan begitu nyenyak di sisinya? Bukankah biasanya wanita itu selalu menjaga jarak darinya?

Apa karena tadi malam?

Cedric mengingat kembali bagaimana Eleanor merawatnya—membuat teh jahe, sup ayam, bahkan memijat kepalanya sampai dia tertidur. Itu pertama kalinya ada seseorang yang benar-benar peduli padanya seperti itu.

Eleanor menggeliat pelan, membuat Cedric menahan napas. Wajahnya semakin menelusup ke dada Cedric sebelum akhirnya dia mengerang kecil dan kembali diam.

Cedric mendesah pelan, merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Dia bahkan tidak ingin bergerak, tidak ingin membangunkan Eleanor.

Bukankah ini pertama kalinya mereka tidur di ranjang yang sama?

Biasanya, meskipun mereka menikah, mereka tidak pernah berbagi tempat tidur. Tetapi sekarang, Eleanor ada di sini, di pelukannya, seolah-olah semua batasan di antara mereka telah memudar.

Cedric menatap wajah Eleanor lebih lama, lalu mengulurkan tangannya, menyelipkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah wanita itu ke belakang telinganya.

“Terima kasih...” bisiknya pelan, hampir seperti angin yang berlalu.

Dia sendiri tidak tahu apakah dia sedang berterima kasih karena Eleanor telah merawatnya, atau karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia bangun dengan perasaan yang tidak sesepi biasanya.

...👑👑👑...

Eleanor menggeliat pelan, membuat Cedric menahan napas tanpa sadar. Wajahnya masih menelusup ke dada Cedric, dan pria itu bisa merasakan napas hangatnya mengenai kulitnya.

Lama-lama, kaki dan tangannya mulai sedikit bergerak, menunjukkan tanda-tanda bahwa Eleanor akan segera terbangun. Cedric seharusnya menjauh, tetapi entah kenapa dia tidak melakukannya.

Matanya masih tertuju pada wajah Eleanor yang perlahan mengerjap, kelopak matanya bergerak sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya.

Eleanor tampak kebingungan sesaat, lalu kesadarannya kembali. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Eleanor membelalak.

“Eh…?”

Dia langsung berusaha menjauh, tetapi Cedric dengan cepat menahan tangannya. “Pelan.”

Eleanor menatap Cedric dengan wajah merah. “A-aku… kenapa kita—”

“Kau tertidur.” Cedric memotongnya singkat, suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur.

Eleanor ingin menegaskan bahwa yang tertidur bukan hanya dia, tetapi Cedric juga, dan jelas mereka berdua tidak menyadari posisi seperti ini.

Tetapi saat dia hendak berbicara, rasa pegal di tubuhnya mulai terasa. Kaki Eleanor kaku, kemungkinan karena posisi tidur yang tidak nyaman semalaman. Dia meringis kecil saat mencoba menggerakkan tubuhnya.

Cedric yang melihat itu langsung menegakkan tubuhnya. “Apa kau baik-baik saja?”

Eleanor tidak menjawab. Dia mencoba meluruskan kakinya, tetapi itu justru membuatnya semakin sakit. Melihat itu, Cedric tanpa berpikir panjang mengulurkan tangannya, menggenggam pergelangan kaki Eleanor, lalu mulai memijatnya pelan.

Eleanor tersentak. “Tunggu—kau tidak perlu—”

“Diam.” Cedric tetap fokus. Jemarinya bergerak perlahan, memberikan tekanan lembut di bagian yang kaku. Eleanor menggigit bibirnya, ingin menolak tetapi pada saat yang sama, dia harus mengakui bahwa pijatan Cedric benar-benar membantu mengurangi rasa sakitnya.

Mereka terdiam beberapa saat, hanya suara napas mereka yang terdengar. Cedric tetap serius, seolah-olah yang dia lakukan adalah sesuatu yang biasa saja. Tetapi Eleanor tahu, ini bukan sesuatu yang biasa bagi mereka.

Setelah beberapa menit, Cedric berhenti. “Sudah lebih baik?”

Eleanor mengangguk pelan. “Ya… terima kasih.”

Cedric menatapnya sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan bangkit dari ranjang. Dia berjalan ke meja, menuangkan segelas air, lalu kembali ke sisi Eleanor dan menyodorkannya.

“Minum dulu.”

Eleanor menerimanya, meskipun masih merasa sedikit aneh dengan perhatian yang tiba-tiba ini.

Setelah dia meminum airnya, Cedric akhirnya berbicara, suaranya lebih pelan dari biasanya.

“Eleanor.”

Eleanor menoleh. “Ya?”

Cedric menatapnya dalam-dalam sebelum berkata, “Jika kau lelah, jangan memaksakan diri. Aku tidak ingin kau sakit.”

Eleanor terdiam. Ada sesuatu dalam suara Cedric yang membuat dadanya terasa aneh.

Setelah mengatakan itu, Cedric berbalik dan berjalan ke pintu. Tetapi sebelum dia keluar, dia berhenti sejenak dan berkata tanpa menoleh,

“Terima kasih… untuk semalam.”

Lalu dia pergi, meninggalkan Eleanor yang masih terpaku di tempatnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

...👑👑👑...

Pagi itu, cahaya matahari menghangatkan kastil, menerobos masuk melalui jendela-jendela besar yang menghadap ke taman. Suasana masih sunyi ketika Eleanor tengah menikmati secangkir teh di ruang kerjanya. Namun, ketenangannya terganggu ketika seorang pelayan mengetuk pintu dan masuk dengan sedikit membungkuk.

"Selamat pagi, Duchess. Saya ingin menyampaikan sesuatu," ujar pelayan itu dengan sopan.

Eleanor mengangkat alisnya, meletakkan cangkirnya perlahan. "Apa itu?" tanyanya tanpa banyak ekspresi.

"Duke Cedric telah berangkat ke istana pagi ini untuk bertemu dengan Yang Mulia Raja Harknes," pelayan itu melanjutkan dengan nada hati-hati.

Eleanor mengerutkan keningnya sesaat. Namun, alih-alih menunjukkan keterkejutan, ia hanya menyesap kembali tehnya dan menjawab singkat, "Terima kasih atas informasinya."

Pelayan itu menunduk, lalu pergi setelah melihat tidak ada lagi yang perlu disampaikan.

Eleanor menatap keluar jendela, matanya menangkap bayangan kuda-kuda yang baru saja meninggalkan kastil. Pikirannya mengembara. Kenapa harus ada pemberitahuan untukku? Bukankah selama ini semuanya berjalan tanpa keterlibatanku?

Ia mendengus kecil, menahan senyum sinis. Terserah Cedric mau pergi ke mana. Itu bukan urusanku. Dia bahkan tidak pernah mengabariku sebelumnya. Jadi kenapa sekarang harus repot-repot?

Namun, tanpa sadar, jarinya mengusap bibir cangkirnya, dan ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa sedikit… kosong.

Eleanor meletakkan cangkirnya di meja, membiarkan uap teh yang mulai memudar mengisi udara di sekitarnya.

Tatapannya masih tertuju ke luar jendela, memperhatikan halaman kastil yang kini mulai sibuk dengan para pelayan yang beraktivitas. Kuda-kuda baru saja kembali ke kandang, mungkin setelah mengantar Cedric dan rombongannya ke istana. Namun, yang mengganggunya bukanlah keberangkatan Cedric—melainkan kenapa harus ada yang memberitahunya?

Ia menyesap napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang muncul di dadanya. Apa aku harus peduli? pikirnya. Tentu saja tidak. Ia bukan istri yang dicintai, hanya seorang wanita yang kebetulan menikah dengan Duke karena keadaan.

Namun, semakin ia meyakinkan dirinya, semakin pikirannya menolak untuk diam.

"Mengapa raja memanggilnya?" gumam Eleanor pelan, hampir tidak terdengar. Apakah ini menyangkut urusan politik? Perang? Atau mungkin… sesuatu yang lebih pribadi?

Ia menggelengkan kepala, berusaha mengusir spekulasi yang tidak perlu.

"Duchess?"

Suara pelayan lain menghentikan lamunannya. Seorang pelayan wanita berdiri di ambang pintu dengan kepala sedikit tertunduk.

"Sarapan telah disiapkan. Apakah Anda ingin makan di ruang makan atau dikirimkan ke sini?"

Eleanor melirik meja kerjanya yang penuh dengan dokumen. Biasanya, ia akan memilih makan di ruang makan, tapi entah kenapa hari ini ia merasa malas untuk beranjak dari tempatnya.

"Bawa ke sini saja," jawabnya akhirnya.

Pelayan itu menunduk sebelum pergi untuk menyiapkan makanannya. Eleanor kembali bersandar di kursinya, jari-jarinya mengetuk perlahan di atas meja.

Kapan Cedric akan kembali?

Ia langsung mengutuk dirinya sendiri begitu pertanyaan itu muncul di pikirannya. Apa pedulinya? Bukankah selama ini mereka hidup terpisah dalam batas yang jelas? Tapi sekarang, entah kenapa… batas itu mulai terasa kabur.

...👑👑👑...

Eleanor menegakkan punggungnya di atas pelana kuda, membiarkan angin sejuk hutan menerpa wajahnya.

Suara gemerisik dedaunan dan kicauan burung mengisi kesunyian, memberikan ketenangan yang sulit ia dapatkan di dalam kastil. Sudah lama sejak terakhir kali ia merasa bebas seperti ini—tanpa laporan yang menumpuk, tanpa politik yang membosankan, dan tanpa Cedric yang terus membuat pikirannya kusut.

Ia menarik busurnya, mengarahkan anak panah ke pohon besar di depannya. Satu tarikan napas, lalu—srett!

Anak panah melesat dan menancap tepat di tengah batang pohon. Senyum kecil terukir di bibirnya. Bukan hasil yang buruk.

Ia mengulangi latihan itu beberapa kali, berpindah-pindah posisi sambil menunggangi kudanya, melatih ketepatan bidikannya. Bukan untuk membunuh—Eleanor tidak pernah menyukai perburuan. Ini hanya latihan, sekadar pengalihan dari kebosanan yang semakin hari semakin menumpuk.

Namun, saat ia menarik busur untuk bidikan terakhirnya, sebuah suara tiba-tiba menggema di tengah hutan.

“AARGH!”

Eleanor membeku. Jantungnya berdetak lebih cepat. Itu suara pria.

Jangan bilang…

Dengan panik, ia menarik tali kekang kudanya dan bergegas menuju sumber suara. Di tengah rimbunan pepohonan, seorang pria berdiri sambil memegangi lengannya yang terluka.

Darah merembes dari lengan bajunya, dan di dekat kakinya, tergeletak anak panah yang Eleanor kenali sebagai miliknya.

"Astaga…" Eleanor turun dari kudanya, mendekat dengan langkah tergesa. Apa aku baru saja melukai seseorang?

Namun, saat pria itu menoleh dan mata mereka bertemu, tubuh Eleanor langsung membeku.

Wajah itu…

Seolah-olah dunia di sekitarnya menghilang, hanya tersisa dirinya dan pria di hadapannya. Mata Eleanor melebar, napasnya tercekat di tenggorokan. Dia… mirip sekali dengan seseorang dari kehidupannya yang dulu.

Adiknya.

Seakan melihat hantu dari masa lalu, Eleanor hanya bisa berdiri terpaku, tidak tahu harus berkata apa.

Pria itu mengerutkan keningnya, ekspresinya menunjukkan kebingungan yang jelas. Ia melihat Eleanor yang terdiam kaku, lalu kembali menatap luka di lengannya. "Kau yang melakukannya?" tanyanya dengan nada datar, lebih terdengar sebagai pernyataan daripada pertanyaan.

Eleanor masih belum bisa bicara. Dadanya terasa sesak, seakan ada sesuatu yang mencekiknya. Wajah pria itu terlalu mirip dengan mendiang adiknya. Mata itu, rahang itu, bahkan ekspresi jengkel di wajahnya—semuanya persis seperti adiknya.

"Hei," suara pria itu kembali terdengar, kali ini lebih tegas. "Kau tidak akan meminta maaf setelah memanah seseorang?"

Ucapan itu menyadarkan Eleanor dari keterkejutannya. Ia mengedip beberapa kali, mencoba menenangkan pikirannya. Ini bukan adiknya. Tidak mungkin. Adiknya sudah mati di dunia yang berbeda.

Menelan ludah, Eleanor berusaha mengatur napasnya sebelum berkata, "Aku… tidak bermaksud melukaimu." Ia merogoh kantong kecil di pinggangnya dan mengeluarkan kain bersih. "Biar aku lihat lukamu."

Pria itu mendengus, jelas masih kesal, tetapi ia tidak menolak saat Eleanor mendekat dan dengan hati-hati menggulung lengan bajunya. Luka itu hanya goresan kecil, tidak cukup dalam untuk membahayakan. Meski begitu, melihat darah di kulit pria itu membuat Eleanor merasa bersalah.

Saat ia mulai membersihkan luka dengan kain, pria itu memperhatikannya dengan tatapan penuh selidik. "Kau terlihat terkejut saat melihatku. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

Eleanor menghentikan gerakannya sejenak. Ia menundukkan kepala, menyembunyikan emosinya. Tentu saja tidak.

Adiknya sudah mati.

Dengan suara pelan, ia berkata, "Tidak. Aku hanya terkejut karena tidak menyadari ada orang di sini."

Pria itu masih menatapnya, seakan tidak percaya. Namun, ia tidak mendesak lebih jauh. Setelah Eleanor selesai membalut lukanya, pria itu menarik lengannya kembali dan melipat tangan di dada.

"Kau siapa?" tanyanya.

Eleanor mengangkat alisnya. "Haruskah aku yang bertanya begitu? Aku yang lebih dulu di sini."

Pria itu menyeringai tipis, tetapi sorot matanya tajam. "Aku Luthair."

Nama itu tidak asing. Eleanor mencoba mengingat, dan tiba-tiba ia tersadar—Luthair adalah nama keluarga bangsawan dari kerajaan tetangga. Jika benar dia dari keluarga itu, maka keberadaannya di sini bukan sekadar kebetulan.

"Dan kau siapa?" Luthair bertanya lagi.

Eleanor tersenyum samar. "Eleanor."

Ia tidak menambahkan gelarnya. Lebih baik pria ini tidak tahu siapa dirinya sebenarnya.

Luthair menatapnya sesaat, lalu menghela napas dan memalingkan wajah. "Aku akan mengingat nama itu. Kau berhutang permintaan maaf kepadaku, Eleanor."

Eleanor tersenyum kecil, kali ini dengan sedikit kejahilan. "Aku sudah merawat lukamu. Jadi, kita impas."

Luthair mendengus geli, tetapi tidak berkata apa-apa lagi.

Namun, di dalam hati Eleanor, pikirannya masih berantakan. Kenapa pria ini bisa memiliki wajah yang sama dengan adiknya? Dan lebih penting lagi—kenapa mereka bertemu di sini?

...。⁠*⁠♡🥀 thanks for reading 🥀。⁠*⁠♡...

1
Khanza Safira
Hai Aku mampir
dea febriani: hai, terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca cerita ini❤️
total 1 replies
masria hanum
kak ini ceritanya bagus banget lho, cerita yang lain2 juga bagus2 semoga viewers nya makin banyak ya...

suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
dea febriani: MasyaAllah Tabarakallah, terima kasih banyak! Komentar kamu benar-benar bikin aku semangat. Semoga kamu juga selalu diberkahi dan tetap menikmati ceritaku! 💖
total 1 replies
Sribundanya Gifran
lanjut thor
Sribundanya Gifran
eleanor rubahlah dirimu jgn krn cinta kau lemah, tingglkan yg tak menginginkanmu dan buatlah benteng yg kuat untuk dirimu.
lanjut up lagi thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!