7 Jiwa yang dipertemukan dan bahkan tinggal di satu atap yang sama, Asrama Dreamer.
Namun, siapa sangka jika pertemuan itu justru membuat mereka mengetahui fakta yang tak pernah ketujuhnya sangka sebelumnya?.
hal apa itu? ikuti cerita mereka di What Dorm Is This
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raaquenzyy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20 (10 tahun lalu)
2 minggu kemudian.
Setelah kejadian yang menimpa ketujuh anak dari latar belakang keluarga berbeda itu, kini mereka tak pernah bertemu lagi. Ketujuhnya masih saling bertukar kabar, namun, hanya melalui telepon atau sekedar melakukan panggilan video.
Cakra, anak laki-laki itu masih terpuruk dengan keadaan. Ia memang berkata bahwa sudah ikhlas, namun, dalam lubuk hatinya rasa tidak rela itu masih ada. Kakaknya dinyatakan meninggal setelah 10 tahun lamanya menghilang.
Akhirnya setelah sekian lama takluk dalam ketakutan masing-masing, kini ketujuhnya memberanikan diri untuk datang kembali ke asrama tempat mereka harus melawan makhluk dan mengetahui berita buruk serta pengalaman yang tak bisa masuk dalam imajinasi seseorang.
"Nif!" Suara yang terdengar begitu familiar itu memasuki indera pendengaran Hanif. Sontak ia mengedarkan pandangannya, mendapati keenamnya yang sudah menunggu di depan rumah milik pak Danu.
"Gue telat?" tanyanya.
"Enggak, lagi nunggu mbah Tono, katanya lagi jemput seseorang. kita disuruh nunggu di sini." balas Reihan.
"Cak, murung mulu. Jangan dipikirin yang bikin lo sedih. Buat happy aja." tegur Hanif pada Cakra yang terus melamun.
Tubuh pria yang lebih muda terperanjat, lantas ia hanya tersenyum tipis. Berusaha menyingkirkan kesedihan yang terus menerus menghantui dirinya sendiri.
"Kalian sudah menunggu lama di sini?" Tubuh ketujuhnya berbalik, menatap mbak Tono dengan wanita berparas cantik. Surai hitam legamnya dan kulit putihnya menambah kesan menawan dalam diri wanita itu.
"Nggak lama kok, Mbah." balas Marvel tersenyum tipis.
Mbah Tono lantas memberi izin untuk mereka semua memasuki rumah pak Danu, langkah pria paruh baya itu memimpin diikuti dengan wanita cantik di sampingnya tadi, dan ketujuh anak laki-laki yang merupakan teman dari cucunya.
"Nak, kenalkan diri kamu pada mereka." ucap mbah Tono pada wanita itu, setelah mendudukkan dirinya pada salah satu sofa di rumah pak Danu.
"Halo, semuanya. Perkenalkan nama aku Prisa Almira Cahya. Kalian bisa panggil aku, kak Mira." sapa wanita cantik itu ramah. Sontak ketujuhnya hanya mengangguk dengan senyuman tulus.
"Kamu, adik Chandra, kan?" tanya Almira menunjuk Cakra. Sontak pria yang ditunjuk hanya mengangguk dengan senyum tipis. Matanya kembali terisi dengan cairan bening yang siap untuk berjatuhan kapan saja.
"Kalian semua pasti bertanya-tanya, kenapa Almira bisa tau tentang Chandra. Anak-anak, dulu Almira juga korban dari tragedi yang menimpa sekolah ini. Dulu Mbah cuma nemuin dia yang masih bernafas meskipun banyak luka, jadi Mbah memilih untuk menyelamatkan dia." jelas Mbah Tono.
"Aku akan ceritakan semuanya, apa yang terjadi hari itu sehingga semuanya berakhir seperti ini. Bahkan kalian semua ikut terlibat." ucap Almira.
Ketujuh anak laki-laki itu diam, menatap Almira dengan lekat berusaha mendengarkan dengan seksama kalimat yang akan keluar dari bibir wanita itu.
"Jadi..." Almira banyak menarik napas saat bercerita, merasa berat saat harus menceritakan sesuatu yang dapat membuatnya trauma dan terus-menerus memendam cerita.
26 Februari 2015
Suara bel terdengar memekakkan telinga, tanda kini mereka semua harus berlari menuju kantin sekolah untuk mengisi perut yang terus meraung meminta sesuatu.
Suara langkah kaki terdengar di taman belakang yang begitu sepi karena seluruh penduduk lebih memilih pergi ke kantin. Dari kejauhan, seorang laki-laki menatap gadis yang duduk di salah satu bangku taman dengan lekat. Langkahnya secara perlahan menghampiri gadis itu.
"Mira." Gadis itu menoleh, senyumnya terukir begitu mengetahui siapa seseorang yang baru saja memanggil namanya. "Kamu ngapain ke sini?" tanya Almira.
"Harusnya aku yang nanya, kamu ngapain ke sini sendirian? Nggak mau ke kantin aja, kamu nggak laper?" tanya pria dengan nama dada bertuliskan Chandra Elbara Nenderick.
"Aku lebih suka di sini. Liat deh, langit hari ini mendung tapi kelihatan indah banget kan?" tanya Almira, kepalanya mendongak. Menatap ke arah langit yang kini warna kebiruannya mulai terganti dengan warna abu-abu.
"Iya, indah." Bukannya menatap ke arah langit, Chandra justru menatap lekat ke arah Almira. Gadis yang terkenal sebagai primadona sekolah karena parasnya itu ternyata suka menyendiri dengan memperhatikan hal-hal kecil.
"Jatah pulang kemarin. Kamu kemana? Chandra?" tanya Almira mengalihkan atensinya pada pria di sampingnya.
"Aku pulang. Nemuin mama, papa sama Cakra. Aku pengen marah sebenernya karena jatah pulangnya dikit banget. Aku jadi nggak sempet ikut ngerayain ulang tahun papaku." Almira terkekeh mendengar Chandra yang menggerutu.
"Kamu kan bisa bantu doa demi keselamatan mereka, lagipula kamu marah juga nggak akan merubah apapun kan?" Almira kembali tertawa saat Chandra hanya mengangguk dengan wajah ditekuk.
"Tapi pada akhirnya kamu tetep seneng kan? Bisa ngelihat adik kamu?"
Chandra mengangguk antusias. "Dia makin tinggi, aku jadi sedih nggak bisa ngelihat perkembangannya."
"Nggak perlu sedih, setelah lulus dari sini kamu bisa sepuasnya ketemu sama Cakra. iyakan?" tanya Almira yang diberi anggukan oleh Chandra.
Setelah 15 menit saling menceritakan tentang keluarga masing-masing, akhirnya bel kembali berbunyi. Pertanda jika mereka semua harus kembali ke dalam kelas.
Di dalam kelas Almira merasakan sesuatu tak enak dalam dirinya, perasaanya terasa campur aduk. Ia tak tahu ada apa dengan dirinya sendiri, namun ia yakin jika ada sesuatu yang tak beres.
Hingga segerombolan pria bertutup muka memasuki ruang kelasnya memberikan jawaban atas apa yang ia pikirkan. Teman-temannya ditarik dan di seret keluar dari kelas.
Dalam kerusuhan yang terjadi, ia sibuk mencari Chandra. Berusaha memastikan jika pria itu baik-baik saja. Namun, dugaannya salah. Karena kini, Chandra ditarik oleh seseorang, Begitupun Almira. Keduanya dibawa menuju lantai pertama.
Teriakan histeris dan permintaan tolong seolah menjadi melodi dan lirik lagu yang memasuki telinga Almira. Ia dibawa berlawanan arah dengan Chandra, namun, ia masih dapat melihat pria itu dipukuli disana.
"CHANDRA!" teriak Almira saat melihat tubuh Chandra terus diberi luka oleh seseorang yang tak mereka kenali. Lebih parahnya lagi, pria yang memberikan luka itu justru mengambil barang-barang berharga seperti dompet, ponsel, dan cincin milik Chandra.
Penjahat yang membawa Almira tak tinggal diam, pria itu memukuli Almira dan mengukir sesuatu pada kulit tangan gadis itu dengan pisau. Membuat erangan Almira terdengar begitu pisau itu terasa menembus kulit putihnya.
Hingga akhirnya Almira tak sadarkan diri, tubuhnya di tendang dan barang berharganya diambil. Seseorang yang terakhir ia lihat adalah salah satu gurunya yang menyelamatkan dirinya, yaitu Mbah Tono.
Almira, Mbah Tono dan beberapa murid yang selamat bersembunyi. Berusaha menyelamatkan diri dari pria bajingan yang menyiksa mereka semua.
"Pak Tono, Chandra bagaimana pak?" tanya Almira begitu ia sadar jika Chandra tak ada di antara mereka semua.
Pak Tono menggeleng. "Dia sudah tiada, nak. Bapak nggak bisa merasakan napasnya tadi."
Buliran halus keluar dari kedua pelupuk mata Almira, tak menyangka jika Chandra meregang nyawa setelah beberapa menit lalu membicarakan tentang keluarganya.
Curang.
Kenapa Chandra harus pergi mendahuluinya? Seharusnya mereka pergi bersama-sama, kenapa Chandra harus meninggalkannya. Kakinya melemas seketika. Kenapa ia harus menghadapi kehilangan secepat ini?
Mbah Tono, Almira dan beberapa murid lainnya beruntung karena mereka berhasil selamat. Setelah kejadian itu, Almira sungguh terpukul, ia tak pernah bisa menerima jika Chandra telah tiada.
Namun, Almira bukan gadis lemah yang akan diam saja setelah melihat sahabatnya meregang nyawa. Seluruh kantor polisi ia datangi, namun tak ada yang percaya dan menganggap laporan dari Almira hanya rekaan semata.
Karena pihak polisi tak menemukan bukti apapun apalagi bekas tembakan, darah, ataupun mayat seluruh korban. Sayangnya, Almira tak mengetahui dimana para bajingan itu mengubur jasad teman-temannya sehingga laporannya tak di terima.
Masa kini.
"Tapi kak, apa hubungannya semua hal itu sama kami? Maksudku kalau ke Cakra dan Aji masih kelas alasannya tapi kami berlima? Kenapa ikut terlibat masalah ini?" tanya Marvel kebingungan.
"Itu karena kemungkinan kalian punya hubungan keluarga dengan salah satu pelaku." jelas Almira.
"Nggak mungkin, gimana kakak bisa ngomong gitu? Kakak berarti menyimpulkan kalau keluarga kami berlima nggak baik gitu? Kakak jangan mencoba menghasut Cakra dan Aji untuk benci kami, kak!" seru Reihan merasa tak terima dengan ucapan Almira.
Almira menghela napas. "Semua ini masih kemungkinan, tapi coba kalian pikirkan. Apa alasan para makhluk ikut mengincar kalian kalau memang semua. Itu nggak ada hubungannya sama kalian. Kalau alasan yang kalian pikirkan itu tentang kalian berlima tinggal satu asrama dengan Cakra dan Aji jelas itu salah. Karena pastinya makhluk itu juga akan datangi kakak karena kakak ada disana waktu kejadian itu."
"Coba selidiki dulu, ya? Demi teman kalian. Dan demi ketenangan jiwa para korban di atas sana." tutur Mbah Tono.
Kini Marvel, Reihan, Noah, Hanif dan Nando berharap jika apa yang diperkirakan oleh Almira dan Mbah Tono adalah kesalahan. Mereka berharap jika keluarga mereka tak ada hubungannya dengan semua ini.