Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Leri Bertemu Tuan Gunawan
Bab 15
Diaz berdehem pelan, mencoba menyusun kata-kata. “A-aku baru ingat, belum memberikan nomor ponselku. Itu penting untuk komunikasi kita, apalagi untuk kelancaran proyek.”
Lili tertawa kecil. “Benar juga. Kenapa aku juga sampai lupa, ya? Padahal nomor telepon memang penting.”
Lili mengeluarkan kartu nama dari tas kecilnya dan menyerahkannya pada Diaz. “Ini, kartu namaku. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saja.”
Diaz menerima kartu nama itu dengan senyum. “Terima kasih. Ini juga kartuku, kalau Anda butuh sesuatu.”
Lili mengangguk, menyimpannya dengan rapi. “Baiklah, aku pamit dulu. Masih banyak yang harus aku urus.”
Diaz mengangguk, tapi sebelum Lili melangkah terlalu jauh, dia memanggil lagi. “Nona Lili, tunggu.”
Lili berhenti, menatap Diaz dengan bingung. “Ya?”
Diaz mendekat, mengurangi jarak di antara mereka. “Kamu... Em maksudku apakah Anda akan hadir di acara lelang tanah untuk proyek pelatihan medis internasional?”
Lili terdiam sejenak, ekspresinya sulit dibaca. Dia akhirnya menjawab dengan nada pelan, “Belum tahu. Kita lihat saja nanti.”
Jawabannya menggantung, namun Diaz bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda, jika Lili tidak hadir. “Baiklah,” kata Diaz, mencoba tersenyum. “Kalau Anda datang, aku akan senang bisa berbicara lebih banyak tentang proyek ini.”
Lili hanya membalas dengan anggukan ringan sebelum melangkah pergi. Diaz memperhatikan punggungnya yang semakin menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak bisa dia pahami dari wanita itu.
Ketika Diaz kembali ke meja, Eriva dan Monica menatapnya dengan penuh tanya. Namun, sebelum mereka sempat bertanya, Diaz langsung berkata, “Tidak ada apa-apa. Hanya urusan kerja.”
Monica mendengkus pelan, sementara Eriva memilih diam, namun pikirannya mulai bekerja keras mencoba menebak siapa sebenarnya wanita tadi untuk kehidupan Diaz.
###
Saat Lili sampai di kantor, langkahnya terhenti di area basement. Ia merasa familiar dengan sebuah mobil hitam elegan yang terparkir di salah satu sudut.
"Mobil ini... bukannya mobil Tuan Gunawan?" gumamnya dalam hati. Sudah lebih dari belasan tahun sejak ia terakhir kali melihat kendaraan itu, tetapi desain dan pelat nomornya terlalu ikonik untuk dilupakan.
Pikiran Lili dipenuhi pertanyaan. Apa dia ada di sini? Atau hanya kebetulan mobil ini milik orang lain? Tapi mobil ini terlalu khas...
Lili berusaha mengabaikan pikirannya dan melangkah ke arah lift, tetapi kegelisahan masih menghantuinya. Saat ia tiba di lantai kantor Tuan Asher, suara keras terdengar dari arah ruangannya.
"Apa itu... suara Tuan Gunawan?" gumamnya lagi, lalu mendekat dengan langkah hati-hati.
Benar saja, dari balik pintu yang sedikit terbuka, ia melihat Tuan Gunawan berdiri di hadapan Tuan Asher. Wajahnya tegang, dan nada bicaranya penuh tekanan.
"Nona Lili, ayo masuk saja," kata Dion, yang sejak tadi memang bersamanya. Namun, dia tidak banyak bicara jika tidak benar-benar perlu.
"Tapi... sepertinya mereka sedang dalam diskusi penting. Aku takut mengganggu," bisik Lili, ragu.
Dion menggelengkan kepala. "Tuan Asher pasti akan memanggilmu kalau ada yang dibutuhkan. Lebih baik kita masuk sekarang daripada terlihat mencuri dengar."
Sebelum Lili sempat menolak, Dion membuka pintu dengan santai.
Saat di dalam ruangan.
"Bagaimana mungkin kau tidak hadir di acara sebesar itu, Asher?! Ini bukan hanya soal bisnis. Ini soal etika dalam dunia bisnis!" suara Tuan Gunawan menggema, menghentikan langkah Lili di ambang pintu.
Asher, yang duduk dengan santai di belakang meja kerjanya, hanya menatap tenang ke arah tamunya. "Hadir atau tidak, itu hak setiap individu. Aku tidak merasa perlu membuat keputusan hanya untuk memuaskan ekspektasi orang lain."
Tuan Gunawan mendengkus keras. "Itu bukan soal ekspektasi pribadi, tapi tentang penghormatan. Kau tahu betul bahwa Perguruan Jagat Pradana adalah simbol pengaruh dalam dunia bisnis negeri ini. Hampir semua pebisnis besar menghormati mereka. Dengan absennya kau, itu sama saja seperti kau meremehkan seluruh jaringan bisnis yang dibangun di negara ini."
Asher tersenyum tipis, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Jaringan bisnis yang kau maksud, Tuan Gunawan, hanya menguntungkan bagi mereka yang buta mengikuti aturan yang tidak mereka buat sendiri. Perusahaanku tidak bergantung pada nama besar Perguruan Jagat Pradana. Langkah-langkahku sudah jelas, dan aku tidak butuh restu mereka."
Tuan Gunawan menatap Asher dengan penuh amarah. "Kau benar-benar keras kepala, Asher. Kau pikir kau bisa terus berjalan sendiri tanpa mengikuti etika yang ada? Perguruan itu adalah fondasi yang menopang bisnis negara ini untuk bersaing di kancah internasional. Sedikit rasa hormat tidak akan membunuhmu."
Asher mencondongkan tubuhnya ke depan, ekspresinya kini lebih serius. "Aku menghormati mereka. Tapi aku tidak akan pernah tunduk pada sesuatu yang tidak sejalan dengan prinsipku. Dan aku tidak butuh ceramah dari siapa pun tentang bagaimana aku menjalankan perusahaanku."
Tuan Gunawan mengepalkan tangannya, menahan emosinya yang memuncak. "Baiklah. Aku hanya ingin mengingatkan. Besok ada lelang untuk tanah TPU itu. Banyak orang yang mengincarnya. Jika kau mau ikut, aku akan memastikan kau menerima undangannya. Tapi jangan bersikap sombong lagi, Asher. Hargai setiap keluarga bisnis yang ada di negeri ini."
Asher berdiri, menatap Tuan Gunawan tanpa gentar. "Tuan Gunawan, jika sudah selesai, silakan pergi. Kita berada di posisi yang sama-sama setara, bukan? Tidak ada yang perlu menggurui siapa pun di sini."
Tuan Gunawan mendengkus. "Kau sungguh mirip anak kecil keras kepala. Ingat, kakek guru selalu menekankan pentingnya spiritualitas dalam menjalani bisnis. Dia tidak pernah memaksakan, tapi juga tidak pernah melanggar batas. Kau bisa belajar dari beliau."
"Tapi kau berbeda, Tuan Gunawan," balas Asher dingin. "Kakek guru tidak pernah berbicara banyak. Dan sejujurnya, aku lebih menghormati keheningan beliau daripada kata-katamu."
Ucapan itu seperti pukulan telak bagi Tuan Gunawan. Dia tidak lagi membalas, hanya menatap Asher dengan tatapan tajam sebelum akhirnya melangkah keluar.
Saat Tuan Gunawan hendak keluar ruangan, langkahnya terhenti sesaat. Pandangannya tertuju pada Lili yang berdiri tak jauh dari pintu, menunduk canggung.
“Siapa gadis ini?” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia mengamati Lili dari ujung kepala hingga kaki. “Sepertinya bukan sekretaris perusahaan.”
Namun, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Tuan Gunawan melanjutkan langkahnya dan pergi.
Lili menarik napas lega, namun dadanya masih berdebar. “Aku merasa dia tadi menatapku seperti aku salah masuk ruangan,” bisiknya pada Dion.
“Bukan salah masuk, tapi kau memang menarik perhatian,” jawab Dion setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Namun, Lili hanya tersenyum tipis. Pikirannya tidak bisa lepas dari tatapan tajam Tuan Gunawan dan apa yang baru saja terjadi di ruangan itu. Ada sesuatu yang ia rasakan, sesuatu yang membuat hatinya tidak tenang.
Bersambung....