Karena hendak mengungkap sebuah kejahatan di kampusnya, Arjuna, pemuda 18 tahun, menjadi sasaran balas dendam teman-teman satu kampusnya. Arjuna pun dikeroyok hingga dia tercebur ke sungai yang cukup dalam dan besar.
Beruntung, Arjuna masih bisa selamat. Di saat dia berhasil naik ke tepi sungai, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah cincin yang jatuh tepat mengenai kepalanya.
Arjuna mengira itu hanya cincin biasa. Namun, karena cincin itulah Arjuna mulai menjalani kehidupan yang tidak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sindiran Telak
Di atas salah satu brangkar rumah sakit, seorang pria tua terbaring tak berdaya. Matanya menatap langit-langit ruang kamar inapnya dengan hati yang cukup berkecamuk.
Dulu, pria tua itu dikenal sangat tangguh. Tidak ada yang dia takuti. Dia merasa dunia ada pada genggaman tangannya karena dia selalu bisa mewujudkan apapun yang dia inginkan.
Tapi sekarang, pria tua itu hanya terbaring lemah. Tidak berdaya dan sangat bergantung pada orang lain, meskipun hanya melakukan hal kecil.
Ada rasa sedih yang tergambar dari sorot matanya. Pria tua itu sendirian, tidak ada keluarga, suadara, bahkan teman yang sudi menghibur dan membantunya.
Hanya ada asisten rumah tangga yang menemaninya. Itu pun karena dia dibayar. Jika tidak, entah, siapa yang akan menemani dan merawat pria tua yang terkenal suka melakukan tindakan buruk saat dia masih sehat.
"Permisi," sebuah suara mengusik telinga pria tua itu. Perlahan dia menoleh dan dia cukup terkejut, kala mengetahui siapa pemilik suara tersebut.
"Mas Bambang, Mbak Widuri!" seru wanita yang menjaga pria tua tersebut. Wanita itu nampak senang dengan kedatangan dua orang yang masih ada hubungan keluarga dengan pria tua itu.
"Kamu..." ucap pria yang dipanggil Bambang dengan tatapan penuh tanya pada wanita yang menyambut kedatangannya.
"Saya Ninis, Mas, asisten rumahnya Tuan besar," jamab wanita itu sumringah. "Saya pikir Mbak Widuri dan Mas Bambang tidak akan datang."
Widuri sontak melempar senyum dan berusaha menahan tatapannya agar tertuju pada Ninis terus.
"Oh..." balas Bambang. "Bagaimana keadaan Tuan besar?" tanpa canggung, pria itu mendekat ke brangkar, memeriksa keadaan mertuanya.
Sedangkan Widuri, memilih duduk tanpa mau menatap ke arah pria tua yang terbaring. Perasaan wanita itu sangat berkecamuk dan tersirat beragam rasa pada wajahnya.
"Yah, belum ada perubahan," jawab Ninis nampak sedih.
"Hallo, Tuan besar," sapa Bambang ramah. Meski dia tahu, pria tua itu sangat membencinya, Bambang sepertinya tidak peduli.
Bratawali hanya bisa menatap sang menantu dengan dada bergemuruh. Mungkin dia tidak menyangka kalau menantu yang tidak diinginkan bisa bersikap sehangat itu kepadanya.
"Apa penyebab Tuan besar seperti ini, Mbak?" tanya Bambang. "Apa Tuan besar terjatuh di kamar mandi apa gimana?"
Ninis menghela nafas panjang dan matanya menatap sedih pada majikannya. "Tuan besar diracun, Mas?"
"Apa?" Bambang dan istrinya terkejut bersamaan. "Diracun? Diracun bagaimana?" tanya Bambang menatap wanita yang berdiri di sisi lain dari brangkar tersebut.
"Awalnya, dokter mengira kalau Tuan terkena gejala struk. Tapi, tadi siang, saat dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh, ternyata dia dikasih obat yang bisa melumpuhkan badsnnya secara bertahap."
"Astaga..." Bambang menatap miris pada ayah mertuanya. "Siapa yang tega melakukan hal kejam seperti itu, Mbak?"
"Paling wanita kesayangannya," Widuri tiba-tiba bersuara sampai semua mata menatap ke arah wanita yang masih duduk di sofa.
"Iya, Tarmini yang melakukannya," Ninis membenarkan. "Dia bekerja sama dengan para pengawal Tuan besar, untuk melenyapkan Tuan besar secara perlahan."
"Ya ampun..." Bambang cukup syok mendengarnya. "Kenapa mereka tega begitu?"
"Aku sih tidak heran," Widuri kembali berkata. "Dari gerak-geriknya aja aku tahu, dia wanita seperti apa. Wajar jika dia berani berbuat kaya gitu."
Kening Ninis sontak berkerut. "Emang Mbak Widuri pernah ketemu sama Tarmini?"
"Kemarin dia datang ke rumahku. Gayanya sudah kaya nyonya besar banget. Dari situ aja aku sudah tahu kalau wanita itu tergila-gila dengan harta. Sangat cocok dengan dia, yang hanya mementingkan harta."
"Bu..." Bambang langsung memberi tatapan peringatan kepada istrinya supaya Ayah mertua tidak tersinggung.
Namun karena telinga Bratawali masih berfungsi dengan baik, tentu saja dia mendengar ucapan yang keluar dari anak kandungnya.
"Faktanya memang begitu," Ibu tak mau diam. Dia sudah lama menunggu saat seperti ini, untuk melampiaskan rasa kecewa dan amarahnya yang telah lama dia pendam.
"Kalau tidak mementingkan harta, pasti dia tidak akan mengalami nasib seburuk ini. Sekarang lihat, harta yang dia banggakan, justru akan merenggut nyawanya. Apa dia sadar? Tidak akan. Pasti dalam hatinya, dia juga sedang berpiikir buruk tentang kamu, Pak."
"Bu..." Bambang masih memberi tatapan peringatan dengan suara yang begitu lembut.
"Jangan terlalu membelanya, Pak. Pasti, nanti setelah dia sembuh, dia akan kembali menghina kamu, disangka mau merebut semua hartanya."
"Astaga, Ibu!" suara Bambang agak meninggi, tapi sukses, membuat sang istri terdiam.
"Maafin Widuri ya, Tuan besar," Bambang malah meminta maaf pada ayah mertuanya. "Saya harap Bapak tidak tersinggung dengan ucapannya."
Bratawali hanya menatapnya dan sorot matanya jelas terlihat kalau suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.
"Terus, siapa yang minta perawat untuk ngabarin kami?" tanya Bambang pada Ninis. "Kamu, Mbak?"
"Iya, Mas," jawab Ninis. "Soalnya aku bingung. Dokter juga menyarankan saya untuk menghubungi keluarganya. Untungnya aku sebenarnya tahu alamat rumah Mbak Widuri. Jadi aku segera saja minta tolong sama pekerja di sini."
Bambang tersenyum. "Ya sudah, kalau kamu mau pulang, ya silahkan, Mbak. Biar saya yang gantian jaga."
Ninis langsung tersenyum sumringah. "Baik, Mas. Dirumah juga keadaannya sangat berantakan. Udah tahu Tuan besar lagi sakit, eh, Tarmini malah mengadakan pesta di rumah."
"Hah! Pesta?" lagi-lagi Bambang dan istrinya dibuat terkejut.
"Iya, pesta. Pokoknya keterlaluan deh, Mas, Mbak. Padahal dari kemarin dokter meminta Tarmini untuk mengantar Tuan besar ke rumah sakit, tapi malah dibiarkan saja."
"Ya ampun... " Bambang syok mendengarnya. "Terus, yang membawa Tuan besar ke rumah sakit, siapa? Kamu?"
"Bukan," jawab Ninis, lalu dia menceritakan semua yang terjadi di rumah Tuan sampai Tuan besar berhasil diantar ke rumah sakit.
"Wahh, hebat juga dokternya ya?" Puji Bambang merasa puas. "Lalu, nasib Tarmini dan orang-orangnya gimana? Apa mereka masih di sana?"
"Nggak tahu mereka sudah diusir dari rumah itu oleh Pak dokter," jawab Ninis.
"Baguslah," balas Bambang lega. "Jadi sekarang rumah itu kosong?"
Ninis mengangguk. "Makanya, saya mau pulang dulu, untuk merapikan rumah. Besok pagi, saya usahakan secepatnya datang ke sini."
"Apa kamu butuh bantuan?" tanya Widuri. "Kalau iya, nanti aku ikut kamu."
"Nggak perlu, Mbak," tolak Ninis. "Aku bisa sendiri kok."
"Ya udah," Widuri pasrah. "Tapi kamu hati-hati, Mbak. Nanti kamu dituduh mau merebut hartanya juga."
"Bu..."
Widuri langsung mendengus.
Ninis sendiri malah tersenyum. "Nggak lah, Mbak. Rejeki aku dan suamiku udah cukup kok. Nggak mau merebut hak orang lain."
Padahal Ninis sedang tidak bermaksud menyindir, tapi ucapannya cukup menohok perasaan Bratawali.
Karena takut kemalaman, Ninis pun segera pamit dan dia akan pulang karena dijemput suaminya.
Sedangkan di rumah, Juna sendiri nampak terkejut setelah mendengar kabar dari Klawing.
"Jadi benar, majikanmu itu adalah Kakekku, Wing? Haduh..."