NovelToon NovelToon
Mengasuh Cinta Duda Kaya

Mengasuh Cinta Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kaya Raya / Pengasuh / Ibu Tiri
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Cherryblessem

Caca, seorang mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di London, terpaksa bekerja sebagai pengasuh anak CEO kaya, Logan Pattinson, untuk mencukupi biaya hidup yang mahal. Seiring waktu, kedekatannya dengan Logan dan anaknya, Ray, membawa Caca ke pusat perhatian publik lewat TikTok. Namun, kisah cinta mereka terancam oleh gosip, kecemburuan, dan manipulasi dari wanita yang ingin merebut Logan. Ketika dunia mereka dihancurkan oleh rumor, Caca dan Logan harus bertahan bersama, menavigasi cinta dan tantangan hidup yang tak terduga. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengalahkan segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherryblessem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hangat

Ruang tamu keluarga Pattinson terlihat seperti studio seni yang sedang kacau. Tumpukan kotak berisi pernak-pernik Natal terbuka lebar di mana-mana. Bola-bola kristal berwarna merah dan emas berserakan di karpet mewah, bersama dengan untaian lampu-lampu kecil yang belum tersambung. Di sudut ruangan, sebuah pohon Natal besar berdiri gagah, menunggu sentuhan akhir untuk menjadi pusat perhatian.

Caca, duduk di lantai dengan Ray di pangkuannya. Ray sibuk memainkan pita merah yang terlalu panjang untuk tangannya yang mungil. "Caca, ini apa?" tanyanya sambil mengangkat pita itu tinggi-tinggi.

"Itu untuk menghias pohon, Ray," jawab Caca lembut. Ia mengangkat bola kristal yang ia pegang dan menunjukkannya pada bocah itu. "Dan ini akan digantung di cabang-cabangnya, seperti ini."

Ray menatap bola kristal itu dengan mata lebar. "Cantik sekali! Aku mau pasang!" serunya.

Nyonya Pattinson, yang sedang melilitkan untaian lampu di pohon, tertawa mendengar antusiasme cucunya. "Ray, sabar, sayang. Kita harus memasangnya pelan-pelan supaya pohonnya terlihat sempurna."

Logan Pattinson, yang berdiri di sisi lain ruangan, menatap mereka sambil memegang bintang emas besar. "Ibu, Ray nggak tahu apa arti kata 'sabar'," candanya.

Ray menoleh ke arah ayahnya. "Aku tahu! Sabar itu... menunggu!" katanya dengan nada penuh keyakinan.

Semua orang tertawa kecil. Caca, yang sejak tadi hanya mengamati, akhirnya angkat bicara. "Ray benar, sabar itu menunggu. Tapi kadang, sabar itu juga berarti menikmati prosesnya."

Nyonya Pattinson tersenyum hangat ke arah Caca. "Caca, aku suka cara kamu menjelaskan sesuatu. Jadi, bagaimana tradisi Natal di rumahmu di Indonesia?"

Caca terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. "Hm, di rumah kami, Natal biasanya dimulai dengan persiapan makan malam dari pagi. Orang tuaku suka sekali pergi ke gereja pada saat sore untuk mengikuti kebaktian malam natal. Setelah itu, kami menghabiskan waktu bersama keluarga. Makan malam adalah bagian yang paling spesial."

"Apakah kalian juga mendekorasi rumah seperti ini?" tanya Nyonya Pattinson lagi, sambil menggantung bola kristal di cabang pohon.

"Tentu saja, Bu. Kami memasang pohon Natal, tapi ukurannya jauh lebih kecil dari ini," jawab Caca sambil melirik pohon besar di depan mereka. "Kami juga menghias dengan lampu dan hiasan sederhana. Tidak semewah ini."

Logan tertawa kecil, meletakkan bintang emas di meja sementara. "Aku rasa jarang ada pohon Natal sebesar ini di rumah biasa. Pohon ini saja butuh tiga orang untuk mendirikannya."

Caca mengangguk sambil tersenyum. "Benar, Tuan Logan. Di rumah saya, biasanya ayah saya yang memasang bintang di atas pohon. Itu jadi bagian yang paling dinanti."

Ray, yang sudah bosan bermain dengan pita, tiba-tiba berkata, "Aku yang mau pasang bintang di sini! Ayah, boleh?"

Logan melirik pohon yang menjulang tinggi, lalu menggeleng sambil tersenyum. "Ray, kamu terlalu kecil untuk itu."

"Tapi, aku ingin memasangnya!" Protes Ray.

Caca tertawa melihat tingkah anak itu. "Astaga, kau sekarang sangat cerewet." Caca tampak gemas dan mencubit lembut pipi Ray tanpa tenaga.

"Dia sudah banyak berubah." Nyonya Pattinson tersenyum mendengar komentar Caca.

"Bagaimana kalau kita melakukannya bersama? Ayah akan menolongmu memasangnya." Tawar logan pada putranya sambil tersenyum.

"Yeay! Aku akan memasang bintang!" Ray melompat dari pelukan Caca dengan antusias.

Nyonya Pattinson memandang cucunya dengan penuh kasih. "Lihat betapa antusiasnya dia. Tradisi seperti ini memang penting untuk anak-anak. Logan, kau ingat saat seusia Ray, kau yang paling bersemangat menghias pohon Natal?"

Logan tersenyum mengingat masa kecilnya. "Tentu, Bu. Aku ingat pernah memaksa memasang bintang sendiri dan hampir menjatuhkan seluruh pohon. Ayah sangat marah waktu itu."

Semua orang tertawa mendengar cerita itu. Caca, yang duduk di lantai, kembali sibuk dengan hiasan yang ada di depannya. "Di Indonesia, kami lebih fokus pada kebersamaan," katanya pelan. "Kami juga suka menghias, namun lebih menyukai makan malam bersama dan berkumpul dengan keluarga."

Nyonya Pattinson mengangguk setuju. "Aku setuju, Caca. Itulah yang selalu kubilang pada Logan. Namun, di sini, tampaknya orang-orang cenderung terjebak dalam kesempurnaan."

Caca memandang ke arah jendela besar yang menghadap ke halaman depan mansion. Salju mulai turun perlahan, menutupi rumput dan pohon-pohon dengan lapisan putih yang tipis. "London terasa sangat berbeda dibandingkan kampung halaman saya. Di sini dingin, tapi indah."

Logan mendekati jendela, menatap salju yang jatuh. "Aku selalu suka Natal di London. Salju membuatnya terasa magis. Tapi aku penasaran, bagaimana rasanya merayakan Natal di tempat yang hangat?"

Caca tertawa kecil. "Awalnya terasa aneh jika melihat Natal selalu digambarkan dengan salju. Di Indonesia, kami sering merayakan Natal di bawah pohon palem, bukan cemara."

Ray mendengar itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Pohon palem? Apa itu pohon palem?"

Caca tersenyum, membelai kepala bocah itu. "Itu seperti pohon kelapa, Ray. Daunnya panjang dan melengkung. Pohonnya tinggi, tapi tidak seperti pohon Natal."

"Apakah kamu juga punya lampu-lampu di pohon palem?" tanya Ray lagi.

"Kadang-kadang, iya," jawab Caca. "Tapi kami biasanya menggantung lampu di jendela atau di pintu. Tidak serumit di sini."

Logan kembali duduk di kursinya, mengamati Caca yang terlihat begitu hangat bercerita. "Aku suka mendengar cerita tentang tradisi di tempat lain. Rasanya seperti melihat dunia dari perspektif yang berbeda."

Nyonya Pattinson menambahkan, "Caca, aku rasa Ray akan belajar banyak darimu. Kamu membawa sesuatu yang berbeda ke dalam rumah ini."

Caca tersipu mendengar pujian itu. "Terima kasih, Bu. Saya hanya mencoba memberikan yang terbaik untuk Ray."

"Apakah kau mau bergabung dengan kami saat Natal nanti? Kau tahu, makan malam Natal," tawar Nyonya Pattinson dengan nada ramah.

Caca tertegun. Tawaran itu datang begitu tiba-tiba, dan meskipun hatinya menghangat mendengarnya, ia merasa sedikit ragu. Sebagai anak rantauan, menghabiskan malam Natal bersama keluarga yang memperlakukannya dengan begitu baik jelas terdengar lebih menyenangkan daripada merayakannya sendirian. Namun, ada perasaan segan yang mengganjal di dadanya.

"Ya ampun, Nyonya... bagaimana mungkin aku bisa menolak?" jawab Caca akhirnya, wajahnya berbinar cerah.

Nyonya Pattinson tersenyum puas melihat respons Caca. "Aku senang kau menerima. Ray pasti juga akan senang sekali. Lagipula, kau sudah seperti bagian dari keluarga kami."

Caca tersenyum hangat, meskipun hatinya masih bergetar kecil karena tak terbiasa menerima kebaikan seperti ini. "Terima kasih, Nyonya. Itu berarti banyak untukku."

"Ah, jangan terlalu formal, Caca," balas Nyonya Pattinson sambil tertawa kecil. "Lagipula, ini Natal. Semua orang harus merasa seperti di rumah."

Percakapan itu berlanjut dengan tawa dan cerita yang menghangatkan hati. Ketika bintang emas akhirnya dipasang di atas pohon oleh Ray—dengan bantuan Logan, tentu saja—ruangan itu terasa sempurna. Pohon Natal besar itu berdiri megah, dihiasi lampu-lampu yang berkilauan dan ornamen-ornamen cantik.

Namun, yang paling penting bukanlah pohon itu sendiri, melainkan momen kebersamaan yang tercipta di mansion keluarga Pattinson hari itu.

-

Langit London siang itu cerah, meski angin dingin Desember berembus lembut. Hyde Park dipenuhi pengunjung yang menikmati hari tenang di tengah kota. Caca, Kenta, dan Yeji berjalan berdampingan di jalur pejalan kaki yang dihiasi pepohonan rindang, bercengkerama sambil sesekali tertawa.

“Aku tak percaya ini kali pertama kalian berdua ke Hyde Park!” seru Yeji sambil menunjuk ke arah danau Serpentine. "Ini tempat favoritku saat butuh kabur dari rutinitas."

Caca terkekeh. "Aku terlalu sibuk menjaga Ray dan mengerjakan tugas kuliahku, Yeji. Belum sempat eksplor tempat ini. Tapi, aku suka suasananya. Damai sekali."

Kenta, yang berjalan di sisi Caca, hanya tersenyum kecil. Dia memandangi Caca sekilas, memperhatikan bagaimana angin memainkan ujung rambutnya, bagaimana senyumnya terlihat begitu hangat meski udara dingin menggigit.

"Kalau kamu, Kenta? Suka tempat ini?" tanya Yeji, memecah lamunannya.

Kenta tersadar, lalu mengangguk pelan. "Suka. Tapi mungkin bukan karena tempatnya."

Yeji mengerutkan dahi. "Bukan karena tempatnya? Maksudmu apa?"

Caca menoleh, penasaran dengan jawabannya.

Kenta hanya mengangkat bahu. "Entahlah, aku lebih suka melihat orang-orang menikmati kebahagiaan mereka. Itu lebih menarik daripada pemandangan."

Caca tertawa kecil. "Itu jawaban paling filosofis yang pernah aku dengar tentang taman."

Yeji mencibir. "Caca, jangan terpengaruh. Dia selalu sok mendalam begitu. Padahal, mungkin dia cuma tidak tahu harus bilang apa."

Kenta hanya tertawa tipis, menghindari tanggapan lebih lanjut. Matanya kembali tertuju pada Caca, yang sibuk mengamati bunga-bunga kecil di tepi jalan.

“Caca, lihat itu! Bebek-bebeknya lucu sekali!” seru Yeji sambil menarik tangan Caca mendekati danau.

“Oh ya, lucu banget!” Caca tersenyum lebar. Dia menunduk, mengamati bebek-bebek yang berenang santai di permukaan air.

Kenta mengikuti mereka dengan langkah pelan, menjaga jarak. Saat Caca tertawa karena bebek-bebek itu berebut roti yang dilemparkan seorang anak kecil, Kenta tersenyum kecil. Ada sesuatu dalam tawa Caca yang membuat dadanya terasa hangat.

“Kenta, kau tidak ikut melihat?” panggil Yeji, menyadari Kenta masih berdiri di belakang mereka.

Kenta melambaikan tangan. “Aku lebih suka mengamati dari sini. Kalian lanjut saja.”

Yeji menghela napas. "Selalu misterius, ya."

Caca menoleh ke arah Kenta. "Kamu nggak suka bebek, Kenta?" tanyanya, suaranya terdengar tulus.

Kenta menggeleng pelan. "Suka, tapi aku lebih suka melihat orang yang menikmatinya."

Yeji mendengus. "Lagi-lagi jawaban filosofis. Serius, Kenta, kau ini seperti teka-teki berjalan."

Caca hanya tertawa, tak terlalu memikirkan kata-kata Kenta. Tapi Kenta, di dalam hatinya, merasa lega. Dia tahu kalau dia terlalu jujur, perasaannya mungkin akan terlihat jelas, dan itu hal terakhir yang ingin dia lakukan.

Setelah beberapa menit, mereka memutuskan untuk melanjutkan jalan-jalan mereka. Yeji sibuk berbicara tentang rencana akhir pekannya, sementara Kenta dan Caca lebih banyak diam.

“Caca,” tiba-tiba Kenta memecah keheningan di antara mereka.

Caca menoleh. “Ya?”

“Kau... terlihat menikmati ini. Aku senang melihatmu tersenyum,” kata Kenta pelan.

Caca mengerutkan dahi, lalu tersenyum kecil. "Terima kasih, Kenta. Aku rasa udara segar dan suasana ini benar-benar membantuku rileks."

Yeji yang berjalan di depan mereka tiba-tiba berbalik. “Hei, kalian ngobrol apa di belakang? Jangan tinggalkan aku!”

“Bukan apa-apa. Hanya komentar santai,” jawab Kenta dengan santai, memasang senyuman tipis.

Yeji mendekat, menatap mereka curiga. “Komentar santai? Hmm, jangan-jangan Kenta menggombal, ya?”

Caca tertawa lepas. “Yeji, kamu kebanyakan nonton drama romantis!”

Kenta hanya menunduk, menyembunyikan senyum kecilnya. Dalam hati, dia merasa bersyukur karena candaan Yeji tidak dianggap serius.

Mereka tiba di area taman yang lebih luas, dengan bangku-bangku kayu berjajar di bawah pohon-pohon besar. Yeji melompat ke salah satu bangku, lalu menepuk-nepuk tempat di sebelahnya.

“Kita istirahat dulu! Kakiku pegal.”

Caca mengangguk setuju. “Ide bagus. Aku juga butuh duduk sebentar.”

Ketiganya duduk bersama. Yeji sibuk memeriksa ponselnya, sementara Caca mengeluarkan termos kecil berisi cokelat panas dari tasnya.

“Aku bawa cokelat panas. Mau coba?” tawar Caca, sambil menuang sedikit ke tutup termos yang berfungsi sebagai cangkir kecil.

Yeji langsung mengangguk. “Aku dulu!”

Caca memberikan cangkir itu pada Yeji, lalu menuang lagi untuk Kenta. “Kenta, ini untukmu.”

Kenta menerima cangkir itu dengan hati-hati. “Terima kasih.”

Saat Kenta menyeruput cokelat panas itu, dia melirik Caca yang sibuk menuang untuk dirinya sendiri. Hati kecilnya berkata bahwa momen seperti ini adalah hal yang ingin dia simpan selamanya—kesederhanaan bersama orang yang dia sukai.

“Cokelat panasnya enak, Ca,” komentar Yeji.

Caca tersenyum. “Terima kasih. Aku belajar resep ini dari ibuku. Dulu, ada kebun coklat disekitar rumahku. Ibuku belajar membuat coklat dan mengajariku minuman ini. Sejak itu, setiap natal ibuku memutuskan untuk selalu menyiapkan coklat panas.”

“Ah, tradisi Natal di keluargamu pasti seru ya,” komentar Yeji.

Caca mengangguk. “Iya, walau sederhana, rasanya hangat. Kami sering memasak bersama atau pergi ke gereja bersama.”

“Bagaimana denganmu, Kenta? Apa tradisi Natal keluargamu?” tanya Yeji, mencoba melibatkan Kenta dalam percakapan.

Kenta mengangkat bahu. “Keluarga kami tidak punya tradisi khusus. Biasanya hanya makan malam sederhana.”

Caca menatap Kenta dengan penuh perhatian. “Tapi itu pasti tetap berarti, kan? Yang penting kebersamaan.”

Kenta menatap mata Caca sebentar sebelum mengangguk. “Ya, mungkin kau benar.”

Yeji yang duduk di tengah mereka tiba-tiba berdiri. “Hei, aku baru ingat ada kios makanan di dekat sini. Aku mau beli kentang goreng. Ada yang mau nitip?”

Caca menggeleng. “Aku masih kenyang.”

Kenta menatap Yeji sebentar, lalu berkata, “Aku ikut. Aku bantu bawakan.”

Yeji memutar bola matanya. “Baiklah, kalau kau mau.”

Caca tertawa kecil melihat interaksi mereka. Setelah mereka pergi, dia menikmati pemandangan taman sendirian.

Saat kembali dengan kantong berisi kentang goreng, Kenta melihat Caca duduk di bangku dengan kepala mendongak, memandangi langit. Ekspresi wajahnya terlihat begitu damai, membuat hati Kenta kembali bergetar.

Dia menyerahkan kentang goreng pada Yeji dan duduk kembali di sebelah Caca. “Apa yang kau pikirkan?”

Caca tersenyum. “Hanya menikmati momen. Taman ini memang indah, ya.”

Kenta mengangguk pelan. “Iya, tapi bukan itu yang membuatku menyukainya.”

Caca menoleh, bingung. “Apa maksudmu?”

Kenta menggenggam kentang gorengnya, lalu menjawab singkat, “Karena aku di sini dengan kalian.”

Yeji yang baru duduk kembali langsung memotong. “Aku tahu itu pujian untukku!”

Caca tertawa mendengar celetukan Yeji, sementara Kenta hanya tersenyum samar, membiarkan perasaannya tetap tersembunyi. Baginya, kebahagiaan Caca hari itu sudah lebih dari cukup.

......................

HALOOOOO... Gak terasa udah bab 20. jujur, agak susah nulisnya apalagi aku pake bahasa yang formal huhu. Pusing dikit tapi aku harap kalian suka ya! Mohon like dan komentar serta dukungan kalian ya! Terima kasih banyak semuanya...❤️❤️❤️

1
seftiningseh@gmail.com
semngat berkarya
oh ya cerita ini menurut aku sangat menarik. apalagi judul nya jangan. lupa dukung aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!