"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keberangkatan
Hamzah berdiri di tengah keramaian stasiun, kebingungan melanda pikirannya setelah mendengar ucapan sahabatnya, Robi. "Maksud kamu apa, Rob?" tanyanya, suaranya bergetar antara rasa ingin tahu dan didengarkan.
Robi, dengan senyum lebar yang tak bisa disembunyikan, menjawab dengan tegas, "Aku ikut kamu ke Inggris!"
Kaget, Hamzah terbelalak. "Haahh?" suaranya melengking, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Robi mengangguk mantap, seolah meyakinkan Hamzah bahwa ini bukan sekadar lelucon.
"Sudah, ayo segera masuk ke kereta. Nanti aku ceritakan semuanya kepadamu, termasuk mengapa aku merahasiakan kedatanganku," lanjut Robi, gesturnya menunjukkan semangat yang menular.
Hamzah mengingat sejenak, mengamati ekspresi sahabatnya yang penuh antusiasme. Di satu sisi, jantungnya berdebar gembira mendengar bahwa mereka akan berpetualang bersama ke Inggris. Namun, di sisi lain, rasa kesal di dalam dadanya, “Mengapa keluarganya dan sahabatnya merahasiakan hal penting ini darinya?” Dengan perasaan campur aduk, Hamzah akhirnya mengangguk pelan. Mereka berdua bersiap melangkah menuju kereta yang menunggu.
Hamzah berdiri di depan kereta, memegang kopernya dengan erat. Suasana di Stasiun Tugu Yogyakarta begitu ramai, namun jantung terasa berat. Ia menatap wajah ayah, ibu, Aan, dan Pak Min yang berdiri di sebelahnya.
"Bapak, Ibu, Aan, dan Pak Min, Hamzah berangkat dulu ya. Hamzah akan merindukan kalian semua," ucapnya dengan suara yang bergetar, air mata mulai mengalir di pipinya.
Ayahnya mengangguk dengan penuh pengertian, "Hati-hati ya, nak. Kami semua juga akan merindukanmu," jawabnya mewakili perasaan keluarga yang lain.
Robi, sahabat dekat Hamzah yang selalu bisa mencairkan suasana, menyela dengan tawa, "Yuk Zah, kita masuk ke kereta! Sebentar lagi berangkat. Kalau kita sampai ketinggalan, nanti kita ke Inggris jalan kaki!"
Mendengar candaan itu, Hamzah tidak bisa menahan tawanya. "Hahaha, ayo Rob, kita masuk sekarang!" jawabnya sambil tersenyum.
Dengan langkah mantap, mereka berdua mulai melangkahkan kaki gerbong menuju kereta. Sambil berjalan, Hamzah melirik ke setiap sudut stasiun ikonik ini. Stasiun Tugu yang telah berdiri sejak tahun 1887 dengan arsitektur bergaya Eropa klasiknya, memancarkan pesona tersendiri. Ia memperhatikan keramaian orang-orang yang menunggu keberangkatan dan detail bangunan yang megah.Hamzah terpesona oleh perlintasan unik berbentuk gerbang geser di sisi timur stasiun yang menghubungkan Jalan Malioboro. Di ujung jalan itu berdiri Monumen Lokomotif Uap yang selalu menjadi spot foto favorit para wisatawan.
Setiap elemen stasiun ini seolah bercerita tentang perjalanan dan kenangan yang terukir dalam waktu.Saat kereta mulai bersiap untuk berangkat, Hamzah merasakan campuran antara senang dan sedih. Ia tahu bahwa petualangan baru menantinya di depan sana, tetapi kenangan bersama keluarga dan sahabat akan selalu membekas di hati. Dan saat mereka memasuki gerbong, Hamzah merasakan jantungnya berdegup kencang. Petualangan baru menanti mereka di depan, tetapi pertanyaan tentang rahasia yang disimpan masih menghantui pikiran. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Hamzah dan Robi melangkah masuk ke dalam kereta yang akan membawa mereka menuju Jakarta. Suasana di dalam kereta tampak ramai, penumpang-penumpang yang berdesakan membuat Hamzah celingukan, mencari tempat duduk yang masih kosong.
“Kenapa ramai sekali ya, Rob? Padahal bukan waktu liburan,” ujarnya dengan nada heran, matanya melirik ke sekeliling.
"Iya, Zah. Biasanya kalau hari-hari biasa tidak akan seramai ini," jawab Robi sambil memperhatikan kepadatan di sekitar mereka.
Tiba-tiba, Robi menunjuk ke arah satu sudut kereta. "Eh Zah, lihat itu!"
Hamzah mengikuti arah jari Robi dan seketika wajahnya berbinar. "Alhamdulillah, masih ada yang kosong, Rob! Yuk kita segera kesana sebelum diambil orang lain."
Dengan langkah cepat, mereka berdua meluncur menuju dua kursi yang ditunjuk oleh Robi. Begitu mereka duduk, Hamzah menghela napas lega.
“Alhamdulillah bisa duduk, Rob. Bayangkan jika kita harus berdiri selama perjalanan ke Jakarta.”
Robi mengangguk setuju, juga mengeluarkan napas panjang. "Iya nih, syukur banget kita masih bisa dapat bangku."
Tak lama setelah mereka duduk, pintu kereta tertutup dengan suara keras. Peluit dari luar kereta menggema, menandakan bahwa perjalanan akan segera dimulai. Kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Tugu Yogyakarta, membawa harapan dan impian para penumpangnya menuju ibu kota.Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat; bagi Hamzah dan Robi, ini adalah kesempatan untuk menjelajahi dunia baru yang terbuka lebar bagi warga Yogyakarta dan sekitarnya. Mereka tahu bahwa setiap detik dalam perjalanan ini adalah bagian dari kisah yang akan mereka ceritakan kelak—tentang persahabatan, petualangan, dan semua pengalaman yang menanti disana.
Perjalanan kereta dari Stasiun Tugu menuju Stasiun Gambir memakan waktu sekitar tujuh setengah hingga delapan jam. Meskipun terasa lama, Hamzah merasa waktu itu tidak akan terasa berat. Suasana di dalam kereta yang nyaman dan fasilitas lengkap membuat perjalanan ini menjadi pengalaman yang menyenangkan. Hamzah menatap sahabatnya, Robi, yang duduk di sampingnya.
“Oh iya, Rob,” Hamzah berkata sambil menepuk paha temannya dengan penuh semangat. “Ada apa, Zah? Ada yang ketinggalan?” Robi menjawab dengan nada sedikit kaget, matanya melirik ke arah Hamzah. “Tidak, InsyaAllah tidak ada yang ketinggalan,” jawab Hamzah sambil tersenyum lebar.
“Lalu?” Robi bertanya, penasaran. “Kamu tadi bilang sebelum kita berangkat, kamu akan memberitahuku semuanya di kereta.” Robi mengingatkan dengan nada menggoda. “Oh iya, aku lupa,” Robi tertawa, teringat akan janjinya. “Jadi begini, sahabatku. Selama beberapa bulan terakhir ini, aku sering pergi ke Sawah Lor. Setiap kali aku ke sana, aku selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahmu. Namun sayangnya, setiap kali aku ke rumahmu, kamu tidak pernah ada.”
Hamzah mengangguk memahami. “Iya Rob, beberapa bulan lalu aku memang sangat sibuk dengan urusan kuliahku. Biasanya aku pulang sebulan sekali, tapi kemarin aku sampai tiga bulan tidak pulang,” jelasnya dengan nada menyesal.
“Lalu, kenapa kamu meminta keluargaku untuk merahasiakan semuanya?” tanya Hamzah dengan wajah penasaran. Robi tertawa kecil sebelum menjawab, “Oh itu, jujur saja tidak ada maksud apa-apa sih Zah. Aku hanya ingin agar pertemuan kita hari ini menjadi kejutan. Kamu tahu kan aku ini orangnya sering keceplosan? Jadi lebih baik aku merahasiakannya sampai waktunya tiba.”
Hamzah teringat kembali pada pernyataan Robi saat mereka berpamitan sebelumnya. “Oh iya satu lagi,” ucap Hamzah dengan serius. “Apa itu sahabatku?” tanya Robi tenang. “Maksudmu tadi bilang bahwa aku ikut kamu ke Inggris? Apa benar itu?”
Robi tersenyum lebar dan menjelaskan, “Begini Hamzah, kamu dapat beasiswa kuliah di Inggris dari kampusmu kan? Nah, aku juga mendapat beasiswa dari kampusku.”
Hamzah terkejut dan berkata, “Kamu tahu aku dapat beasiswa ke Inggris pasti dari ibu, iya kan?”
“Iya, ibumu bercerita semuanya padaku Zah,” jawab Robi dengan penuh keyakinan.
“Jadi ini serius? Kamu juga dapat beasiswa ke Inggris?” tanya Hamzah masih tidak percaya. Ia tahu betul akan kecerdasan sahabatnya itu tetapi tetap sulit membayangkan mereka akan menempuh S2 di Inggris bersama-sama.
“Ya serius Zah! Wah kamu meremehkan diriku ya? Begini-begini dulu aku juga pegang juara di kelas meski selalu rangking dua,” canda Robi disertai tawanya yang ceria. “Padahal aku sudah belajar sekuat tenaga tapi tetap saja tidak bisa menggeser kamu yang selalu rangking satu.”
Hamzah tertawa mendengar candaan itu. “Kamu bisa saja Rob! Tapi serius ya? Kamu juga dapat beasiswa ke Inggris? Universitas mana?”
“Iya Hamzah, coba tebak aku dapat beasiswa ke universitas mana?” tantang Robi dengan senyum penuh misteri.
“Mana Rob?” tanya Hamzah tak sabar.
“Aku juga dapat beasiswa ke Oxford!” jawab Robi dengan bangga.
Seketika itu juga, Hamzah berteriak kegirangan, “Alhamdulillah harapanku benar!” Suara ceria Hamzah menarik perhatian penumpang lain di sekitar mereka yang langsung melirik ke arah mereka berdua.
“Maaf,” ucap Hamzah sambil tersenyum malu-malu. Melihat kejadian lucu itu, Robi tak kuasa menahan tawanya. “Hamzah-hamzah, kamu memang tidak banyak berubah,” ujarnya sambil mengingat masa lalu mereka.
“Oh iya, dulu waktu kita masih duduk di sekolah dasar, kamu selalu rangking satu sementara aku selalu di posisi kedua,” tambah Robi dengan nostalgia.
“Iya Rob! Dari kelas satu sampai kelas enam hanya itu-itu saja. Sampai guru wali kelas kita bosan,” jawab Hamzah sambil tersenyum mengenang masa-masa indah mereka.
“Eh Zah, kabar Ririn bagaimana? Kemarin waktu aku main ke Sawah Lor ingin sekali bertemu dengannya tapi tidak pernah kesampaian,” tanya Hamzah penasaran.
“Alhamdulillah Rob, Ririn baik-baik saja,” jawab Hamzah singkat namun penuh rasa syukur.
Perjalanan dari Yogyakarta menuju Jakarta itu begitu berkesan dan penuh kejutan bagi Hamzah. Ia ditemani oleh sahabatnya Robi yang ternyata juga mendapatkan beasiswa ke Inggris dan kuliah di universitas yang sama dengannya. Di tengah perbincangan mereka yang hangat dan penuh tawa, Hamzah melihat seorang kakek berjalan melewati mereka. Tanpa ragu ia memanggilnya, “Kek sebentar!” serunya mencoba menghentikan langkah sang kakek yang tampak kelelahan melintas di depan mereka.