Sudah sepantasnya kalau seorang istri menuntut nafkah pada suaminya. Namun bagaimana jika si suami sendiri yang tidak ada keinginan untuk menunaikan kewajibannya dalam menafkahi keluarga? Inilah yang dialami Hanum Pratiwi, istri dari Faisal Damiri selama 5 tahun terakhir.
Hanum memiliki seorang putra bernama Krisna Permana, yang saat ini masih kuliah di Jurusan Informatika. Tentu saja Hanum masih memerlukan biaya yang cukup banyak untuk biaya pendidikan putranya, ditambah juga untuk biaya hidup mereka sehari-hari. Hanum harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan seringkali meminjam kepada saudara dan teman-temannya. Beruntung sang anak bersedia membantu menitipkan kue di kantin, yang bisa dijadikan sumber income keluarga. Namun pendapatannya yang tak seberapa itu, hanya cukup untuk transport dan uang saku sang anak, kalaupun ada lebih untuk membeli beras.
Bagaimana Hanum bertahan dalam 5 tahun ini? Apakah kesulitan ini mengharuskannya menyerah? Lalu bagaimana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ida Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Diskusi Yang Terputus
Ibarat pepatah orang tua "kalau kamu sudah terbuai dalam kemalasan, maka akan sulit untuk bisa bangkit kembali". Mungkin itulah yang terjadi dengan Faisal. Anak dan istrinya sudah bosan untuk mengingatkan akan kewajibannya mencari nafkah, apalagi nasihat-nasihat yang mengutip kajian ustadz, sudah dipastikan tidak mempan lagi. Keluar dari kamar kalau lapar, tanpa ada beban atau rasa bersalah yang nampak di raut wajahnya saat menanyakan makan apa hari ini. Tidak ada rasa penasaran untuk bertanya dari mana dapat uang untuk membeli beras hari ini. Setiap hari akan seperti itu, dan ini yang menyebabkan Hanum enggan untuk mengajaknya berbagi kesulitan memenuhi nafkah keluarga. Hanum memilih diam, berfikir dan mencari jalan keluar sendiri. Inilah yang disebut "Status Menikah Rasa Lajang", apa-apa dikerjakan sendiri. Hanum pernah meminta kakak iparnya untuk menasihati Faisal, tapi yang dikatakan kakak iparnya justru menyalahkan keputusan mereka yang menguliahkan anaknya. Hanum ingin marah atas ucapan tersebut, tapi dia berusaha untuk menjaga adab dengan yang lebih tua. Masih teringat jelas dalam benak Hanum percakapan mereka saat itu.
Flashback
"Assalamualaikum Kak. Bagaimana kabarnya?" sapa Hanum membuka percakapan dengan Kak Neni.
"Wa'alaykumsalam. Alhamdulillah Kakak sehat semua di sini. Bagaimana kabar Hanum?"
"Alhamdulillah sehat juga. Kak Neni Hanum boleh cerita ya!" pinta Hanum setelah basa basinya selesai.
"Mau cerita apa Num?"
"Kak Neni, Hanum bingung dengan Faisal yang tidak mau bekerja dan hanya berdiam diri di rumah. Hanum jadi ingat saat awal menikah dulu, seperti ini juga kejadiannya. bedanya kalau dulu Hanum masih bekerja, belum ada tanggungan anak, jadi masih ada penghasilan yang bisa diharapkan. Kalau sekarang? Hanum nggak kerja, ada tanggungan biaya sekolah anak, berasa banget susahnya" curhat Hanum
"Lah terus bagaimana Num, Kakak juga hanya ibu rumah tangga yang nggak bisa bantu secara finansial. Mau ngobrol dengan Kak Budi juga nggak enak, kan sampai sekarang Faisal masih punya hutang dengan Kak Budi.Terus terang saja Kak Neni malu, lain cerita kalau hutangnya sudah lunas" kata-kata Kak Neni membuat Hanum menarik nafas dalam.
"Ya Hanum sangat tahu itu dan sadar diri untuk tidak meminta dibantu lagi secara finansial. Tapi minta tolong bantu menasehati Faisal, menyadarkan tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga" Hanum mencoba meluruskan maksud pembicaraan ke topik awal.
"Kakak sudah bilang dari awal saat dia cerita mau menguliahkan Faras. Kakak bilang nggak usah maksain Faras berkuliah, kalau kamu sendiri tidak memiliki penghasilan yang tetap. Tapi dia ngotot, ingin Faras tetap kuliah, ya akhirnya kejadian kan yang Kakak khawatirkan dulu. Kalau Faras tidak kuliah, pasti kalian masih bisa memiliki modal untuk buka usaha kecil-kecilan."
"Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya, bahkan kalau bisa lebih baik dari orang tuanya. Kami juga ingin memiliki anak yang lulusan perguruan tinggi, hingga bisa memiliki pekerjaan yang baik. Kalau hanya sebatas SMA, Kakak bisa lihat sendiri bagaimana pekerjaan Faisal. Justru itu jadi cermin bagi kami, supaya Faras bisa memberikan nafkah terbaik untuk keluarganya kelak."
"Kalau kalian memang berfikir seperti itu ya sudah terima semua konsekuensinya, jadi jangan mengeluh seperti sekarang ini." jawaban Kak Neni benar-benar membuat Hanum terdiam.
"Hanum sebetulnya mengajak Kakak bicara itu, minta supaya bisa menasihati Faisal untuk bangkit berjuang lagi, wajar kan sebagai saudara kandung mengingatkan tanggungjawabnya kepada keluarga. Tapi melihat jawaban Kakak seperti ini, Hanum jadi tahu kenapa Faisal bersikap seperti sekarang" Hanum menarik nafas panjang untuk meredakan ras kecewa dalam hatinya
"Ya sudah Kak, terima kasih untuk nasihatnya. Insya Allah Hanum masih punya bahu yang kuat untuk tetap berdiri tegak. Salam untuk Kak Budi ya. Assalamualaikum" tanpa menunggu jawaban salam dari kakak iparnya, Hanum langsung memutuskan pembicaraan.
Flashback off
...🌾🌾🌾🌾🌾...
Seperti kebiasaan pagi-pagi sebelumnya, aktivitas Hanum tidak jauh dari dapur. Kompor dua tungku itu dipenuhi wajan yang berisi roti goreng dan cireng. Di ruang tengah terhampar tampah dengan hasil gorengan berwarna kuning kecoklatan. Sungguh menggoda siapapun yang melihatnya. Faisal tampak menyusun gorengan tersebut ke box kue dengan teliti.
"Bu, kemarin Erwin menelpon Ayah ngobrol tanya kabar seperti biasanya. Terus Ayah bilang kalau Faras cuti kuliah, karena nggak ada uang untuk bayar UKT." Faisal membuka percakapan diantara keduanya.
Hanum ingat dengan Erwin sepupu Faisal yang sekarang ini menjadi anggota dewan di Linggau. Keputusan merantau ke Linggau dulu juga karena ajakan dan bantuan dia mendapatkan proyek pemerintah. Namun setelah menjadi anggota dewan, dia tidak meneruskan usaha kontraktor proyek pemerintah lagi. Pernah ada tender yang diambil dan ditangani oleh Faisal. Saat itu Faisal sampai bolak balik melengkapi semua persyaratan tender, namun kalah bersaing dengan kontraktor bayangan pejabat yang berwenang saat itu. Padahal panitia sudah memberi lampu hijau pada Faisal, tapi memo yang bertandatangan pejabat mampu menggeser keputusan.
"Terus bagaimana tanggapan Dang Win tentang itu?" Hanum penasaran juga dengan komentar sepupu suaminya itu.
"Dia bilang kenapa nggak ngomong dari bulan lalu, siapa tahu bisa bantu. Ayah bilang malu karena jumlahnya cukup besar, Rp 11 juta untuk UKT 1 semester. Sedangkan kita tahu kalau Erwin baru menikahkan anaknya sebulan yang lalu. Terus dia cerita lagi berjuang untuk dapat posisi sebagai wakil ketua dewan, katanya dapat insentif yang lumayan. Dia bernazar kalau gol mau membiayai kuliahnya Faras." ujar Faisal lagi dengan nada yang penuh harapan.
"Semoga Allah memudahkan jalannya dan mewujudkan niat baik Dang Win. Hanya Allah yang tahu apakah ini jalan terbaik untuk pendidikan Faras atau bukan. Kita hanya berdoa yang terbaik untuk Dang Win dan Faras" Hanum menyikapi hal itu dengan bijak, karena tahu Allah yang memegang kendali atas semuanya.
"Katanya sih keputusan penentuan wakil ketua sebulan lagi. Semoga saja dia terpilih jadi wakil ketua dan bisa membantu biaya kuliah Faras" ucap Faisal masih terlihat berharap Erwin terpilih.
"Berharap boleh Yah, tapi jangan disimpan di hati. Apalagi ini menyangkut kehidupan politik yang penuh ketidakpastian. Jangan sampai kita mendahului takdir Allah." Hanum berusaha mengingatkan Faisal agar tidak kecewa nantinya.
Faisal hanya bergumam menanggapi ucapan Hanum, mungkin merasa dipatahkan harapannya. Tapi dia juga menyadari perkataan Hanum benar adanya, karena melihat sendiri bagaimana para anggota dewan berebut posisi.
"Ayah nggak mencoba tanya Dang Win, untuk usaha kontraktornya dijalankan lagi nggak?" tanya Hanum merasa perlu menanyakan itu.
"Dia nggak mau terjun di usaha kontraktor lagi, takutnya jadi masalah nanti".
"Ayah bilang saja kalau yang menangani perusahaan itu Ayah, buat akte pengalihan tanggungjawab perusahaan dari Dang Win ke Ayah."
"Tapi Ayah nggak mau ke Linggau itu karena nanti ketemu Mang Fahmi, terus ditagih hutang lagi." elak Faisal
"Yah, ada kalanya kita harus berani menghadapi masalah karena itu untuk menyelesaikannya. Ayah tinggal bilang akan berusaha mencicilnya saat dapat pekerjaan proyek. Pasti dia mengerti kok" saran Hanum yang sudah membaca penolakan suaminya itu.
"Bilang selama 3 tahun ini tidak ada pekerjaan dan pekerjaan sebelumnya juga nggak tahu bagaimana ceritanya nggak menghasilkan uang, bahkan mobil pun sudah dijual untuk menutupi pembayaran material. Itu yang menyebabkan Ayah jadi berhutang dengan Mang Fahmi. Jujur saja dengannya" Hanum masih berusaha untuk memberikan saran pada Faisal.
"Nantilah, Ayah pikir-pikir dulu. Apa memang sudah siap kembali ke dunia kontraktor dengan segala resikonya atau belum" putus Faisal sambil membereskan peralatan di ruang tengah.
Hanum tak berusaha untuk meneruskan pembicaraan, karena dia sudah tahu akan seperti apa kalau dipaksakan membahasnya lebih lanjut. Dia hanya menatap Faisal yang kembali masuk ke dalam kamar, dan mengelus nada untuk tetap bersabar menghadapinya.