Surat keterangan infertil dari rumah sakit, membuat hidup Anyelir seketika hancur. Tidak ada kebanggaan lagi pada dirinya karena kekurangan tersebut. Namun sebuah kesalahan semalam bersama atasannya, membuat dia hamil. Mungkinkah seorang wanita yang sudah dinyatakan mandul, bisa punya anak? Atau ada sebuah kesalahan dari surat keterangan rumah sakit tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TATM BAB 23
Anye tersenyum sekaligus ingin menangis. Apa wajahnya terlihat begitu menyedihkan, hingga Sagara tahu jika rumah tangganya tak baik-baik saja? "Gak profesional," ia melepas jas milik Gara, mengembalikan pada pria itu lalu berjalan kembali, meninggalkan Sagara yang masih diam.
Sagara sempat ingin menyerah mendapatkan Anye, namun tahu wanita itu tak bahagia, tekadnya kembali berkobar untuk merebut. Ia berlari, menyusul Anye yang sudah lumayan jauh. Sekali lagi, menyampirkan jas di kedua bahu wanita itu.
"Apaan sih," Anye berusaha menolak, tapi Gara menahan agar jas tersebut tetap berada di bahu Anye.
"Dingin banget udaranya. Takut kamu hipotermia."
"Lebay."
Sagara tergelak, dia tak lagi memegangi jas, karena Anye sudah tak berusaha untuk melepasnya. Keduanya terus menyusuri trotoar, sampai kaki Anye terasa pegal, melipir ke sebuah kursi panjang yang ada di trotoar.
"Lepas aja heels nya kalau capek," Sagara menatap heels cantik yang melekat di kaki Anye.
"Atau mau pakai sepatu aku?"
"Gak usah."
Sagara ikut duduk di sebelah Anye, menyisakan jarak sedikit karena tahu Anye akan marah kalau dia terlalu dempetan.
"Lupain aku, Ga," ujar Anye lirih, menatap ke depan, memperhatikan lalu lalang kendaraan.
"Gak mau. Aku siap nunggu kamu."
"Kamu gak akan bahagia sama aku," mata Anye mulai memanas. "Aku wanita mandul, Ga, wanita gak sempurna," air matanya perlahan mulai menetes.
"Sejak kapan kesempurnaan dinilai dari bisa tidaknya seorang wanita untuk melahirkan anak."
"Memang tidak, tapi kamu bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari pada aku."
"Kamu yang terbaik."
"Enggak," Anye menggeleng, menutup matanya yang berair dengan telapak tangan. "Aku hanya wanita gak guna, yang gak bisa memberikan keturunan."
"Aku gak butuh keturunan, aku butuh kamu."
"Enggak. Kamu berhak bahagia."
"Bahagiaku ada pada kamu."
"Enggak," Anye terus menggeleng. "Kalau pun aku bercerai dengan suamiku, aku tidak akan pernah menikah lagi. Aku tidak mau egois, dengan membuat seorang laki-laki, hidup tanpa keturunan karenaku. Cukup aku saja yang menanggung semua ini, sendiri."
Sagara memberanikan memegang tangan Anye, awalnya di tolak, tapi setelah dia paksa, akhirnya Anye menyerah, membiarkan tangannya berada dalam genggaman Gara.
"Aku siap hidup bersama kamu selamanya, meski tanpa kehadiran seorang anak. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku sama kamu, berdua. Hanya berdua, Nye, aku sama kamu. Berpisahlah dengan suami kamu, menikahlah denganku."
"Menikah itu bukan hanya 2 orang, tapi dua keluarga," Anye menatap ke arah Sagara. "Kamu bisa menerima aku, tapi keluarga kamu belum tentu."
"Aku bisa membujuk mereka," Sagara berusaha meyakinkan.
Anye menggeleng cepat. "Lupakan aku, kamu berhak mendapatkan yang lebih naik."
"Nye.. "
Anye terus menggeleng. "Kalau kamu terus seperti ini, aku akan resign."
Ancaman yang membuat Gara tak bisa lagi berkata-kata. Mereka kembali ke hotel, masuk ke kamar masing-masing dengan perasaan berkecamuk.
Anye menatap ponsel yang terasa sepi karena seharian Robby tak menghubungi. Tekatnya sudah bulat, sesampainya di Jakarta nanti, dia akan mengajukan gugatan cerai pada Robby. Dia sudah lelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Robby. Cepat atau lambat, dia yakin Robby akan menikah lagi. Daripada makin terluka, lebih baik menyerah lebih dulu. Ia tak mau menggantungkan kebahagiaan pada siapapun lagi, dia sendiri yang akan memperjuangkan kebahagiannya.
Keesokan harinya, Anye bangun dengan perasaan lebih lega meski matanya bengkak akibat semalaman menangis. Dia segera siap-siap karena pagi ini, harus menemani Sagara meeting dengan kepala pabrik dan beberapa orang lainnya.
"Tidurmu nyenyak?" tanya Sagara saat mereka dalam perjalanan menuju pabrik.
"Lumayan. Kamarnya sangat bagus, mustahil tak bisa tidur," Anye malah mencoba untuk berkelakar.
Jika kemarin Anye kurang konsentrasi saat bekerja, hari ini dia bisa lebih konsen. Sepertinya dia memang harus mengutamakan kesehatan mentalnya saat ini, mencintai diri sendiri agar lebih bahagia dan memancarkan aura positif. Berserah diri, melepaskan beban hidup, ternyata mampu membuat setengah sesak di dadanya hilang.
Setelah meeting, Sagara mengajak Anye ke tempat makan favoritnya di Surabaya. Disana menjual aneka sego sambel yang sangat nikmat sekaligus mencari oleh-oleh karena besok pagi, mereka akan kembali ke Jakarta.
"Cobain bandeng asap, enak banget, kesukaan mamaku." Sagara memesan sego sambel dengan lauk bandeng asap dan beberapa ikan lain untuk dimakan bersama Anye. "Setelah makan, kita cari oleh-oleh." Kemarin mamanya pesan beberapa makanan untuk diberikan pada Stella mumpung gadis itu sedang ada di Jakarta saat ini.
Berbeda dengan Sagara yang membeli banyak sekali oleh-oleh, Anye justru tak membeli apapun.
"Gak beli buat suami dan mertua?"
Anye menggeleng. "Enggak." Ngomongin suami, dia jadi keingat Robby. Hari ini Robby dan keluarganya ke rumah Sera, mereka pasti sudah seneng-seneng, ngapain juga dia repot membelikan oleh-oleh. Toh Robby juga gak ingat sama sekali padanya, buktinya gak mengabari, bahkan WA nya gak dibalas.
Sembari menunggu Sagara milih oleh-oleh, Anye scroll status WA. Tubuhnya mendadak kaku dan ponselnya terjatuh saat melihat status WA Raisa.
Dia memposting foto tangan laki-laki dan wanita yang mengenakan cincin pernikahan.
[ Samawa Mas, semoga until jannah ]
lumayan bisa di goreng di masukan ke toples konguan pasti msma embun suka