Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi OG
Biarkan saja. Yang penting gak membuat rusuh. Setidaknya itu yang difikirkan Aksa melihat tingkah gak bisa diamnya Laras. Salah sendiri maksa ikut ke kantor. Bosen kan? Baru tahu rasa.
Memang, gak ada yang bisa Laras kerjakan. Awal datang, iya sih, dia masih pecicilan eksplor ruangan Aksa. Melihat-lihat plakat penghargaan, seraya melontarkan puji-pujian. Setelah itu melihat rak-rak buku, meski setelahnya dia balikkan lagi. Kepalanya pusing membaca buku berkualitas tinggi. Dia memang anak kuliahan, tapi dia lebih berminat membaca novel daripada buku-buku pengetahuan itu. Pun, saat Aksa kembali dari rapatnya, dan berkutat dengan pekerjaannya, Laras mengintip pekerjaannya. Meski setelahnya dia ngeloyor pergi lagi. Kepalanya mendidih panas. Gak kuat.
Akhirnya, kembalilah dia pada jiwa lamanya. Alias bermain ponsel. Itu lebih menyenangkan dari apapun. Kegiatan yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam tanpa terasa.
Dan sekarang lihatlah, tingkahnya membuat Aksa menggelengkan kepala. Berasa di rumahnya sendiri. Kaki di atas sofa, sedangkan kepala di lantai. Sambil nyemil snack yang memang sengaja Aksa pesankan. Mata dan jarinya bekerja sama menscroll video. Sesekali tawa cekikikan terdengar. Sama sekali gak ada jaim-jaimnya.
Aksa meletakkan berkasnya. Netranya terarah pada gadis yang akhir-akhir ini menyita perhatiannya. Bunga dan Laras. Dua kepribadian yang bertolak belakang. Bahkan, saking jauh perbedaan sifatnya, Aksa hampir percaya dengan cerita Laras. Bahwa mereka dua jiwa berbeda. Tapi, setelah dia ikut menemani Laras menelusuri tempat-tempat yang dikatakan Laras ternyata gak nyata, Aksa membuang jauh-jauh ketidak-mungkinan itu. Mungkin perubahan sifat Bunga hanya karna efek dari amnesianya. Memang dia akui, Bunga versi yang sekarang lebih pemberani dan ramai. Mamanya saja lebih akrab dengan Bunga yang sekarang, dibanding yang dulu. Aksa belum pernah melihat efek Amnesia yang seperti ini.
"Sa ...."
Panggilan Laras menyadarkan lamunan pria itu. Aksa terkesip. Reflek memegang berkasnya lagi. Pura-pura sedang bekerja. Untung saja Laras memanggilnya dengan tidak melihat ke arahnya. Dia sedang merubah posisinya duduk.
"Hmm." Aksa pura-pura terganggu pekerjaannya. "Kenapa?"
"Gue keluar ya? Bosen di dalam."
"Yang nyuruh kamu ikut siapa?"
"Ck. Emang kenapa sih? Wajar dong istri ikut suaminya kerja. Yang penting gak ganggu."
Aksa menggendikkan bahunya. Cuek. Kembali melihat berkasnya. Padahal dia sedang menahan diri.
"Gue keluar. Mau keliling lihat-lihat kantor," ujarnya, dan tanpa mendengar jawaban Aksa, segera beranjak.
"Jangan jauh-jauh. Jam makan siang sudah kembali kesini."
Laras menghentikan langkahnya sejenak. Mengangkat tangannya.
"Siap, boss," serunya, dan ngacir keluar.
Aksa menggelengkan kepala. Lihat saja. Bunga bahkan gak akan seberani itu. Bunga lebih memilih anteng di ruangannya, sebosan apapun itu. Tapi, entah kenapa, dengan sikap pemberontak Laras, justru menggelitik perasaan Aksa. Perasaan aneh yang gak seharusnya ada.
.
.
Bukannya harusnya istri boss itu dihormati ya? Tapi entah kenapa tatapan dari beberapa karyawan justru seperti mencibir dirinya. Bahkan ada yang terang-terangan tertawa mengejek dan bisik-bisik padanya. Terlepas dari keributan yang terjadi kemarin, gak seharusnya dong mereka bersikap seperti itu. Secara, dia istri boss loh. Sombong dikit.
Tapi bodo amat deh. Mau mereka melihatnya dengan tatapan gimanapun, kalau ada masalah, dia juga yang bakal dibelain Aksa. Gitu, kan? Harusnya sih gitu. Dan itu
artinya, mereka juga yang akan kena masalah. Wkwkw.
Eh, tapi mereka beneran tahu kalau dirinya istri Aksa gak sih?
Semua orang sibuk dengan pekerjaannya, terlepas dari sorot julid mereka. Sesekali Laras mengarahkan kamera, menjempret beberapa gambar untuk dia simpan. Cita-citanya setelah lulus kuliah, dia ingin melamar kerja di perusahaan. Bergaji besar, dengan pakaian menarik. Itu niatnya, sebelum jiwanya tertukar dengan Bunga. Yah, walau sekarang dia malah jadi istri sang CEO, tapi mungkin nasibnya hanya sementara. Saat dia kembali ke tubuhnya yang asli, kehidupan baru akan dirangkai. Karna itu, selagi masih disini, dia memanfaatkannya dengan mengamati pekerjaan orang-orang. Siapa tahu bisa jadi referensinya nanti.
Saat sedang mengamati orang-orang, tak sengaja Laras menabrak orang.
"Aw!" ringisnya.
Untuk kesekian kalinya, dia melanggar orang lain. Bedanya, kali ini dia gak sampai jatuh. Orang itu dengan sigap menahan tubuhnya. Hingga gak sampai oleng.
"Maaf, saya kurang hati-hati."
Laras terkesip. Bahkan orang ini meminta maaf lebih dulu. Padahal, Laras merasa disini dia yang salah karna gak memperhatikan jalan.
"Oh, gak papa. Aku juga yang salah kok, gak merhatiin jalan," ujarnya, meminta maaf balik.
Pemuda itu melepaskan pegangannya. Tersenyum sopan. Lantas pemuda itu berjongkok. Memberesi berkasnya yang berserakan di bawah akibat dia memilih menyelamatkan Laras dibandingkan berkasnya.
Laras mengamati pemuda ini. Entah kenapa dia merasa gak asing. Tapi otaknya gak mampu menebak siapa. Laras menggelengkan kepala. Mungkin Bunga yang kenal. Jadi wajar aja kalau dia cuma ngerasa tapi gak inget.
Pemuda itu selesai memberesi berkasnya. Kembali berdiri.
"Laras." Laras mengacungkan tangannya, sebelum pemuda itu melangkahkan kakinya.
Sempat dia lihat pemuda itu terkejut. Namun beberapa saat kemudian senyumnya terbit. Manis juga. Lumayan.
"Andrean," sahutnya. Membalas jabatan tangan Laras.
"Kamu udah lama kerja disini?" tanyanya basa basi.
"Belum. Saya baru magang beberapa hari ini."
Laras manggut-manggut. Pantas saja pemuda itu tidak mengelak saat dirinya menyebut nama Laras, bukan Bunga. Eh, tapi kalau Andre baru magang, kok bisa dia ngerasa gak asing?
"Kalau mbak Laras, sudah lama?"
Mbak?
"Aku?" Laras menahan senyumnya. "Aku juga, em ... Masih magang."
Raut pemuda itu berubah mencair. Senyumnya tidak sekaku tadi.
"Ah, benarkah? Saya pikir mbak sudah senior." Ada kelegaan dalam ucapannya. Mungkin karna itu dia lebih memilih menyelamatkan Laras daripada berkasnya.
"Haha. Masak iya, perawakan kayak aku udah senior. Haha."
Andre tersenyum.
"Kalau begitu, salam kenal, Andre. Kita bisa jadi temen, kan?" Laras kembali mengulurkan tangannya. Dan Andre membalasnya, dengan gurat senyum berlesungnya.
Entah perasaan apa ini, tapi Laras merasakan perasaan tak biasa. Kehadiran Andre, memberinya semangat lain.
.
.
Akibatnya ....
Rasanya Aksa ingin menyumpal telinganya. Sejak makan siang tadi, hingga sampai ke rumah, Laras terus merengek padanya. Permintaan yang cenderung aneh. Laras minta magang kerja di kantor Aksa. Aneh? Tentu saja itu aneh. Kesambet apa Laras, sampai tiba-tiba minta kerjaan. Padahal, tanpa bekerja pun, kehidupannya terjamin. Ada dirinya yang kaya raya.
"Ayolah, Sa. Please ...." rengeknya. Menangkupkan tangan di depan dada. Memasang puppy eyes yang dibuat-buat.
Aksa menarik napas panjang. Mengabaikan rengekan Laras. Berfokus pada laptopnya.
"Gue gak minta jabatan tinggi kok. Jadi office girl juga gak papa."
Netra Aksa langsung terpaut. Menyorot Laras heran. Segitunya kah, pengen kerja di perusahaannya.
"Beneran. Jadi OG juga gak papa, serius," ujar Laras meyakinkan. Mengangkat dua jarinya. Lagi-lagi memasang innocent face-nya.
Aksa menutup laptop dengan sebelah tangannya. Memutar kursi duduknya, bersidekap. Laras masih berjongkok memohon di hadapannya.
"Apa alasanmu?"
"Alasan? Gak ada, kok."
"Tidak mungkin tanpa alasan kamu memohon sampai segitunya."
"Beneran. Gue cuma bosen. Di rumah gak ngapa-ngapain. Ikut ke kantor juga gak ngapa-ngapain. Mendingan ngelakuin sesuatu yang bermanfaat, kan?"
Aksa menatap selidik. Pantas kan, kalau dia curiga Laras tengah merencanakan sesuatu? Mengingat, hubungan mereka sebelumnya, yang gak bisa dikatakan baik-baik saja.
Aksa menghembuskan napas panjang. Diam beberapa saat.
"Oke. Ditempatkan dimanapun gak masalah, kan?"
Binar mata Laras mencercah cerah. Mengangguk semangat.
"Baik. Sesuai permintaanmu."