Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 18
Suasana di koridor rumah sakit tampak begitu sunyi, udara dingin yang terasa menusuk seolah melengkapi kesunyian itu sendiri. Terkadang aroma melati menguar di udara, bahkan aroma ketela bakar pun tak mau kalah menyapa indera penciuman Nuria. Mereka bertiga tidur di kursi tunggu, Fisa dan Arjuna duduk, sedangkan Nuria berbaring di atas kursi.
Nuria membenahi jaket yang menutup kakinya, saat itu ekor matanya tak sengaja menatap bayangan dari seberang jalan. Tepat di samping pohon besar yang menaungi sebuah ruangan tertutup rapat. Sayup-sayup Nuria mendengar ketukan pada pintu yang tertutup itu, gadis itu lantas duduk.
Mencoba menajamkan indera penglihatannya, di pintu tertempel sebuah tulisan berbunyi kamar mayat. Nuria terperangah, sementara ketukan dari dalam ruangan terus saja terdengar. Gadis itu merapatkan duduknya di samping Fisa, rasanya ingin mengadu saja sangat sulit, Nuria menyesal kenapa hanya dirinya yang melihat pemandangan mengerikan ini, gadis itu lantas duduk memeluk Fisa sambil berusaha tertidur kembali.
***
Matahari bersinar terang saat seorang gadis meringkuk dalam balutan jaket tebal, tubuh mungilnya bahkan tak terlihat di atas lantai, gadis itu adalah Nuria. Semalam ia tak bisa tidur dan berakhir begadang hingga subuh, menurutnya karena ketukan pintu kamar mayat yang tak kunjung berhenti.
Haikal sempat menertawakannya, dia yang baru saja tiba bersama Pandu membawa sarapan untuk teman-teman, kebetulan hari itu adalah hari libur, mereka tak harus pergi ke sekolah.
Fisa mendampingi Hana yang makan dengan lahap, gadis itu bahkan sempat tersedak dan Fisa bergegas memberinya air. Ibu Hana juga berada di tempat yang sama, wanita itu sedikit kalem pagi ini. Tak lagi mengusir Nando yang jelas-jelas berada di ruangan yang sama.
Arjuna dan kedua temannya berada di luar, dan di kamar hanya ada Fisa, Nando, ibu Hana dan Nuria yang sedang tertidur di lantai.
“Makasih banyak ya Fisa, pokoknya aku makasih banget sama kamu,” ucap Hana di sela-sela acara makannya. Fisa tersenyum mengangguk, saat itu ibu Hana datang mendekat. Memberikan beberapa butir obat beserta air tawar dalam gelas.
“Minum dulu obatnya,” kata wanita itu.
Hana menerima pemberian sang ibu, mengucapkan terima kasih dan meminta ibunya mendekat.
“Ada apa?”
“Ayolah Bu, Hana rindu ibu,” ucap gadis itu. Ibunya mencebik, tapi tetap juga mendatangi putrinya. Keduanya berpelukan, bahkan sang ibu menitikkan air mata tapi dengan cepat menghapusnya sebelum sang putri menyadari hal ini.
“Terimakasih Ibu sudah merawat Hana selama ini, meskipun Hana penyakitan tapi ibu selalu sabar pada Hana, maaf kalau Hana belum bisa jadi anak yang berbakti pada ibu, Hana cuma kecewakan ibu saja selama ini.
Tapi, kalau boleh Hana minta, ibu jangan membenci Nando lagi. Dia tak salah apa-apa pada keluarga kita, justru dia banyak membantu Hana, dia yang membuat Hana kuat sampai sejauh ini, nanti jika Hana pergi, ibu dan ayah sehat-sehat ya,” katanya dalam pelukan sang ibu.
Fisa merasa ucapan Hana terdengar sedikit aneh, meski begitu ia tetap berusaha berbaik sangka pada tuhan, bahwa Hana hanya ingin mengutarakan isi hatinya selama ini. Hari ini memang waktu yang tepat untuk anak dan ibu itu berbaikan, dan meluruskan segala kesalahpahaman antara mereka dan Nando.
Meski Fisa tahu bagaimana Nando dan Hana berbuat salah dalam video yang tak sengaja direkam Alena, tapi biarlah itu menjadi urusan mereka saja dengan tuhannya. Tak ada yang berhak menghakimi mereka kecuali tuhan mereka sendiri.
Fisa melihat Hana melepas pelukannya, menatap ibunya yang kini dengan terang-terangan menangis sesenggukan di depan sang putri. Ayah Hana masuk dan mendekati ranjang, memeluk istrinya yang terus terisak, sementara sebelah tangan menggapai puncak kepala sang putri dan mengusapnya pelan.
“Apa yang kamu katakan, sehatlah kembali putriku, setelah ini ayah janji kalian semua boleh berteman selamanya. Asal ingat, selalu dalam batasan,” ujarnya. Hana mengangguk, meski air matanya juga banjir saat ini. Tak hanya mereka, bahkan Fisa dan Nuria yang sudah terbangun turut menangis.
“Ayah, ibu, bolehkah Hana bicara dengan Nando sebentar?”
Tatapan Hana terlihat begitu lelah, gadis itu tersenyum samar menanti anggukan kepala orang tuanya. Sang ayah membawa ibunya menepi, memberi kesempatan Nando mendekati ranjang pasien. Kini lelaki itu berdiri di samping Hana, dan Hana meraih tangannya.
“Nando, terimakasih banyak telah mewarnai hari-hariku selama ini, kamu masih ingat kan dengan janji kita saat itu?”
Nando mengangguk, ia tak dapat menjawab pertanyaan kekasihnya sebab air mata terus saja mengalir dari kedua netranya. Bahkan pandangannya mulai buram, lelaki itu tak dapat menghapus air matanya sendiri sebab kedua tangannya berada dalam genggaman Hana.
“Aku ingin kamu melakukan semua yang kuminta, kalau perlu ajak mereka.” Hana menatap satu persatu temannya yang mulai datang mengelilinginya, termasuk Arjuna, Haikal dan Pandu yang berdiri di samping pintu.
“Kamu ini bicara apa sih Hana? tidak bisakah hari ini kita bicara hal-hal yang menyenangkan, misalnya rencana kita nanti saat kamu keluar dari rumah sakit gitu,” seloroh Fisa yang semakin tak nyaman dengan arah pembicaraan Hana ini. Hana tersenyum, kepalanya menggeleng lemah.
"Benar yang dikatakan Fisa, kamu sehatlah, nanti kita lakukan bersama janji-janji yang pernah kita buat dimasa lalu," kata Nando menimpali.
Hana tersenyum dan berucap lirih. "Nando, aku ingin memelukmu sebentar,” pintanya lirih. Nando tampak ragu, beberapa kali melirik orang tua Hana yang berdiri di belakangnya. Ibu Hana hanya diam, dan ayah Hana yang mengangguk sebagai tanda beliau telah memberinya restu.
Nando tersenyum, lantas mulai mendekat dan membiarkan Hana meletakkan kedua tangan di lehernya, gadis itu memejamkan mata dengan senyuman tipis menghiasi bibir, air mata meleleh pelan di sebelah pipi, setelah itu Nando menangis hebat. Tubuh lelaki itu bergetar kuat dengan isakan yang semakin keras.
Ayah dan ibu Hana bergegas mendekati putrinya, bahkan semua orang berubah panik. Haikal dan Pandu berlari cepat menjemput dokter. Nuria dan Fisa hanya bisa saling memeluk, yang mereka takutkan mungkin saja terjadi saat ini, detik ini, dimana Hana baru saja selesai berpamitan pada semua orang.
Nando menyentuh tangan dan juga hidung kekasihnya, tak ditemukan nafas maupun detak nadi di sana. Ia menggeleng lemah, seraya berkata, “kenapa kamu pergi, Sayang, Kenapa tinggalkan aku?”
Gadis itu mengalami terminal lucidity, yaitu fenomena sembuh sebelum meninggal. Mendengar kalimat yang diucapkan Nando membuat ibu Hana menjerit kuat, beliau pingsan dalam pelukan suaminya, sementara itu sang ayah hanya menatap tubuh putrinya yang jatuh terkulai dalam pelukan kekasih. Seorang ayah yang kehilangan putri kecilnya menatap nanar, kesadarannya menghilang, mungkin saat ini hanya kenangan indah bersama sang putri yang berputar dalam otak.
Dokter datang bersama dua perawat, mereka meminta semua orang keluar ruangan, dan mulai melakukan pemeriksaan pada tubuh Hana. Semua menunggu cemas di luar ruangan, Nando tak lagi menangis, tatapannya yang kosong terasa jauh lebih menyakitkan daripada tangisan itu sendiri.
Dokter keluar, mengabarkan jika Hana telah dinyatakan meninggal sekitar lima menit lalu, dokter menjelaskan alasan gadis itu tiba-tiba pergi dengan penuh hati-hati, berharap keluarga bisa menerima dengan lapang dada. Setelah itu dokter meminta perawat membantu keluarga mengurus kepulangan jenazah, setelah sebelumnya membuat surat keterangan kematian.
Fisa dan yang lain masih tak percaya dengan apa yang terjadi, mereka duduk berserak di lantai, tak peduli petugas medis berlalu lalang di depan mereka. Kepergian Hana begitu tergesa, padahal baru tadi pagi mereka bercanda bersama saat menertawakan Nuria yang ketakutan karena diganggu mayat semalam. Tapi dalam sekejap Hana pergi tepat di depan mata mereka sendiri.
Haikal sadar Nando tak bersama mereka, lelaki itu berdiri dan bertanya pada teman-temannya dimana Nando, tapi hanya gelengan kepala yang ia dapat. “Guys, ayo kita cari Nando, perasaanku jadi nggak enak karena dia tiba-tiba menghilang begini” ujarnya.
“Benar ucapanmu, teman-teman mari kita berpencar mencari Nando, aku takut dia akan nekat setelah kepergian Hana," ajak Arjuna.
Fisa dan yang lain setuju, mereka pun bersama-sama keliling rumah sakit mencari keberadaan Nando. Berharap lelaki itu tak berbuat hal aneh yang dapat merugikan diri sendiri.
...