Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦱꦠꦸ
Yat sarvaṁ vipariṇāmī bhavati kadācit.
Di sebuah desa kecil di Jawa, hiduplah seorang perempuan bernama Mela. Ia dikenal sebagai penjaja jamu keliling yang ramah dan penuh senyum. Setiap pagi, Mela akan menyusuri jalanan desa dengan bakul rotan di punggungnya, berisi botol-botol jamu dari bahan alami seperti kunyit, jahe, temulawak, dan beras kencur.
Mela berjalan dengan langkah ringan, melewati rumah-rumah warga yang terbuat dari anyaman bambu dan tanah liat. Suaranya yang lembut dan cara tawarnya yang halus membuat orang-orang merasa nyaman. "Jamu segar, untuk badan sehat, siapa yang mau?" serunya dengan ceria, menawarkan khasiat jamu yang sudah dikenal turun temurun.
Meski hidup dalam kesederhanaan, Mela merasa puas dengan pekerjaannya. Baginya, setiap senyum dan kata terima kasih dari para pembeli adalah kebahagiaan tersendiri. Ia tahu, di balik setiap tetes jamu yang ia jual, ada harapan untuk memberikan sedikit kebaikan dan kesehatan bagi orang lain, serta sebuah kisah panjang tentang keteguhan hati dan semangat bertahan hidup.
Kalau dipikir-pikir, hidup Mela memang sangat jauh berbeda dari dulu. Dulu, ia adalah seorang gadis dari keluarga yang terhormat, keturunan langsung dari Kesultanan Demak, yang dihormati oleh banyak orang. Keluarganya hidup dalam kemewahan, tinggal di rumah besar yang dikelilingi kebun yang subur, dan memiliki segala yang mereka butuhkan. Namun, takdir berkata lain. Kini, keadaan Mela dan ibunya telah berubah drastis. Ayahnya sudah tiada, dan ibunya, yang dulu kuat dan bijaksana, kini jatuh sakit. Hidup mereka yang dulu penuh kehormatan, kini harus bertahan dalam kemiskinan. Mela yang dulu bisa menikmati hidup dengan kemudahan, kini harus berjalan kaki keliling desa, menjual jamu untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Di desa tempat Mela tinggal, tak jarang terdengar bisik-bisik dari para ibu-ibu yang berbicara di pinggir jalan. Mereka tak bisa menahan rasa heran dan kasihan, namun kadang juga tak terhindar dari gosip yang beredar.
"Emang ya, urip iku ora ana sing bisa ngerti. Sapa sing nyangka yèn urip iki bisa ngganti kahanan kanthi cepet? Kadhang kala, sing biyèn sugih ora mesthi tetep sugih, sing biyèn ora duwe malah bisa dadi ana."
"Ya bener banget, Bu. Keluargane Mela kuwi biyen iku saksi kejayaan, pancen nganti kabeh wong padha ngajeni. Keluargane dadi panutan, uripe mewah, omahe gedhé, kabeh cukup. Nanging saiki, kok bisa dadi kaya ngene? Ibune sakit, Mela dhewe kudu nglakoake jamu keliling. Ya Gusti, kahanane wis banget malih."
"Ngono, ora ngerti piye carane kahanan bisa munggah lan mudhun. Nanging, yen dipikir-pikir, saka jaman biyen, Mela kuwi pancen keturunan sing mulya. Nanging kok saiki kudu ngalami lara kaya ngene? Ya mesthi ora gampang, anak wadon sing biyen bisa ngendhalèni urip, saiki malah kudu nglakoake jamu kanggo nguripi awake dhewe."
"Astaghfirullah, Bu. Iku wis dadi ujiané Gusti. Mung ngenteni wektu, nguripké wektu, saben dina kaya ngliwati badai. Ibu Mela sing biyen sarwo cukup, saiki malah kecemplung sakit, malah nggawé urip dadi luwih susah."
"Ngono kuwi, Bu. Kabeh iki wis ana jalane dhewe-dhewe. Nanging ora bisa dipungkiri, urip iku kaya ombak. Ana sing dhuwur, ana sing endhek. Kadang sing dhuwur dadi murung, sing endhek bisa ngalami angin seger. Mela wis ngerti piye uripe kudu tetep maju, sanadyan ora ana liyane sing bisa ngrewangi."
"Memang, ora kabeh sing kita kira bakal tetep kaya ngono. Nanging siji sing mesthi, ingkang paling penting yaiku sabar. Kabeh iki bakal dadi ujian, lan sing sabar mesthi bakal entuk berkah. Mungkin saiki Mela lagi ngalami kesulitan, nanging bisa wae ana berkah sing bakal teka saking sabarané."
"Udah-udah, Mela denger tu," kata salah satu ibu dengan suara agak keras, seolah mencoba menghentikan percakapan yang semakin panas. "Nggak usah terlalu dipikirin apa kata orang. Biarlah mereka bicara, urusanmu tetap urusanmu. Kudu sabar, Mela. Apa yang terjadi sekarang ya takdir, tapi ingat, ora kabeh tetep kaya ngene, Gusti Allah pasti duwe rencana sing luwih apik kanggo sampeyan."
Mela, yang sudah lama mendengar bisikan-bisikan itu, hanya bisa menundukkan kepala. Ia tahu orang-orang kampung bicara begitu bukan untuk menyakitinya, tapi kadang rasa kasihan itu memang terlalu besar untuk disembunyikan.
Mela sebenarnya tidak pernah marah ketika orang-orang kampung menceritakan dirinya, meskipun kata-kata itu sering kali terasa menusuk hatinya. Ia tidak pernah membantah apa yang mereka katakan, karena ia tahu bahwa mulut manusia tak akan pernah berhenti berbicara. Bagi Mela, cemoohan dan gosip itu adalah bagian dari kehidupan yang harus ia terima. Ia lebih memilih untuk diam, menyimpan segala perasaan dan kesedihan di dalam hati.
Setiap kali mendengar bisikan-bisikan itu, ia hanya tersenyum tipis dan melanjutkan langkahnya dengan sabar. Di dalam hatinya, Mela memahami bahwa tak semua orang bisa merasakan apa yang ia alami. Orang-orang kampung itu mungkin hanya berbicara karena kasihan, atau karena mereka tak tahu apa yang sebenarnya ada di balik senyumannya. Namun Mela tidak merasa perlu menjelaskan apa pun kepada mereka. Baginya, yang terpenting adalah tetap kuat dan tidak membiarkan apa yang orang lain katakan mempengaruhi dirinya.
"Biarlah mereka berbicara," pikir Mela dalam hati. "Aku tahu jalan hidupku, dan aku tahu apa yang aku lakukan."
***
"Assalamualaikum, Ibu, aku pulang," Mela menyapa dengan lembut sambil meletakkan bakul jamu di tempat yang biasa, di sudut ruang yang sederhana.
"Waalaikumsalam, Nak," jawab ibu Mela dengan suara lembut namun penuh kehangatan, meski tubuhnya tampak semakin rapuh. Ibu Mela yang telah lama sakit itu duduk di kursi kayu tua, menunggu kedatangan putrinya dengan sabar.
Mela menghampiri ibunya, matanya penuh perhatian. "Ibu sudah makan?" tanyanya, sambil memeriksa tempat nasi yang selalu ia letakkan di dekat meja, tempat ibunya biasanya makan.
"Ibu... kok ibu belum makan?" lanjut Mela, suaranya penuh kekhawatiran saat melihat bahwa makanan yang disiapkannya pagi tadi masih terletak di sana, tak tersentuh.
Ibu Mela tersenyum lemah, wajahnya nampak lesu, namun tetap berusaha menyembunyikan kelelahan. "Ah, Mela, ibu... ibu nggak nafsu makan," jawabnya pelan. "Nggak papa, Nak. Ibu sudah kenyang, kamu saja yang makan."
"Oh iya, Mela, piye kabarmu, kok? Jualan jamu mu, laku apa ora?"
"Alhamdulillah, buk, kabèh jamu sing tak bawa saka desa kabeh wus entek. Saweg rejeki lan pangapura saka Gusti Allah."
"Yaudah, Mela, kamu pasti capek kan? Kamu istirahat saja dulu ya, biar tubuhmu bisa segar lagi."
Mela hanya mengangguk pelan, merasa hangat dengan perhatian ibunya. Ia pun duduk di samping ibu, melepaskan lelah setelah seharian berkeliling desa. Dengan senyum yang lembut, ia berkata,
"Terima kasih, Buk. Aku istirahat sebentar, nanti aku buatkan makanan untuk ibu."
Ibu Mela hanya mengangguk dan mengusap kepala Mela dengan penuh kasih, sambil berkata,
"Jangan terlalu capek, Nak. Ibu senang melihatmu sehat, tapi jangan lupa jaga diri sendiri."
Mela tersenyum, mengangguk lagi, dan merebahkan tubuhnya sejenak. Di dalam hatinya, ia bersyukur meski hidup penuh perjuangan, namun kehangatan keluarga tetap menjadi kekuatan yang tak ternilai.