Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Main ke Rumah
Naima tidak tahu harus berapa kali lagi ia mengalihkan pandangannya. Lelaki di depannya ini, Haris, terus menatapnya dengan sorot mata yang tajam dan menyelidik, seolah ada sesuatu yang salah dengannya.
Namanya Haris, begitu dia diperkenalkan oleh Hanum. Kakak Malik. Bocah laki-laki yang bersama Hanum saat di taman kota adalah Ali, keponakan Malik. Saat ini, Zahra sedang asyik bermain dengan Ali. Gadis kecil itu memang sering bilang ingin punya adik, tapi sampai sekarang keinginannya belum juga terkabul.
Sementara Malik, dia sedang tidak ada di rumah, sedang olahraga itu yang dijelaskan Haris saat matanya menyisir ruangan. Lelaki itu mengira Naima mencari Malik, namun tidak, Naima malah senang dia tidak harus bertegur sapa dengan Malik.
"Jadi?" Haris menatapnya dengan serius, suaranya mengandung sedikit desakan.
Naima mengalihkan pandangannya dengan gugup. "Apa?"
"Kenapa kamu belum menerima Malik?" Haris kembali bertanya dengan nada yang tegas, tatapannya tetap intens seolah ingin mengetahui jawabannya.
Naima mengerutkan kening, berusaha menjaga sikap santai. "Ya... ya, nggak kenapa-kenapa?"
Haris menilai jawaban itu seolah tidak cukup, dan suaranya semakin tegas. "Dua bulan, loh. Itu waktu yang nggak sebentar."
Naima tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. "Dua bulan itu singkat, Kak. Ada yang harus menunggu bertahun-tahun, loh. Haha."
Haris mengangkat alis, semakin penasaran. "Umur kamu berapa, sih?"
Naima tersenyum tipis, mencoba mengalihkan perhatian. "Hmm, 24. Masih muda, kan?"
"Kalau Kakak sendiri umurnya berapa?" tanya Naima dengan nada ingin tahu.
"28," jawab Haris dengan datar.
Naima terkejut sejenak, lalu tersenyum dengan nada usil. "Oh, masih muda dong," katanya sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Haris menyipitkan mata, meliriknya dengan sedikit gelengan. "Oh, muda ya? Saya pikir tua."
Naima tertawa kecil, sedikit lebih santai. "Lah, serius Kak. Masih muda kok. Haha."
"Kenapa kamu dari tadi ketawa terus?" Haris menatapnya dengan rasa ingin tahu, seolah ada sesuatu yang mengganjal.
Naima terdiam sejenak, merasa sedikit tidak nyaman. "Eh, ga kenapa-kenapa Kak, hehe.”
Namun, sebelum Naima merasa lebih nyaman, Haris melontarkan pernyataan yang langsung membuatnya kembali gelisah. "Saya penasaran kenapa Malik tertarik sama kamu."
Naima tercekat. Ia mencoba menyembunyikan rasa canggungnya dengan candaan. "Wah, saya juga penasaran tuh," jawabnya sambil mengusap tengkuknya.
Haris tidak menyerah, terus melontarkan pertanyaan demi pertanyaan, meski beberapa terdengar remeh. Tapi bagi Naima, tatapan dan nada bicaranya terasa seperti investigasi. Ia mulai menunjukkan gelagat-gelagat cemasnya. Jemarinya meremas ujung baju, dan pandangannya sesekali teralihkan ke arah jendela, berharap ada sesuatu yang bisa menyelamatkannya dari situasi ini.
Namun, Haris tetap bertahan, seolah ingin mencari tahu semua yang tersembunyi dari Naima. Setiap pertanyaan yang keluar dari mulutnya semakin membuat Naima merasa terpojok, semakin sulit baginya untuk menjaga ketenangannya. Namun, percakapan itu akhirnya terhenti saat Hanum kembali ke ruang tamu. Tangannya memegang nampan dengan gelas-gelas berisi minuman dan cemilan ringan.
Naima merasa sedikit lega melihat kehadiran Hanum, seolah-olah ia menjadi pelindung dalam percakapan yang semakin membuatnya cemas. Ia bangkit dari duduknya dan mengambil nampan dari tangan Hanum dengan cepat, lalu meletakkannya di meja dengan gerakan hati-hati.
"Terima kasih, Tante," ucap Naima sambil tersenyum sedikit, berusaha menenangkan dirinya.
Hanum tersenyum dan duduk di sebelahnya, memberikan anggukan kecil pada Haris. "Kamu sudah ngobrol banyak, Haris?" tanyanya dengan nada ringan, seolah ingin mengubah topik pembicaraan yang mulai memanas.
Haris, meskipun tampak sedikit kecewa, memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya. Ia hanya mengangguk pelan, "cuma tanya-tanya beberapa hal ringan aja kok, Ma," jawabnya sambil mengambil gelas dan meminum isi di dalamnya.
Naima mendengus, hal ringan apa yang membuat tamunya tidak nyaman seperti ini.
"Aku cuma penasaran, sana calonnya Malik. Ah, ternyata dalam beberapa hal mereka punya kesamaan." Haris berkata dengan senyum penuh arti.
Naima menatapnya, bingung. "Kesamaan?" tanyanya, suara sedikit penasaran.
Haris tertawa kecil. "Ya, kamu lucu."
Naima terdiam, bingung. Lucu? Apa yang dimaksud dengan itu? Matanya memandang Haris sejenak, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Namun, Hanum tampak tak terburu-buru menjelaskan, justru terlihat seperti sedang menikmati ketidaknyamanan yang terpendam dalam percakapan itu.
***
"Kak Malik!" teriak Zahra ceria saat melihat Malik kembali dari bersepeda.
Malik yang baru tiba dan melihat Zahra sedang asyik dengan keponakannya, Ali, mendelik heran. Ia mengenal Zahra sebagai adik Naima, dan jika Zahra ada di sini, mungkin Abraham dan Sarah juga sedang berkunjung.
"Ah, Zahra, sama siapa kamu datang ke sini?" tanya Malik, matanya menelusuri sekitar.
"Oh, itu sama Kak Naima, kak, di dalam," jawab Zahra tanpa curiga.
"Naima?" Malik mengulang dengan nada heran. Kenapa Naima bisa ada di rumahnya? Seingatnya, tidak ada rencana sebelumnya.
Tanpa menunggu lama, Malik memutuskan untuk masuk dan mencari tahu lebih lanjut. Di ruang tamu, ia melihat Haris dan ibunya, Hanum, sedang berbicara dengan Naima.
"Assalamualaikum," ucap Malik, suaranya cukup keras sehingga ketiganya mendengarnya.
Haris dan Hanum segera membalas salam Malik dengan ramah. Namun, yang mengejutkan, Naima hanya terdiam, tidak menyambut salamnya.
"Malik, sini duduk. Umi nggak sengaja ketemu Naima di taman, jadi Umi ajak ke rumah," ucap Hanum dengan nada riang, seolah tak ada yang ganjil.
Malik menghampiri ibunya. Dia melirik Naima sekilas, mencoba membaca ekspresinya. Saat pandangan mereka bertemu sejenak, Naima buru-buru mengalihkan pandangannya, seperti biasa menghindari kontak mata dengannya.
Di sisi lain, Haris yang duduk santai di sofa menangkap situasi ini dengan jelas. Malik melihat senyum menyeringai di wajah kakaknya. Entah apa yang sedang dipikirkan Haris, tapi Malik tahu itu jarang membawa hal yang baik.
"Oh, jadi begitu," gumam Malik pelan, mencoba meredam rasa canggung yang mulai merayap di ruangan itu.
Naima tetap diam, jemarinya saling bertaut di pangkuannya. Malik tahu gadis itu sedang tidak nyaman, tapi dia juga tahu lebih baik tidak memaksanya berbicara.
Haris tiba-tiba bersuara, nada suaranya penuh godaan. “Malik, kamu senang bukan Naima ada di sini."
Malik mendesah pelan, jelas merasa terganggu dengan kakaknya. “Bang, jangan mulai lagi," balasnya singkat dengan nada tegas, namun tak ingin memperpanjang.
Hanum hanya tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang sedikit tegang. "Haris, jangan bikin suasana jadi aneh," tegurnya lembut, sambil menggeleng pelan.
Naima, yang merasa jadi pusat perhatian, akhirnya mencoba bersikap sopan meski rasa canggung melilit dirinya. "Hai, Malik," sapanya pelan, melambaikan tangan dengan gerakan kecil dan ragu. Ia tahu, setidaknya harus menjaga formalitas di depan Hanum dan Haris.
Malik menoleh, senyumnya muncul tipis. "Hai, Naima. Kejutan yang nggak terduga," jawabnya, matanya menatap Naima sejenak sebelum kembali mengalihkan pandangan, mencoba menjaga kesan santai.
Naima balas tersenyum tipis, tidak tahu harus menjawab apa. Situasi ini membuatnya merasa seperti berada di tengah panggung, di mana semua mata tertuju padanya.
Haris yang duduk menyilangkan kaki di sofa mengangkat alis, tatapannya bergantian antara Malik dan Naima. "Kejutan, heh," gumamnya dengan nada setengah menggoda, senyumnya tak kunjung hilang.
Malik, yang sudah terbiasa dengan sikap kakaknya, tidak menggubrisnya. Sebaliknya, Malik menunduk, berbisik pelan ditelinga Hanum, "Aku mau mandi dulu, Ma," katanya singkat. Hanum mengangguk memberi izin, sebelum akhirnya Malik menaiki tangga ke lantai dua.
Haris berdiri dari sofa, gerakannya santai namun penuh maksud. Ia melirik sekilas ke arah Naima, kemudian mengalihkan pandangan kembali ke Malik yang sudah mulai berjalan menuju tangga.
Tanpa banyak bicara, Haris mengikuti langkah adiknya. Suasana antara mereka terasa berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara. Naima hanya bisa memperhatikan punggung mereka yang menjauh, merasa lega sekaligus penasaran.
Kini, ruangan menjadi jauh lebih tenang. Hanum duduk di sofa, tersenyum hangat ke arah Naima. Sementara itu, Naima menghela napas panjang, merasa lega karena sumber ketegangannya sudah pergi. Setidaknya, untuk sekarang.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak