Li Shen, murid berusia 17 tahun dari Sekte Naga Langit, hidup dengan dantian yang rusak, membuatnya kesulitan berkultivasi. Meski memiliki tekad yang besar, dia terus menjadi sasaran bully di sekte karena kelemahannya. Suatu hari, , Li Shen malah diusir karena dianggap tidak berguna. Terbuang dan sendirian, dia harus bertahan hidup di dunia yang keras, mencari cara untuk menyembuhkan dantian-nya dan membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar seorang yang terbuang. Bisakah Li Shen bangkit dari keterpurukan dan menemukan jalan menuju kekuatan yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chp 22
Hari itu, suasana kediaman utama Klan Feng terasa tenang hingga seorang pengintai tiba dengan napas terengah-engah. Dengan penuh hormat, ia membungkuk di depan Li Shen dan Feng Lian di ruang utama.
“Tuan Li Shen, Nona Feng Lian,” katanya dengan nada rendah. “Hamba membawa kabar mendesak.”
Li Shen memandang pengintai itu dengan tenang. “Bicara,” perintahnya singkat.
“Ada sekelompok kecil dari sebuah fraksi, jumlah mereka sekitar lima puluh orang, yang telah berkumpul di Bukit Tianhe dekat perbatasan Guangling,” lapor pengintai itu. “Mereka mengklaim bahwa wilayah ini adalah hak mereka, dan tampaknya mereka sedang merencanakan serangan.”
Feng Lian mengernyitkan dahi. “Lima puluh orang? Apakah mereka memiliki seorang pemimpin yang kuat?” tanyanya.
“Mereka dipimpin oleh seorang kultivator ranah pengumpulan energi, Tuan. Namun, menurut penilaian hamba, mereka sepertinya tidak sadar akan kekuatan Klan Feng.”
Li Shen tersenyum tipis, lalu berdiri. “Lima puluh orang, bahkan dengan pemimpin yang sedikit lebih kuat, bukanlah ancaman. Namun, kita perlu memberikan peringatan yang jelas agar tidak ada yang berani meremehkan Guangling lagi.”
Feng Lian memandang Li Shen dengan rasa hormat. “Li Shen, apakah Kamu akan menghadapi mereka sendiri?”
“Tentu saja,” jawabnya tenang. “Ini akan menjadi pelajaran bagi siapa pun yang berniat melanggar wilayah kita.”
Di Bukit Tianhe...
Di puncak Bukit Tianhe, lima puluh orang dari fraksi kecil itu berdiri dalam kelompok, memandang ke arah Kota Guangling dari kejauhan. Pemimpin mereka, seorang pria bertubuh besar dengan jubah hitam, memandang dengan senyum penuh keyakinan.
“Kota ini kosong dari kekuatan yang berarti,” katanya lantang kepada pengikutnya. “Kita akan mengambil alihnya dalam sekejap!”
Namun, sebelum ia melanjutkan pidatonya, udara di sekitar bukit berubah. Langit yang sebelumnya cerah mendadak gelap, dan angin dingin mulai berhembus.
“Tuan Pemimpin!” salah satu pengikutnya berseru sambil menunjuk ke kejauhan. “Ada seseorang di sana!”
Di puncak tebing di seberang bukit, Li Shen berdiri dengan pedang emas di tangannya, jubahnya berkibar diterpa angin. Matanya memandang tajam ke arah kelompok itu.
“Para pengecut dari fraksi kecil,” serunya, suaranya bergema di udara. “Kalian telah membuat kesalahan besar dengan mengancam Kota Guangling.”
Pemimpin fraksi itu melangkah maju dengan senyum mengejek. “Hanya seorang diri? Kau pikir bisa mengalahkan kami?”
Li Shen mengangkat pedangnya perlahan, cahaya emas yang terang memancar dari bilahnya hingga membuat semua orang di bukit itu mundur selangkah.
“Dengan pedang ini,” kata Li Shen, “aku akan menunjukkan kepada kalian kekuatan yang melindungi Guangling.”
Ia mengarahkan pedangnya ke langit, dan energi besar mulai terkumpul. Dalam sekejap, bayangan pedang emas raksasa sebesar gunung muncul di udara, memancarkan aura yang sangat menakutkan.
Semua orang di bukit itu terdiam. Pemimpin mereka, yang sebelumnya penuh percaya diri, kini memandang Li Shen dengan wajah pucat.
Li Shen mengayunkan pedangnya ke arah bukit tanpa berkata sepatah kata pun. Pedang cahaya emas itu meluncur dengan kecepatan luar biasa, menghantam bukit Tianhe dengan kekuatan dahsyat.
"BOOOMMM!!"
Ledakan besar mengguncang tanah, dan bukit itu runtuh dalam sekejap. Batu-batu besar hancur berkeping-keping, meninggalkan dataran yang rata. Para anggota fraksi kecil itu terhempas oleh gelombang energi, sementara pemimpin mereka jatuh berlutut dengan tubuh gemetar.
Li Shen menurunkan pedangnya, menatap dingin ke arah mereka yang tersisa. “Kalian masih hidup hanya karena kemurahan hatiku. Sebarkan pesan ini: Kota Guangling tidak akan pernah tunduk pada siapa pun.”
Ia berbalik dan pergi, meninggalkan kelompok itu dalam kehancuran dan ketakutan.
Ketika Li Shen kembali, Feng Lian sudah menunggunya di halaman utama. “Li Shen, aku telah mendengar apa yang terjadi. Tindakanmu pasti akan membuat semua fraksi berpikir dua kali sebelum mencoba menyerang.”
Li Shen mengangguk. “Itu untuk peringatan, agar orang-orang bodoh tidak berani menginjakkan kaki ke kota ini.”
Feng Lian menatapnya dengan kekaguman yang semakin mendalam. Dalam hatinya, ia tahu bahwa bersama Li Shen, masa depan Guangling akan tetap aman dari ancaman mana pun.
---------
Setelah enam bulan yang penuh perjuangan, Kota Guangling telah berubah menjadi benteng yang tangguh. Berkat bimbingan Li Shen, Klan Feng dan para kultivator di sekitarnya telah tumbuh menjadi kekuatan yang sulit ditandingi. Namun, di balik semua kemajuan itu, hanya sedikit yang tahu bahwa Li Shen memiliki rencana untuk pergi.
Di sore yang tenang, Feng Lian mendapati Li Shen duduk di salah satu tebing yang menghadap Kota Guangling. Langit mulai memerah, memancarkan cahaya lembut yang memantulkan ke permukaan sungai di kejauhan.
“Li Shen,” panggil Feng Lian saat dia mendekat.
Li Shen melirik sekilas, lalu kembali menatap horizon. “Kau datang lagi? Bukankah ini waktu latihanmu?”
“Aku selesai lebih awal,” jawab Feng Lian sambil duduk di sampingnya. “Apa yang kau pikirkan, duduk di sini sendirian?”
Li Shen terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku sedang berpikir, sudah saatnya aku pergi.”
Feng Lian membeku. Kata-kata itu terasa seperti pukulan di dadanya. “Pergi? Kenapa? Bukankah kau sendiri yang bilang kota ini belum sepenuhnya stabil?”
“Aku sudah melakukan bagianku,” jawab Li Shen santai. “Guangling sekarang cukup kuat. Kau dan orang-orang Klan Feng bisa mengurus sisanya.”
“Tapi—” Feng Lian menggigit bibirnya, menahan emosinya. “Kau tidak bisa begitu saja pergi. Semua orang di sini bergantung padamu. Aku… aku bergantung padamu.”
Li Shen menoleh padanya. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tajam namun lembut, seperti seseorang yang ingin mengatakan sesuatu tapi memilih menahan diri. “Feng Lian, kau lebih kuat dari yang kau pikirkan. Kau tidak membutuhkan aku untuk terus maju.”
“Tapi aku tidak ingin kau pergi,” kata Feng Lian dengan suara pelan, hampir berbisik.
Li Shen menghela napas panjang. Ia tahu percakapan ini akan terjadi, tapi tetap saja, menghadapi Feng Lian seperti ini bukan hal yang mudah. “Feng Lian, aku bukan bagian dari tempat ini. Aku datang untuk sebuah tujuan, dan itu sudah selesai. Ada hal lain di luar sana yang harus kulakukan.”
Malam itu, sebelum pergi, Li Shen menemui Feng Lian di halaman belakang kediaman keluarga Feng. Feng Lian duduk di bawah pohon tua, tampak termenung.
“Kau masih di sini?” tanya Li Shen sambil bersandar pada batang pohon.
“Apa kau benar-benar harus pergi?” Feng Lian menatapnya dengan mata yang sedikit memerah.
“Aku harus,” jawab Li Shen singkat.
Feng Lian menggenggam sesuatu di tangannya—sebuah liontin kecil yang pernah diberikan oleh ayahnya. “Kau tahu? Sebelum kau datang, aku selalu merasa kota ini tidak punya harapan. Tapi sejak kau ada di sini… semuanya terasa berbeda. Kau membuatku percaya bahwa aku bisa lebih dari sekadar gadis biasa di Klan Feng.”
Li Shen terdiam. Kata-kata itu menyentuh sesuatu dalam dirinya, tapi ia tahu ia tidak bisa tinggal.
“Feng Lian, kau sudah berubah. Kau lebih kuat dari yang kau kira. Kota ini membutuhkan seseorang seperti dirimu—seseorang yang tahu cara melindungi orang-orangnya.”
Feng Lian berdiri, mendekat padanya. “Tapi siapa yang akan melindungi aku?”
Li Shen menatapnya, lalu perlahan mengangkat tangannya, menepuk kepala Feng Lian dengan lembut. “Kau tidak perlu aku untuk itu. Kau bisa melindungi dirimu sendiri. Dan jika sesuatu terjadi… ingatlah, aku pernah ada di sini untuk menunjukkan jalan.”
Air mata mengalir di pipi Feng Lian. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Saat matahari pertama kali menampakkan diri di cakrawala, gerbang kota Guangling masih sepi. Li Shen berjalan perlahan menuju batas kota dengan pedang tergantung di punggungnya, angin pagi berhembus dingin, membawa aroma lembut embun.
Namun, sebelum ia benar-benar melewati gerbang, suara langkah tergesa-gesa menghentikannya.
“Li Shen!” teriak Feng Lian dari belakang.
Li Shen berbalik, sedikit terkejut. Feng Lian berlari mendekat, napasnya tersengal, dan sebelum ia sempat berkata apa pun, gadis itu memeluknya erat.
“Jangan pergi,” kata Feng Lian dengan suara yang bergetar. “Aku tahu kau punya alasanmu, tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja.”
Li Shen terdiam. Pelukan itu terasa hangat, namun juga dipenuhi dengan kesedihan. Ia meletakkan tangannya di pundak Feng Lian, berusaha melepaskannya dengan lembut. “Feng Lian, ini bukan perpisahan untuk selamanya.”
Feng Lian menggeleng, matanya yang penuh air mata menatap langsung ke arah Li Shen. “Kalau begitu, berjanjilah padaku. Berjanjilah kalau kau akan kembali. Aku tidak peduli kapan, tapi aku ingin tahu bahwa kau akan kembali ke sini, ke kota ini… kepadaku.”
Li Shen menatap Feng Lian dalam-dalam. Kata-katanya sederhana, namun penuh dengan emosi yang sulit diungkapkan. Ia mengangguk perlahan. “Aku berjanji, Feng Lian. Suatu hari nanti, jika semuanya selesai, aku akan kembali ke sini.”
Feng Lian terisak, namun senyumnya samar mulai muncul. “Jangan lupa. Aku akan menunggumu.”
Li Shen menyentuh pipi Feng Lian sejenak, lalu dengan lembut melepaskan dirinya dari pelukan itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melanjutkan langkahnya.
Feng Lian memegang liontin kecil yang sebelumnya ia berikan kepada Li Shen, kini dikembalikan padanya sebagai tanda perpisahan.
Dengan suara bergetar, Feng Lian berbisik pada dirinya sendiri, “Li Shen… aku akan menunggu saat kau kembali. Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.”
gq nyqmbung bahasa bart nya..
pantas ga ada yg baca