"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Interogasi
“So?” Ayyara membuka pembicaraan dengan nada datar, tapi tatapannya menusuk. Dia menyilangkan tangan di dada, badannya condong ke depan, udah kayak jaksa yang siap menuntut. “Penjelasan apa yang bisa lo kasih ke kita?”
Aku menelan ludah. Ruang tamu rumah bunda yang biasanya terasa nyaman sekarang berubah jadi arena sidang dadakan. Teman-temanku duduk melingkar di sofa dan kursi kayu, mata mereka menatapku penuh tanda tanya. Rasanya kayak semua sorot lampu diarahkan ke aku.
Sial. Kenapa Ayyara ngajak mereka semua? Bukannya semalem dia bilang mau ngobrol berdua aja?
“Noah, lo duluan deh.” Ayyara memutar kepalanya ke Noah, nada bicaranya seperti bos yang memberi perintah.
Noah mengangguk, lalu menatapku dengan ekspresi serius. “Lo beneran ngikutin saran ngawur kita waktu itu?”
Aku mengerutkan kening. “Hah? Maksud lo?”
“Cari sugar daddy,” jawab Noah cepat, ekspresinya gak berubah.
Udara langsung terasa tersangkut di tenggorokan. “Y-ya enggaklah! Ngapain juga?” Aku memprotes, tapi suara yang keluar malah terdengar defensif.
“Syukur deh.” Noah mendesah, bersandar ke sofa dengan santai. “Kita waktu itu cuma bercanda, Jihan. Jangan dilakuin beneran. Lo cewek baik-baik.”
“Iya …,” gumamku, lebih ke diri sendiri. Aku menundukkan kepala, ngerasa aneh banget. Kenapa aku malah merasa bersalah?
Tapi, ini bohong gak, sih? Kan aku nikah beneran sama Om Lino. Tapi bukan kayak sugar daddy yang … ya, kalian ngerti lah. Lagian, hubungan aku sama Om Lino tuh ya halal. Aku bahkan belum pernah disentuh sedikit pun. Masih polos, kok!
“Terus apa?” Ayyara memotong lamunanku. Dia mendekat sedikit, matanya menyipit penuh kecurigaan. “Lo siapanya Pak Lino?”
“Iya, Han.” Diandra ikut menimpali, nadanya lebih lembut tapi tetap penasaran. “Kok bisa-bisanya Pak Lino punya foto lo? Mana fotonya tuh kayak yang diambil pas lagi kencan gitu.”
Aku menoleh ke Diandra. Kencan? Gak juga sih, tapi kalau dilihat dari angle fotonya … oke, kayaknya memang terlihat seperti itu.
“Eh, jangan-jangan ....” suara Aruna tiba-tiba nyerobot, penuh nada menggoda. Dia mendekatkan wajahnya ke aku, bibirnya melengkung membentuk senyum jahil. “Jihan sebenernya pacar Pak Lino?”
“Eh? Enggak!” Aku hampir teriak, saking paniknya.
“Dengerin gue dulu, ya?” Aku menarik napas panjang, mencoba mengatur emosi biar gak terlalu kelihatan gugup. “Jadi sebenarnya gue sama Pak Lino itu ....” Aku sengaja menggantung kalimatku, berharap mereka makin penasaran, biar nanti jawabanku terkesan lebih logis.
“Om dan keponakan.”
Semua langsung hening.
Ayyara menatapku penuh selidik. “Om dan keponakan?”
“Apa? Gimana bisa?” David menatapku dengan ekspresi bingung sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.
Aku mengangkat bahu, berusaha terlihat santai meskipun dalam hati was-was. “Ya bisa lah.”
Semua mata masih tertuju padaku, menunggu kelanjutan ceritaku. Napasku terasa sesak karena tekanan ini. “Pak Lino, alias Om Lino itu sebenernya Om gue,” jawabku, menekan kata terakhir dengan nada tegas.
“Dia adiknya Bunda. Jadi gitu deh, kita emang deket,” lanjutku, mencoba memperkuat kebohongan ini. “Makanya dia bisa posting foto gue.”
Ayyara memiringkan kepala, jelas masih curiga. “Beneran? Kok lo gak pernah bilang, sih?”
Aruna yang duduk di sebelahnya langsung menimpali, suaranya nyaring. “Ooh! Pantes dulu pas PKKMB lo nyebut dia Om! Taunya emang beneran Om lo toh?”
Aku ketawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Iya, hehe. Gue tadinya mau diem-diem aja. Soalnya Om Lino tuh orangnya sok profesional banget. Mana mau dia ngakuin gue keponakannya kalau di kampus.”
“Makanya itu gue gak cerita ke kalian,” tambahku sambil tersenyum kecil, berharap kebohonganku terdengar meyakinkan.
Diandra, yang dari tadi lebih banyak diam, sekarang angkat bicara. “Pantes waktu Om Lino mengkritik lo habis-habisan di depan kelas, lo blak-blakan aja berani jelekin dia. Terus pas di kafe waktu itu, dia bawa lo pergi gitu aja. Udah kayak orang deket banget. Taunya emang udah kenal lama.”
Aku hanya mengangguk, pura-pura setuju dengan alurnya. Dalam hati, aku bersyukur beberapa kejadian aneh yang pernah aku alami justru bikin kebohongan ini kelihatan lebih masuk akal.
“Ya gitu, guys. Maaf ya, gue gak cerita dari awal.”
“Gue kira apaan,” kata Ayyara sambil mendesah, tapi raut wajahnya mulai melunak. “Gue udah nething aja semalem. Takut gara-gara saran ngawur kita waktu itu, lo jadi milih jalan salah.”
Aku tertawa kaku. “Ya enggaklah.”
Noah mengangkat tangan, seolah sedang di kelas, pakai izin interupsi dulu. “Btw, lo belum cerita solusi apa yang lo dapat sampai akhirnya putusin buat lanjut kuliah?”
Aruna mengangguk antusias. “Iya, waktu itu kita tanya, lo bilang nanti aja ceritanya.”
Aku langsung panik. Otot-otot wajahku kaku sementara otakku sibuk mencari jawaban. “A-ah itu ....”
Diandra menyelamatkanku dengan dugaan baru. “Bunda lo dapat kerjaan baru, ya?”
“Ya, itu!” Aku mengangguk cepat, terlalu lega sampai lupa harus terlihat santai.
“Kerjaan apa?” tanyanya, masih penasaran.
“Buka usaha bakery kecil-kecilan aja, sih.” jawabanku cepat, sambil mencoba menyisipkan senyum kecil untuk menutupi ketegangan.
David terkekeh, menatapku penuh minat. “Widih, bisa dong nanti kita main ke sana terus dapat kue gratis?”
“Enak aja! Beli woi!” balasku, pura-pura sewot.
“Dih, pelit lo!” David tertawa lebih keras.
Percakapan mulai mengalir lebih ringan, suasana jadi lebih santai. Tapi meskipun mereka kelihatan percaya, aku tahu rasa bersalah ini gak bakal hilang. Kebohongan ini udah jadi dua sekarang. Kalau suatu hari ketahuan, aku harus apa?
“Oh iya.” suara Ayyara kembali mencuri perhatianku. “Pak Lino itu tinggal di sebelah rumah lo?”
Jantungku berhenti sejenak. “Loh, kok lo tau?” tanyaku, berusaha tetap tenang.
“Tadi pas kita nyampe, kita lihat dia keluar dari rumah sebelah.”
Aku menghela napas pelan, berusaha tenang karena sudah mempersiapkan skenario ini juga. “Iya, di sebelah tuh rumah Om Lino. Dia baru pindah ke sini.”
Aruna menyipitkan mata, seperti sedang memeriksa kebohonganku. “Sultan tuh kayaknya. Kenalin lah, Han.”
“Lah, kan, udah kenal?” aku mencoba menggoda balik untuk mengalihkan perhatian.
“Maksudnya secara personal gitu,” jawabnya dengan senyum jahil.
“Hidih, nih anak ya. Katanya gak jadi naksir?”
“Ya gak papa dong. Biar gue jadi tante lo, hehe.”
Aku melempar bantal ke arah Aruna, yang langsung menghindar sambil ngakak. “Ngadi-ngadi banget, lo!”
Aku ikutan ketawa, walau sebenarnya dalam hati aku masih deg-degan. Gak ada yang tahu kalau semua ini cuma permainan kata-kata. Aku hanya berharap skenario ini gak berakhir buruk buatku.
“Oh iya ....” Aku melirik Yara, memastikan dia benar-benar mendengarkanku sebelum melanjutkan.
“Tadi Om gue bilang kalau dia gak sengaja nerima permintaan follow lo.” Aku memilih kata-kataku dengan hati-hati, berusaha agar terdengar meyakinkan tapi tetap santai.
Yara mengernyitkan dahi. “Hah? Gak sengaja gimana?” tanyanya sambil memiringkan kepala, jelas terlihat bingung.
“Ya ... dia bahkan awalnya gak tau,” jawabku sambil memainkan ujung rambutku, berpura-pura sibuk dengan hal lain. “Kayaknya kepencet doang. Jadi sekarang akun lo udah dihapus lagi dari daftar followers dia.”
Aku mengembuskan napas pelan, menambahkan dengan nada setenang mungkin, “Maafin Om gue, ya. Orangnya emang setertutup itu.”
Yara diam sesaat, ekspresinya sulit dibaca. Matanya sempat melirik ke lantai sebelum menatapku lagi. “Oh, yaudah kalau gitu ....”
Aku tersenyum kecil, lega karena dia gak terlihat terlalu kecewa. Kuharap dia juga gak tersinggung. Tapi ini lebih baik daripada dia berharap lebih padahal aslinya Om Lino bahkan lupa sama dia. Katanya, sih.
“Ih, parah, masa sampai dihapus segala sih?” Aruna menyela dengan nada protes, sambil melipat tangan di dadanya.
“Udahlah, gak apa-apa,” ujar Yara sambil menggeleng pelan. “Biarin aja.”
“Tapi ya ....” Diandra bersandar di kursi dengan ekspresi penuh selidik. “Pak Lino tuh misterius banget, ya. Sampai privasinya dijaga sebegitunya.”
Dia menoleh padaku. “Kalau di luar kampus, asik gak ngobrol sama dia, Han?”
Aku mengangkat bahu, mencoba menunjukkan ketidakpedulian. “Gak. Mau di kampus atau di rumah, ya sama aja. Kaku, baku, minim ekspresi.”
Aruna tertawa kecil. “Kayak robot berarti?”
“Untung baik. Kalau enggak, mana betah gue,” tambahku sambil tertawa hambar.
Noah menatapku dengan tatapan curiga, kedua alisnya naik. “Dih, kayak lo tinggal bareng sama dia aja.”
Aku menelan ludah, merasakan jantungku berdetak lebih cepat. “Ma-maksudnya, kan, dia Om gue. Jadi gue sering main ke rumah dia.”
David terkekeh, menyelamatkanku dari keheningan canggung. “Udahlah, bahas Pak Lino mulu. Kalau orangnya tiba-tiba muncul, habis nilai Bahasa Indonesia kita.”
Aku tertawa kecil, berusaha mengalihkan suasana. “Btw, tumben kalian Sabtu gak jalan? Biasanya juga gak mau kumpul Sabtu-Minggu. Katanya hari quality time sama pacar.”
Noah mendesah berat, matanya melirik sekilas ke arah Yara sebelum menjawab. “Ya gara-gara lo, Bambang! Kita kaget denger cerita si Yara.”
Aku menyilangkan tangan di dada, menatap mereka bergantian. “Habis pikiran kalian nething aja sih tentang gue.”
“Udah sana, pulang. Jalan sama pasangan masing-masing,” lanjutku sambil melambaikan tangan, menyuruh mereka pergi.
David menyandarkan tubuhnya ke sofa, wajahnya terlihat malas. “Entar aja kali. Cewek gue lagi kerja kelompok.”
Noah menyela. “Sama. Cewek gue lagi banyak tugas, katanya. Gak mau diganggu.”
“Cowok gue sok sibuk banget.” Aruna menimpali dengan nada kesal. “Padahal anak FKIP, kan, tugasnya gak sebanyak kita?”
Aku terkekeh, merasa geli dengan keluhan mereka. “Siapa bilang? Mereka tugasnya malah banyak. Tiap minggu presentasi, terus disuruh bikin makalah dan modul mulu.”
Noah mengernyit. “Tau dari mana lo?”
“Om Lino,” jawabku sambil memutar mata. “Dia, kan, sebenernya dosen FKIP.”
David mendesah panjang. “Ya masih mending mereka. Kita laprak mulu.”
Diandra yang dari tadi diam akhirnya buka suara. “Udahlah, gak usah ngadu nasib. Semuanya juga lagi sibuk nugas.”
Noah berdiri sambil meraih tasnya. “Si paling bener. Dah, pulang aja yuk?”
“Ayo,” sahut Yara sambil merapikan rambutnya. “Gue juga ada urusan habis ini.”
“Ya udah, kita pulang ya, Han?” tanya Diandra sambil tersenyum kecil.
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya. Hati-hati di jalan, guys.”
“Tante Astrid lagi gak ada di rumah, kan? Itu pintu rumah jangan lupa dikunci abis ini,” sahut David dengan nada serius.
Aku meliriknya sambil mendengus kecil. “Dih, orang masih pagi, Vid.”
Noah langsung menimpali sambil menggelengkan kepala. “Apa-apa tuh lebih baik antisipasi dulu, Bambang. Maling gak kenal siang atau malam. Kalau sepi, ya gas aja.”
Diandra ikut bergabung dalam petuah ini. “Iya, Han. Bukannya lo pernah cerita kalau komplek lo sekarang rawan maling?”
Aku menyilangkan tangan, merasa pembelaanku perlu. “Iya, sih. Tapi yang dimasukin maling mah rumah gede-gede. Rumah gue mana dilirik sama mereka. Tenang aja, guys.”
David mengangkat alis, menatapku seperti aku ini anak kecil yang keras kepala. “Sebenernya apa susahnya kunci pintu, sih?”
Noah menepuk bahu David dengan gaya sok senior. “Emang dasar cewek tuh susah dibilangin, Vid. Selalu merasa paling benar. Biarin aja tuh entar dimasukin maling terus diculik.”
Aku langsung menyipitkan mata ke arah Noah, berusaha menahan tawa sekaligus kesal. “Mulut lo! Ngomongnya jangan sial gitu, bisa gak?”
“Udahlah ribut mulu.” Yara akhirnya membuka suara sambil memutar mata. “Ayo cepetan kita pulang. Dan lo, Han, kunci aja pintunya. Jangan ngeyel.”
Aku mengangkat tangan tanda menyerah. “Iya, iya.”
Aku mengantar mereka sampai ke depan rumah, melambaikan tangan sambil mengawasi mereka masuk ke mobil. Suasana langsung hening ketika mesin mobil dinyalakan dan perlahan menghilang dari pandanganku.
Tapi seperti yang sudah kuduga, aku gak benar-benar ngelakuin apa yang mereka suruh tadi.
Alih-alih masuk ke rumah, aku membuka pintu sebentar, memeriksa keadaan, lalu mengunci pintunya kembali seperti yang mereka ributkan tadi. Kuncinya? Aku taruh di bawah pot bunga di sudut teras, tempat yang sama seperti biasanya. Semoga tetap aman di sana.
Aku menatap rumah Bunda sebentar, mendesah pelan. Rumah ini emang kecil dan sederhana sih, tapi dengan keadaan akhir-akhir ini, aku gak bisa lengah. Kata temen-temen tadi emang benar, komplek ini lagi rawan orang jahat.
Dua minggu terakhir, kabarnya ada beberapa rumah yang kemalingan. Rumah yang jadi target biasanya rumah besar yang sepi, tapi tetap aja aku harus hati-hati. Yang bikin merinding, kata tetangga, malingnya bawa senjata tajam. Aku bahkan sempat denger kalau salah satu pemilik rumah dilarikan ke rumah sakit karena kena sajam gara-gara berusaha ngelawan si maling.
Polisi sih sudah turun tangan. Setiap malam ada patroli kecil-kecilan, tapi sampai sekarang malingnya belum ketangkap.
Aku melangkah pergi dari rumah Bunda, berjalan santai menuju rumah Om Lino. Sesekali aku melirik sekeliling, memastikan gak ada orang asing yang mencurigakan di jalanan komplek. Matahari masih tinggi, tapi aku tetap waspada.
Rumah Om Lino emang tepat di sebelah kanan rumah Bunda. Tapi tetap aja, perjalanan pendek ini membuatku berpikir lagi tentang apa yang temen-temen tadi bilang. Kalau dipikir-pikir ... rumah Om Lino kan besar, ya? Mana cuma ada kita berdua.
Aku menggeleng cepat, mengusir pikiran buruk itu. “Santai aja, Han,” gumamku pelan, mencoba menenangkan diri.
Saat aku sampai di rumah Om Lino, suasananya sunyi. Tidak ada suara atau tanda-tanda kehidupan. Mobilnya juga tidak ada di garasi. Semua jendela tertutup rapat, seperti rumah yang sengaja ditinggalkan.
Aku memeriksa pintu depan, terkunci. Ah, iya. Pagi tadi Om Lino sempat bilang kalau dia ada mengajar kelas pagi. Jadi wajar kalau sekarang dia udah gak ada.
Drrt!
Ponsel di tanganku bergetar. Nama yang tertera di layar membuatku refleks mengerutkan dahi.
“Wah, panjang umur. Baru juga dipikirin, eh malah nelpon.” Aku mengangkat panggilan itu sambil bersandar ke pintu. Nanti aja lah masuknya.
“Jihan.” suara Om Lino terdengar tegas dan dalam di seberang sana, khas banget.
“Iya, Om?”
“Teman-teman kamu sudah pulang?” tanyanya langsung ke poin.
“Udah, Om,” jawabku santai. Aku melirik ke sekeliling, masih agak parno.
“Bagaimana?”
Aku tahu maksud pertanyaannya. Dia pasti khawatir aku gak bisa menjaga cerita yang sudah kami sepakati.
“Tenang aja, Om. Saya bilang ke mereka kalau Om itu om saya. Syukurnya, mereka percaya. Jadi, aman. Tapi gak papa kan ya saya bilang gitu?”
Ada jeda beberapa detik di seberang sana sebelum Om Lino kembali bicara. “Tidak apa-apa. Itu lebih baik daripada mereka tahu yang sebenarnya.”
“Om gak marah kan?” tanyaku memastikan, meskipun aku tahu jawabannya.
“Tidak,” balasnya singkat. Lalu dia bertanya, “Kamu sedang di rumah?”
Aku menegakkan tubuh kembali. Berbalik dan mulai memasukkan pin pintu. “Saya baru mau masuk rumah Om sekarang.”
“Tadi Ibu saya mengabari. Katanya ingin berkunjung ke sana.”
Aku spontan berhenti. “Ke rumah, Om?” tanyaku memastikan, meski sebenarnya aku sudah paham ke mana arah pembicaraan ini.
“Ya, ke rumah kita,” jawabnya tanpa ragu.
Aku hampir tersedak ludah sendiri. Rumah kita, katanya? Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membalas. “Tapi kan Om lagi gak ada?”
“Karena itu saya ingin minta tolong kamu untuk menyambut Ibu saya nanti. Saya belum bisa pulang sekarang.”
Aku menatap pintu rumah yang masih terkunci. Bagus. Kalau aku sampai gak cepat tanggap, reputasiku di depan mertua bisa hancur. “Ya udah, Om. Saya yang sambut Mama Jenna. Mama datang sendiri atau sama Papa?”
“Sepertinya sendiri. Atau mungkin diantar Hans.”
Aku mendadak meringis. “Hans? Sepupu Om itu?”
“Iya,” jawabnya singkat.
“Oke, tenang aja, Om. Biar saya yang urus semuanya.”
Om Lino menarik napas pelan di ujung telepon. “Baiklah, terima kasih, Jihan.”
“Santai aja, Om. Fokus sama kerjaan Om dulu.”
Telepon ditutup. Aku menurunkan ponsel dan melanjutkan membuka pintu. Di kepala, aku sudah menyusun skenario bagaimana menghadapi Tante Jenna dengan wajah yang penuh percaya diri meski perutku sudah mulai bergejolak.
Ah, pasti nanti ada pembahasan tentang 'itu'. Aku harus siapin skenario lagi ini mah.