Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan yang mulai tumbuh
Hari itu, Maya mendatangi Arga di ruang kerjanya, membawa dokumen sebagai alasan untuk bisa menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Di tengah percakapan mereka, Maya dengan penuh rasa ingin tahu bertanya tentang rara si pegawai baru, sebelum menuju ruangan arga, ia bertemu dengan clara dan clara memprovokasi maya sebab rara sering mengganggu arga “Arga, aku dengar ada seorang karyawan baru di perusahaanmu yang cukup menarik perhatian. Kau tahu sesuatu tentang dia?”
Arga, yang awalnya enggan membahas hal ini, akhirnya menghela napas panjang. "Iya, dia istriku," ucapnya datar.
Maya membelalakkan matanya.ternyata Rara adalah istri arga "Apa? Kau membiarkan istrimu bekerja di perusahaanmu? Bukankah itu tidak pantas?"
Arga menatap Maya dengan pandangan tajam. "Apa yang pantas atau tidak, itu bukan urusanmu, Maya. Aku menghormati pilihannya untuk bekerja, dan aku mendukungnya. Lagipula, dia ingin bekerja sebagai karyawan biasa, tanpa ada perlakuan khusus."
Maya mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan emosinya. "Jadi, kau benar-benar membiarkan dia bekerja di sini? Di antara semua orang yang mungkin tahu tentang kalian?"
"Dia cukup mampu untuk mengatasi itu," jawab Arga dingin. "Dan aku percaya padanya."
Maya semakin geram. Baginya, keberadaan Rara di perusahaan ini adalah ancaman langsung terhadap harapannya untuk kembali bersama Arga. Wanita itu tidak hanya menikah dengan Arga, tetapi kini juga masuk ke dalam lingkup profesionalnya, sesuatu yang Maya anggap sebagai wilayahnya.
Setelah meninggalkan ruang kerja Arga, Maya berjalan dengan langkah cepat menuju salah satu sudut kantor, pikirannya dipenuhi amarah. "Wanita itu benar-benar tidak tahu diri," gumamnya. "Dia sudah merebut Arga dariku, dan sekarang dia ada di sini, mencoba terlihat sempurna di depan semua orang?"
Maya memutuskan untuk menyusun rencana. Ia harus menemukan cara untuk menyingkirkan Rara, baik dari perusahaan maupun dari sisi Arga. Di benaknya, Rara tidak pantas berada di dekat pria seperti Arga—pria yang seharusnya menjadi miliknya.
Namun, Rara yang tidak tahu apa-apa, tetap menjalankan tugasnya dengan tenang. Ketika Maya melihatnya bekerja dengan penuh dedikasi, ia semakin merasa terancam. Terutama ketika melihat bagaimana Arga sesekali melirik ke arah Rara saat mereka berada di ruangan yang sama.
"Jangan berpikir kau akan menang dariku, Rara," gumam Maya dengan penuh dendam. "Aku tidak akan membiarkanmu merebutnya lebih jauh lagi."
Hari berikutnya, Maya mulai melancarkan aksinya. Ia memanfaatkan kedekatannya dengan Arga untuk membuat Rara merasa tidak nyaman.apalagi Maya juga merupakan investor perusahaan jadi bukan suatu hal yang masalah jika Maya sering datang ke perusahaan. Setiap kali ada kesempatan, Maya dengan sengaja mendekati Arga di hadapan Rara, berbicara dengan nada manja, dan bahkan sesekali menyentuh lengannya.
Saat rapat besar perusahaan berlangsung, Maya masuk membawa beberapa dokumen penting. Ia berdiri di samping Arga, seolah ingin menunjukkan kepada semua orang—terutama Rara—bahwa ia adalah sosok penting di kehidupan Arga.
"Ini, Arga. Dokumen yang kau minta tadi pagi," ucap Maya dengan senyum yang terlihat penuh arti.
Arga hanya mengangguk dan menerima dokumen tersebut tanpa banyak bicara. Namun, pandangan Maya kemudian beralih ke arah Rara yang duduk di meja rapat, terlihat fokus dengan catatannya.
"Sepertinya karyawan baru kita sangat berdedikasi," ujar Maya, nadanya terdengar seperti pujian, tapi jelas mengandung sindiran.
Rara mengangkat kepalanya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih, Bu Maya. Saya hanya melakukan tugas saya."
Maya tertawa kecil. "Ah, begitu. Tapi ingat, tidak semua orang bisa bertahan lama di lingkungan kerja yang keras seperti ini."
Rara tetap tenang, tidak terpancing oleh ucapan Maya. Ia tahu Maya sedang mencoba melemahkannya, tapi ia tidak akan memberikan kepuasan itu.
Di akhir rapat, Maya menunggu hingga ruangan hampir kosong sebelum menghampiri Rara. Dengan senyum yang tidak tulus, ia berkata, "Kau tahu, aku sangat mengenal Arga. Dia adalah pria yang sangat baik, tapi juga sangat pemilih. Kau harus berhati-hati, karena posisi di dekatnya tidak selalu mudah dipertahankan."
Rara menatap Maya dengan pandangan tenang. "Terima kasih atas sarannya, Bu Maya. Saya akan mengingatnya."
Namun, setelah Maya pergi, Rara tidak bisa mengabaikan rasa tidak nyaman di hatinya. Perasaan aneh mulai tumbuh, terutama saat melihat kedekatan Maya dan Arga. Apakah ia benar-benar hanya menjalani pernikahan ini sebagai perjanjian? Atau perasaannya terhadap Arga mulai berubah?
Sementara itu, Arga, yang tidak sepenuhnya menyadari niat Maya, merasa bahwa Maya semakin sering mencoba mendekatinya. Ia mulai merasa terganggu, terutama ketika ia melihat Rara tampak terganggu oleh situasi tersebut.
Malam itu, saat mereka di rumah, Arga memutuskan untuk membicarakan sesuatu dengan Rara.
"Rara," panggilnya pelan.
Rara yang sedang duduk di sofa menatapnya. "Ada apa?"
"Aku tahu Maya mungkin membuatmu tidak nyaman di kantor," ucap Arga jujur. "Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak pernah memberikan ruang baginya untuk lebih dari sekadar kenangan masa lalu. Pernikahan kita mungkin dimulai dengan sebuah perjanjian, tapi aku tidak ingin itu menjadi alasan bagimu merasa tidak dihargai."
Kata-kata Arga membuat Rara terdiam. Ia merasa ada ketulusan dalam ucapan itu, sesuatu yang jarang ia lihat dari Arga sebelumnya.
"Aku mengerti," jawab Rara akhirnya. "Aku hanya ingin fokus bekerja dan tidak terpengaruh oleh apa pun."
Arga mengangguk, tetapi di dalam hatinya, ia merasa ingin melindungi Rara lebih dari sekadar menjaga perjanjian mereka. Ia tahu Maya adalah ancaman, bukan hanya bagi Rara, tetapi juga bagi hubungannya yang perlahan mulai terasa lebih bermakna daripada yang ia sadari sebelumnya.
Sejak kejadian dengan Maya dan berbagai konflik di kantor, sikap Arga terhadap Rara perlahan berubah. Ia yang biasanya dingin kini menunjukkan sisi lembut yang membuat Rara bingung sekaligus tersentuh.
Pagi itu, Rara yang terbiasa menyiapkan sarapan sendiri di dapur dikejutkan oleh Arga yang sudah lebih dulu berada di sana. Ia mengenakan apron dan tengah menuang kopi ke dalam dua cangkir.
"Kenapa kau di sini? Biasanya kau baru bangun jam segini," tanya Rara, bingung.
Arga menoleh dan menyodorkan secangkir kopi kepadanya. "Aku pikir, tidak ada salahnya aku yang menyiapkan sarapan untukmu hari ini."
Rara menerima kopi itu dengan tangan gemetar. Ia memandang Arga dengan tatapan tidak percaya. "Apa ini bagian dari perjanjian kita juga?" tanyanya setengah bercanda.
Arga tersenyum kecil, sesuatu yang jarang ia tunjukkan. "Tidak, ini bukan soal perjanjian. Aku hanya ingin melakukannya."
Momen-momen seperti ini menjadi lebih sering terjadi. Saat di kantor, Arga mulai menunjukkan perhatian kecil yang tidak ia lakukan sebelumnya.
Ketika Rara sedang sibuk mengerjakan dokumen penting, Arga tiba-tiba muncul di ruangan kerjanya dengan membawa kotak makan siang.
"Kau belum makan, kan?" tanyanya, meletakkan kotak itu di meja Rara.
Rara mendongak, terkejut. "Kau tidak perlu repot-repot, aku bisa makan sendiri nanti."
"Tidak apa-apa," jawab Arga singkat. "Aku hanya tidak ingin kau melewatkan waktu makan lagi. Kalau kau sakit, aku yang harus repot."
Meski ucapannya terdengar biasa saja, ada nada lembut dalam suara Arga yang membuat Rara merasa diperhatikan.
Bahkan ketika mereka pulang kerja, Arga sering kali memastikan Rara merasa nyaman. Suatu malam, saat hujan deras dan Rara terlihat menggigil kedinginan, Arga melepaskan jasnya dan menyampirkannya di bahu Rara tanpa berkata apa-apa.
"Kau tidak perlu melakukannya," ucap Rara pelan.
"Diam dan pakai saja," jawab Arga tegas, tapi tetap dengan nada lembut.
Sikap lembut ini membuat Rara semakin bingung dengan perasaannya sendiri. Ia tahu pernikahan ini awalnya hanya perjanjian, tetapi perhatian Arga perlahan membuat hatinya bergetar. Namun, ia masih takut untuk mengakui perasaan itu, terutama karena ia tidak tahu apakah Arga benar-benar berubah atau hanya menjalankan perannya sebagai suami yang baik.
Di sisi lain, Arga sendiri mulai menyadari bahwa ia tidak bisa mengabaikan perasaannya terhadap Rara. Setiap perhatian kecil yang ia berikan bukan lagi sekadar tanggung jawab, tetapi muncul dari keinginan tulus untuk melihat Rara bahagia dan merasa dicintai.