Pantas saja dia sudah merasa curiga pada sampul buku itu yang tidak biasa. Alih-alih sekedar buku cerita biasa, ternyata itu adalah buku kehidupan terbuka dari masa depan beberapa orang, termasuk Victoria Hain. Sebuah tokoh dengan nama yang sama dengannya.
Sebuah tokoh yang kini dihidupi oleh jiwanya.
“Astaga, jadi aku adalah kakaknya antagonis?”
Adalah informasi paling dasar dalam cerita ini.
Alih-alih sebagai pemeran utama, Victoria Feyar berakhir menjadi kakak dari antagonis perempuan bernama Victoria Hain, yang akan mati depresi karena sikap dingin suaminya.
“Baiklah, mari kita ceraikan Kakak protagonis pria sebelum terlambat.” Adalah rencana Victoria, demi melindungi dirinya dan adik pemilik tubuh dari dua Kakak beradik pencabut nyawa.
Untungnya ini berhasil, meski bertahun kemudian Victoria dibuat kesal, karena mereka tidak sengaja kembali terlibat dalam situasi utama pada konflik cerita itu dimulai.
“Kakak Ipar, mohon bantu kami....”
-
“Dalam mimpimu.” -- Victoria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blesssel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Memikirkan hal ini Raphael tidak tahu harus bagaimana. Tapi dia memutuskan untuk tidak membuat malu siapapun, termasuk dirinya sendiri. Karena Victoria telah menyangka bahwa kartu itu adalah pemberiannya, maka dia memutuskan untuk memberi kartu lain.
Victoria yang melihat Raphael melangkah ke mejanya dan mengeluarkan tiga buah kartu dari laci, menjadi was-was. Takut takut kalau kartu yang ada padanya, ternyata sudah tidak berfungsi. Bagaimanapun wajar baginya untuk gugup, karena berdasarkan ingatan tubuh, kartu ini telah diberikan padanya semenjak hari pertama dia menjadi istri Raphael, tapi tidak pernah digunakan sampai sekarang.
“Ini, pilihlah yang ingin kamu pakai dan pakai saja terserah mu.”
Victoria tidak bisa menahan kilatan kebahagiaan di matanya, tapi tetap saja dia masih penasaran.
“Apa kartu yang ini sudah tidak berfungsi lagi?”
Raphael sedikit bimbang untuk menjawab pertanyaan Victoria, tapi begitu di detik-detik terakhir dia memutuskan mengatakan kebenaran. Toh perasaan Victoria bukan merupakan tanggung jawabnya, pikir Raphael.
“Sebenarnya kartu itu bukan pemberianku. Itu adalah pemberian Kakek untukmu.”
Victoria mengernyitkan dahi, dia teringat bahwa tubuh ini telah diberikan Kakek Raphael sebuah kartu lain juga, tapi dengan batas kredit yang lebih kecil. Itulah yang selalu dia pakai untuk belanja selama ini, karena merasa takut untuk memakai kartu Raphael. Takut dia kekalapan belanja dan membuat Raphael tidak senang. Karena memang Victoria pemilik tubuh yang asli, hanya hidup berorientasi pada Raphael seorang.
“Ta-taapi, kau yang—”
“Aku hanya memberikannya sesuai permintaan Kakek. Aku juga tahu Kakek memberimu kartu yang lain. Hanya saja memang itu semua darinya. Tuan Hain yang tertulis disana, itu dia bukan diriku.”
Mendengar Raphael menjelaskan semuanya tanpa beban, Victoria dengan sadar terkekeh. Dia benar-benar terkekeh hingga tertawa. Dia menghina pemilik tubuh ini karena begitu bodoh, sampai-sampai dia juga ikut menjadi bodoh.
“Kenapa tertawa?” Bingung Raphael.
Victoria dengan susah payah akhirnya menenangkan, sebelum menyungging senyum yang bisa membunuh. “Baiklah, tidak perlu kartumu, aku akan pakai kartu Kakek saja,” jawab Victoria tenang sebelum akhirnya pergi tanpa kata.
Raphael yang melihat kartunya ditolak merasakan keanehan, tapi tidak menemukan penyebabnya. Dia mencoba memanggil, tapi Victoria bahkan tidak menengok sama sekali.
Sementara Victoria, sekeluarnya dari ruangan itu, matanya penuh rasa jijik. Dia menghina dirinya dan juga tubuh ini, karena berpikir terlalu jauh. “Sial!” umpatnya.
Dia menyadari bahwa ini bukanlah dongeng romantis di cerita-cerita, dimana wanita akan diberi kartu belanja oleh suaminya meski pria itu tidak mencintainya. Justru pria seperti Raphael lah yang realistis di dunia. Tidak ingin memberikan jerih payahnya, pada seseorang yang tidak berarti untuknya. Kasus yang banyak terjadi pada rumah tangga yang sebenarnya.
Kalau dia tahu seperti ini sejak awal, sungguh dia tidak akan mau repot menyenangkan hati Raphael.
“Kak Victoria,”
“APA!!!”
Remi terlonjak kaget dengan reaksi Victoria. Dia tanpa sadar melangkah mundur dan hendak berlari, tapi kalah cepat dengan Victoria yang menangkap tangannya.
“Remi sayang, karena kau tampan jadi Kakak akan minta maaf. Begini saja, sebagai permintaan maaf yang lebih baik Kakak akan mengajakmu jalan-jalan dalam waktu dekat.”
Alis Remi bertemu dengan jantungnya yang berdegup kencang. Ingatan mengenai pukulan Victoria pada Allard, membuatnya gugup.
“Ah, tidak, ti-dak usah—”
“Hei tidak apa-apa … kau sama seperti Estella, sama-sama adik Kakak, jadi jangan sungkan oke.”
Sungguh Remi tidak tahu apa yang terjadi dan yang akan terjadi, dia hanya merasa dalam bahaya. Sementara saat dilihat Victoria bahwa Remi hendak menolak lagi, dia dengan cepat merubah air wajahnya menjadi kesal. Siapa sangka ini membuat Remi akhirnya setuju. Tapi tepat saat persetujuan dibuat, dia segera melarikan diri dari genggaman Victoria.
Victoria yang mendapatkan apa yang dia inginkan, menjadi senang. Terlalu kesal dengan Raphael, dia sampai tidak sadar memarahi Remi. Untung di detik-detik fatal, dia ingat bahwa dia sedang menyusun rencana baru, untuk mempercepat kerenggangan antara Remi dan Estella.
•
•
Keesokan harinya di sekolah, Remi murung sepanjang kelas karena Estella yang memutuskan tidak masuk hari ini. Hingga pada jam istirahat, barulah dia merasa senang, ketika membaca pesan Estella yang akan pergi ke kelas les sebentar sore. Itu artinya dia tidak akan belajar sendirian.
Sebenarnya ini bukan sebatas belajar sendirian seperti pikirannya. Hanya saja menurut Remi, pelajaran menjadi sangat menekan, apalagi kalau Estella tidak ada disana.
“Remi?”
“Viona?”
“Bisa aku duduk denganmu?” Tanya Viona hati-hati, pada kursi kantin kosong di sebelah Remi. Kalau ini beberapa menit yang lalu Remi akan menolak. Tapi karena suasana hatinya sudah membaik, maka dia mempersilakan. Toh lagipula ini kantin sekolah, semua orang berhak pikirnya.
Viona sedikit malu sekarang. Ini pertama kalinya baginya untuk berkomunikasi dengan Remi tanpa Estella, atau lebih tepatnya, untuk Viona terasa seperti … dia duduk dan berbicara dengan laki-laki untuk pertama kalinya. Tapi karena kepribadian yang tidak terlalu pemalu, Viona dengan cepat menyesuaikan diri.
“Aku perhatikan kau murung sekali sepanjang kelas, jadi aku tidak akan bertanya kenapa, tapi aku ….”
Remi tidak mengharapkan hal ini datang dari Karen, tapi dia penasaran dengan lanjutan ucapan gadis itu. “Kau kenapa?”
Viona merasa malu, tapi tetap mengangkat paper bag kecil di tangannya dan menyerahkan pada Remi. Melihat itu Remi pun membukanya, dan siapa sangka itu coklat yang sangat familiar dengannya.
“Aku sih tidak yakin, tapi kata orang coklat membuat perasaan jadi lebih baik.”
Remi mengangguk. Dia mengangguk dengan yakin. Karena dia tahu, cokelat ini adalah coklat kesukaan Estella, dan gadis itu selalu membaik moodnya manakala makan coklat ini.
“Terimakasih banyak Viona, Estella paling menyukai cokelat ini.”
Senyum Viona menegang mendengar nama Estella.
“Viona, apa boleh Estella—”
“Eh Rem, bisa kau bantu aku?”
Entah kenapa tiba-tiba dia tidak ingin Remi membicarakan mengenai Estella, jadi Viona langsung membawa Remi dalam percakapan lain. Tidak menyangka bahwa perbincangan yang coba dia skip, bisa merusak harinya sedemikian rupa.
Keduanya terus berbincang dan berbincang, menambah kesenangan lain untuk Viona. Semakin dipikirkan, semakin terasa benar keputusannya. Bahkan lebih daripada itu, dia yang tadinya merasa Remi adalah sahabat yang baik, kini mulai merasa bahwa lebih daripada itu Remi bisa menjadi kekasih yang baik.
Kadang-kadang lucu, kadang-kadang serius. Benar-benar tepat pada tempatnya.
Hingga pada akhirnya, saat jam pulang berbunyi, Viona mulai membayangkan pulang bersama Remi, seperti yang selalu dilakukan Estella.
“Remi, eh … bisa tidak, aku pulang bersamamu? Supirku sepertinya tidak bisa menjemput, dia sedang mengantar Ibu Maia.”
Remi yang sedang membereskan tasnya, terhenti mendengar ini. “Maksudmu? Kau ingin naik bersamaku di motor, karena supir mu mengantar …?”
“Ibu Maia, itu nama Ibu angkatku. Masa kau sudah lupa ceritaku tadi sih.”
Remi mengangguk canggung. Sejujurnya dia tidak mendengar baik apa yang dikatakan Viona tadi. Karena gadis itu nampak sulit berhenti setelah berbicara dari jam istirahat sampai pada jam pelajaran lanjutan.
“Ah yah,” Remi menggaruk hidungnya. Tentu saja dia tidak bisa, karena dia harus pergi ke tempat les sekarang. “Viona maaf, aku akan memesankan taksi untukmu saja yah? Aku harus langsung pergi ke suatu tempat sekarang.”
Kekecewaan merayapi hati Viona tanpa peringatan, apalagi dilihatnya Remi sudah mengambil ponsel hendak memesan taksi. Viona akhirnya harus menelan semua ini dan menarik ucapannya kembali.
“Eh Rem, sepertinya tidak jadi deh. Ibu Maia baru mengirim pesan, bahwa supir kami sudah tiba.”
Remi memastikan ini beberapa kali karena perubahan cepat yang Viona lakukan.
“Kau yakin?”
“Iya, aku sungguh. Kau pergi saja sana,” kata Viona dengan senyuman. Namun setelah kepergian Remi, dia dengan cepat menelpon supirnya yang ternyata sudah ada sejak tadi, tapi disuruhnya menunggu lebih dahulu.
Viona kemudian masuk ke mobil dengan terburu-buru. “Pak pak cepat ikuti motor itu Pak.”
“Motor yang mana—”
“Yang sana!” Tunjuknya pada motor Remi yang hampir hilang dari pandangan mata. “Astaga Pak cepat kukatakan!”
Begitu saja, Viona yang dari desa kecil dan miskin, memulai perintahnya sebagai Nona muda keluarga kaya tanpa permintaan tolong, berbeda seperti sebelum-sebelumnya.
Tapi sayang, hatinya segera dipatahkan manakala dia melihat Remi ternyata pergi ke tempat les dengan Estella yang sudah menunggu di sana.
Seperti dia yang melihat kedua mereka, tanpa sepengetahuan dua orang itu. Begitu juga dia saat ini, sedang dilihat seseorang yang tidak dia sadari.
Victoria yang baru mengantar Estella, tidak menyangka akan melihat pemeran utama dalam buku masa depan ada disini.
“Ckckck … remaja-remaja ini bertindak sangat cepat,” gumamnya.