kisah seorang siswi perempuan yang tidak tertarik dengan apapun akhirnya menyukai seorang lelaki yaitu kakak kelasnya,hari demi hari ia lewati tana menyapa ataupun yang lain.hanya sebatas melihat dari jauh orang yang di kaguminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myz Yzy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEPUTUSAN YANG KUPILIH
Seminggu berlalu sejak pesan panjang dari Nabil masuk, tetapi Yana belum juga memberikan respons. Setiap kalimat dalam pesan itu telah dibacanya berulang kali, namun perasaan ragu dan sakit hati masih menahan langkahnya untuk menjawab. Ia tahu, jika terus menunda, hanya akan memperpanjang kebingungan. Yana akhirnya memutuskan untuk bertemu Nabil, menyelesaikan semua yang menggantung di antara mereka.
Malam itu, mereka bertemu di taman kecil yang biasa mereka datangi. Udara dingin seakan mencerminkan suasana hati mereka. Nabil sudah menunggu di bangku panjang di bawah lampu taman yang temaram. Saat melihat Yana datang, ia berdiri, mencoba tersenyum, meski kegugupan jelas terlihat di wajahnya.
“Terima kasih sudah mau datang,” kata Nabil pelan. Yana hanya mengangguk, duduk di ujung bangku tanpa banyak bicara.
“Yana, aku tahu aku banyak salah. Aku nggak pernah maksud bikin kamu merasa nggak penting. Aku benar-benar nyesal,” Nabil memulai, nada suaranya penuh dengan rasa bersalah.
Yana menghela napas panjang. Ia menatap Nabil, berusaha mengabaikan rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak kembali. “Aku tahu kamu nggak bermaksud begitu, Kak. Tapi aku juga tahu, maksud baik aja nggak cukup. Aku selalu coba ngerti kamu, coba sabar setiap kali kamu sibuk. Tapi aku manusia biasa, Nabil. Aku juga butuh rasa dihargai.”
“Yan, aku janji aku akan berubah. Aku akan lebih perhatian, lebih terbuka. Aku nggak mau kehilangan kamu,” kata Nabil dengan nada memohon. Matanya menatap Yana, penuh harapan.
Tapi Yana hanya menggeleng pelan. “Aku percaya kamu, Kak. Tapi aku juga percaya, kalau kita terus begini, aku yang akan hancur. Aku nggak mau terus-terusan bertahan sendirian di hubungan ini.”
“Sendirian? Aku di sini, Yan. Aku selalu di sini,” balas Nabil, suaranya mulai meninggi, campuran antara kesedihan dan frustrasi.
“Kamu ada, tapi nggak benar-benar ada, Kak,” Yana menjawab dengan suara bergetar. “Kamu terlalu sibuk dengan duniamu, sampai aku merasa aku cuma tambahan di hidup kamu. Aku nggak bisa terus begini.”
Kata-kata itu membuat Nabil terdiam. Ia tahu Yana benar. Selama ini, ia terlalu sibuk mengejar ambisi dan proyeknya, tanpa benar-benar memberikan waktu dan perhatian yang Yana butuhkan.
“Aku sayang kamu, Yan. Aku benar-benar sayang kamu,” ucap Nabil akhirnya, nyaris berbisik.
“Aku juga sayang kamu,” balas Yana, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi kadang cinta aja nggak cukup. Aku butuh lebih dari sekadar rasa sayang. Aku butuh merasa dihargai, diperhatikan, diprioritaskan. Dan aku nggak yakin kamu bisa memberikannya.”
“Kamu nggak percaya aku bisa berubah?” tanya Nabil, suaranya penuh dengan luka.
“Bukan soal percaya atau nggak. Aku cuma nggak mau lagi menyakiti diri sendiri dengan terus berharap sesuatu yang mungkin nggak akan pernah terjadi,” jawab Yana tegas, meski hatinya terasa remuk.
Hening menyelimuti mereka. Hanya suara angin malam yang terdengar. Nabil menunduk, menggenggam tangannya sendiri, mencoba menenangkan diri. Akhirnya, ia mengangguk pelan, menerima kenyataan pahit itu.
“Kalau ini yang terbaik buat kamu, aku nggak akan memaksa. Aku cuma mau kamu bahagia, Yan,” katanya akhirnya, suaranya terdengar pasrah.
Yana menatapnya dengan mata yang sembab, lalu tersenyum tipis, meski hatinya terasa berat. “Terima kasih, Kak, untuk semua kenangan indah yang pernah kita punya. Aku nggak akan lupa.”
Nabil hanya mengangguk, mencoba tersenyum meski terasa pahit. “Aku juga, Yan. Aku juga nggak akan lupa.”
Setelah itu, Yana berdiri, perlahan melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang. Nabil tetap duduk di bangku, menatap punggungnya yang semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik gelapnya malam.
Malam itu menjadi akhir dari perjalanan cinta mereka. Meski penuh luka, keduanya tahu, keputusan itu adalah yang terbaik. Kini, mereka melanjutkan hidup masing-masing, membawa pelajaran dari hubungan itu, dan berharap suatu hari nanti, mereka bisa menemukan kebahagiaan sejati, meski bukan bersama.