NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 : Tantangan Luna

Hari ujian tengah semester di Imperial Highschool tiba dengan suasana yang tidak terlalu meriah, setidaknya bagi murid-murid kelas 320. Tidak ada semangat membara atau ambisi membangun prestasi—yang ada hanya wajah-wajah bosan, menguap, dan beberapa ekspresi pasrah seakan berkata, "Apa pun hasilnya, hidup tetap berjalan."

Ketika kabar bahwa Bu Matilda, guru kelas 301 yang terkenal angkuh, akan mengawasi ujian mereka, suasana menjadi lebih suram. Freya bahkan berbisik ke Luna, “Dia pasti bakal nyindir kita sepanjang ujian. Aku udah siap mental untuk dihina, tapi fisik belum.” Luna hanya menepuk bahu Freya dengan tatapan malas.

Bu Matilda melangkah masuk ke kelas dengan aura seperti ratu yang baru saja menang perang. Sepatunya berderap lantang, dan pandangannya menyapu ruangan seperti elang mencari mangsa. "Hmph, kelas 320. Kelas yang tidak memiliki harapan sama sekali" katanya dengan nada merendahkan.

Setiap murid menggeliat di kursinya, berusaha menghindari tatapan Bu Matilda. Luna, yang duduk di pojok, hanya mengangkat bahu, seolah ini bukan sesuatu yang patut dipikirkan. Ketika soal ujian dibagikan, suasana semakin tegang. Tapi Luna? Dia terlihat santai, bahkan mulai menjawab soal dengan santai seperti sedang menyelesaikan teka-teki silang di koran.

Hanya dalam 30 menit, Luna selesai. Ia mengangkat tangannya, memberikan kertas jawaban kepada Bu Matilda, lalu berdiri. “Permisi, Bu. Saya selesai,” katanya santai.

Bu Matilda menatapnya tajam, sudut bibirnya menyeringai kecil. “Kau yakin, sudah selesai? Kau pasti hanya asal menjawab saja kan?”

Luna menatap balik dengan tatapan datar. “Saya hanya ingin cepat makan siang, Bu.” Lalu ia berlalu begitu saja, meninggalkan Bu Matilda yang berdecak kesal.

Beberapa hari kemudian, hasil ujian diumumkan. Seperti biasa, murid kelas 320 tidak peduli, kecuali Freya yang sibuk menghitung kemungkinan lulus dengan kalkulator di tangannya. Namun suasana berubah ketika mereka membaca pengumuman juara di papan pengumuman yang terletak di auditorium sekolah.

“Juara pertama ujian tengah semester kali ini adalah... Luna Harrelson dari kelas 320.” kata salah satu murid.

Seluruh sekolah seakan membeku. Bahkan burung di pohon depan sekolah mungkin berhenti berkicau. Jackie, yang selalu menjadi juara pertama, tampak seperti baru saja kehilangan mahkota Miss Universe-nya. Dan Bu Matilda? Mukanya berubah seperti tomat yang hampir meledak.

Desas-desus mulai beredar di seluruh sekolah. “Luna pasti curang!” adalah teori yang paling populer, dipelopori oleh Clara sendiri yang disetujui oleh Bu Matilda. Tidak butuh waktu lama bagi Matilda untuk menyeret nama Luna ke hadapan para guru dan murid yang berkumpul di auditorium, menuntut dia dikeluarkan dari sekolah. “Anak itu mencemarkan nama baik Imperial Highschool! Dia jelas-jelas curang, mana mungkin dia mendapatkan nilai sempurna di hampir setiap mata pelajaran!!” serunya dengan penuh semangat, seperti seorang jaksa di ruang pengadilan.

Di auditorium besar yang dipenuhi siswa dan guru, suasana semakin memanas. Clara maju dengan wajah sok polosnya. “Kak, aku tahu kau tidak begitu pintar. Tapi berbuat curang saat ujian... bukankah itu sangat memalukan? Lebih baik kau mengaku saja sebelum semuanya menjadi lebih buruk,” katanya dengan nada manis yang dibuat-buat, tapi cukup untuk membuat siapa pun mual.

Luna, yang duduk dengan tenang di tengah kerumunan, hanya tertawa kecil. Tawa sinis itu membuat aula menjadi senyap. Ia berdiri dan menatap Clara dengan pandangan menusuk yang membuat adiknya itu langsung menelan ludah. “Baiklah,” kata Luna dengan nada santai, “Kalau memang saya terbukti curang, saya bersedia dikeluarkan dari sekolah.”

Kerumunan mulai bergumam, tapi Luna belum selesai. “Tapi jika saya ternyata tidak curang, saya ingin Bu Matilda dan murid-murid yang menuduh saya dikeluarkan dari sekolah karena mencemarkan nama baik saya. Bagaimana? Deal?”

Bu Matilda, yang tampak seperti ular kobra yang sedang marah, melangkah maju. “Kau pikir aku takut? Aku yakin kau curang!” serunya dengan nada penuh keyakinan. “Aku terima tantanganmu! Kau harus mengikuti ujian ulang dan menjawab soal-soal di hadapan semua guru dan murid!”

Luna mengangkat bahu, ekspresinya santai seolah tidak peduli. “Oke, tidak masalah. Keluarkan semua soal kalian,” jawabnya enteng, membuat kelas 320 bersorak seperti sedang menonton final sepak bola.

Dan ketika Luna berjalan kembali ke tempat duduknya, dia tersenyum lebar pada Freya, lalu berbisik pelan. “Ini akan menyenangkan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi.”

...****************...

Ketegangan di ruang ujian terasa hampir bisa dipotong dengan pisau. Guru-guru yang duduk di meja depan memandang serius ke arah Luna, yang seakan tidak terbebani sedikit pun dengan tumpukan soal ujian dadakan yang baru saja dibagikan. Mereka semua tahu, soal-soal ini bukan soal sembarangan. Ini soal ujian yang dirancang untuk menantang bahkan murid-murid terbaik di sekolah, setara dengan soal ujian masuk universitas! Tapi Luna? Dia malah duduk santai, satu tangan di belakang kepala, tangan lainnya bergerak lincah menulis jawaban dengan kecepatan yang membuat mata guru-guru hampir tidak mampu mengikuti.

Begitu Luna selesai, dia mengangkat tangan, menandakan bahwa dia telah selesai dengan urusannya—sementara teman-temannya masih sibuk mencoret-coret kertas seperti mereka sedang menulis novel. Guru-guru melirik sesama mereka dengan wajah cemas, kemudian memeriksa lembar jawaban Luna di tempat. Matematika: nilai sempurna. Fisika: nilai sempurna. Biologi: nilai sempurna. Satu per satu diumumkan dengan suara yang makin terkejut, membuat Bu Matilda hampir menjatuhkan kacamatanya saking terkejutnya.

"W-what?" Bu Matilda terbatuk pelan, suaranya tercekat. "Bagaimana bisa?" tanyanya, tidak percaya. "Bukankah dia selalu berada di peringkat terbawah di sekolah lamanya?"

Tiba-tiba salah satu guru bahasa mengacungkan tangannya, "Luna, kenapa kau tidak mengisi jawaban untuk soal essai ini. Kalau kau mengisinya, kau juga akan mendapat nilai sempurna" tanyanya.

"Ah, aku tidak suka menulis essai panjang. Jadi aku selalu melewatinya. Menulisnya hanya akan membuat tanganku lelah" jawab Luna dengan santainya.

Seluruh kelas terdiam, mata mereka semua kini tertuju pada Bu Matilda yang wajahnya semakin memucat, seolah-olah baru saja melihat hantu. Sementara itu, Clara, yang duduk di belakang, tidak bisa menahan ekspresinya. Bibirnya hampir berbuih saking geramnya. "Bagaimana bisa? Padahal aku berharap dia dikeluarkan dari sekolah" gumam Clara, tidak terima.

Luna, yang dengan santai sudah selesai dan siap untuk kembali ke kelasnya, berdiri dan melangkah dengan percaya diri menuju Bu Matilda. Dengan langkah yang tenang dan penuh percaya diri, Luna berdiri tepat di hadapan Bu Matilda dan berkata, "Menjadi peringkat terbawah bukan berarti aku bodoh, Bu. Aku hanya malas, malas untuk menjawab soal yang terlalu mudah."

Seluruh ruangan terdiam. Seolah-olah waktu berhenti sejenak. Luna kemudian berbalik dan menatap Pak Wallace yang sedang mengusap keringat dingin, mencoba mengendalikan situasi yang semakin tidak terkendali. "Jadi, kakek tua," Luna melanjutkan, "Kau akan mengeluarkan dia dari sekolah ini kan? Termasuk murid-murid yang menuduhku curang?"

Pak Wallace menggelengkan kepala, tangannya gemetar sedikit. “Murid macam apa yang aku bawa kemari,” batinnya, hampir bisa mendengar suara langkah kaki dirinya yang semakin cepat menuju kehancuran reputasi.

Luna menyeringai dan menunggu jawaban Pak Wallace dengan sabar. Namun, Pak Wallace, yang semakin tertekan, akhirnya berbicara dengan suara berat, "Luna, aku rasa, mengeluarkan mereka itu agak berlebihan. Bagaimana kalau mereka meminta maaf padamu di hadapan semua orang? Aku yakin mereka menyesali perbuatan mereka yang menuduhmu curang."

Luna memandang Pak Wallace dengan ekspresi yang tidak bisa disebutkan. "Minta maaf?" katanya, mulutnya melengkungkan senyum jenaka. "Baiklah, karena aku menghargai anda. Aku tidak akan menuntut mereka dikeluarkan, lagipula tidak ada untungnya bagiku, mereka dikeluarkan atau tidak"

Seisi ruangan terdiam, kecuali suara Clara yang bergetar. “Lunaa..... Aku tidak akan membiarkanmu mengalahkanku!!!” suara Clara yang gemetar hampir tidak terdengar oleh telinga orang biasa, tetapi cukup keras bagi Luna untuk menatapnya dengan tatapan ‘Aku tidak peduli.’

Di depan auditorium yang penuh dengan siswa dan guru, Luna hanya berdiri, santai dan tenang, sambil menunggu jawaban yang dia tahu akan datang—bahkan sebelum mereka sempat meminta maaf.

Suasana di aula besar itu hampir seperti panggung drama yang ditonton seluruh sekolah. Bu Matilda, dengan wajah merah padam antara malu dan marah, maju ke depan diikuti beberapa murid lain yang sebelumnya vokal menuduh Luna. Wajah mereka semua tampak seperti baru saja mengunyah lemon—asam dan penuh penyesalan. Dengan suara yang tidak lebih keras dari desahan angin, mereka menyatakan permintaan maaf di hadapan Luna.

"Maafkan kami...Karena sudah menuduhmu mencontek tanpa bukti" kata mereka dengan nada datar, meski ada kilatan kesal yang tidak bisa disembunyikan dari mata Bu Matilda.

Bagi Bu Matilda, ini adalah penghinaan terbesar dalam sejarah panjang karirnya sebagai guru. Namun, bagi Luna, ini adalah momen kemenangan yang tiada tara. Luna berdiri di tengah aula, menyilangkan tangan di dada, dengan senyum yang begitu puas seolah-olah dia baru saja memenangkan lotre terbesar dalam hidupnya. Ini bukan sekadar permintaan maaf. Ini adalah bukti nyata bahwa dia, seorang murid baru dari kelas terburuk, berhasil menginjak-injak harga diri orang-orang yang pernah merendahkannya.

Setelah menghirup udara kemenangan itu, Luna berbicara dengan suara lantang yang menggema di seluruh aula, "Ini hanya awal." Dia melirik ke arah Bu Matilda dengan tatapan penuh percaya diri. "Kalian akan melihat kejutan-kejutan lain dari kelas 320. Kelas kami akan masuk ke dalam peringkat 10 besar kelas terbaik di ujian akhir semester tahun ini."

Seluruh aula terdiam. Murid-murid dari kelas lain mulai berbisik, sementara siswa kelas 320, yang selama ini dikenal sebagai kumpulan biang onar, melongo. Beberapa dari mereka hampir tersedak oleh pernyataan Luna. "Peringkat 10 besar?" bisik seorang siswa di belakang. "Kita bahkan belum pernah masuk peringkat!"

Namun, di antara semua orang, Bu Matilda yang paling cepat bereaksi. Dia tersenyum sinis, senyuman khas yang penuh ejekan dan tantangan. "Oh, kau mungkin bisa melakukannya sendiri, Luna," katanya dengan nada penuh sindiran. "Tapi apa kau yakin teman-temanmu bisa? Mereka hanya murid pembuat onar yang bahkan tidak bisa memecahkan soal kalkulus sederhana." Matilda menatap para siswa kelas 320, dan ekspresinya jelas mengatakan bahwa dia tidak menganggap mereka lebih dari sekumpulan pecundang.

Ucapan itu seperti menyiram bensin ke api semangat para siswa kelas 320. Alih-alih terpuruk, mereka malah bersorak dengan penuh semangat. "Jangan meremehkan kami!" teriak salah satu dari mereka. "Kami akan membuktikan kalau kelas 320 bukan kelas rendahan seperti yang Anda bilang!" Suara sorakan mereka memenuhi aula, membuat beberapa siswa dari kelas lain mulai merasa tertarik dan bertepuk tangan.

Di tengah keramaian itu, Bu Evelyn, wali kelas 320, melangkah maju dengan senyum bangga. Dia menepuk pundak Luna dan menghadapi Bu Matilda dengan tatapan tegas. "Saya akan memastikan peringkat kelas kami naik, Bu Matilda," katanya dengan nada percaya diri. "Murid-murid saya mungkin dikenal nakal, tapi mereka juga punya potensi luar biasa. Dan saya akan mendukung mereka sepenuhnya."

Bu Matilda hanya mendengus kecil. "Kita lihat saja nanti," katanya sebelum berbalik dan pergi, diikuti oleh beberapa guru lain yang tampak sedikit ragu apakah mereka harus memihak Matilda atau mulai percaya pada keajaiban Luna dan kelas 320.

Luna melirik teman-teman sekelasnya, lalu tersenyum kecil. "Kita mulai sekarang," katanya dengan nada santai. "Jangan harap kalian bisa bersantai setelah ini, atau aku akan menghajar kepala kalian."

Dan di saat itu, kelas 320 yang biasanya penuh dengan obrolan santai, gumaman bosan, dan ketidakpedulian, tiba-tiba berubah menjadi sekumpulan murid dengan semangat membara. Apa yang baru saja mereka setujui? Bahkan mereka sendiri tidak yakin. Tapi satu hal yang pasti: Luna telah menyalakan api yang tidak bisa dipadamkan.

...****************...

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!