"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily berjalan menyusuri gang sempit menuju kontrakannya. Langkah kakinya berat, seakan setiap gerakan menarik beban tak terlihat yang menekan pundaknya.
Tas ransel di tangannya ia genggam erat-erat, seperti menjadi satu-satunya benda yang membuatnya merasa aman di tengah kegelisahannya.
Angin pagi menusuk, dinginnya menjalar ke kulit, tapi syal yang melilit lehernya memberikan kehangatan. Lebih dari itu, syal itu juga menyembunyikan bercak merah di lehernya, jejak yang membuatnya malu bahkan hanya dengan mengingatnya.
Pikiran Lily terus melayang, bergelombang dalam arus penyesalan yang tak berujung. Ia menggigit bibir bawahnya, mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
Kenapa ia melakukannya? pikirnya untuk kesekian kali. Sudah jelas bahwa alkohol selalu membawa masalah, dan ia tahu betul apa yang akan terjadi jika ia meminumnya.
Ia pernah bersumpah tidak akan menyentuhnya lagi, namun semalam, semalam semuanya berubah. Semalam ia kehilangan kendali.
Lily menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, hatinya terus dihantui oleh perasaan bersalah.
Ia tak pernah membayangkan akan terjerumus sejauh ini. Semua terasa salah. Semua terasa memalukan. Ia ingin melupakan, tapi bayangan semalam terus menghantui, seperti sebuah luka yang baru saja terbuka dan tak kunjung kering.
“Cukup sekali,” gumamnya pelan, hampir seperti sebuah doa. “Cukup sekali.”
Namun, semakin ia mencoba menenangkan dirinya, semakin pikirannya memberontak. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa banyak orang melakukan hal seperti ini di luar sana.
Lagipula apa bedanya? Ia sudah tak lagi bersama Hugo, tak ada yang perlu ia jaga atau khawatirkan lagi. Tapi pemikiran itu terasa seperti kebohongan yang ia paksakan.
Ia tahu ini bukan soal Hugo. Ini tentang dirinya sendiri. Tentang prinsip yang selama ini ia pegang teguh yang kini hancur lebur hanya dalam satu malam.
Langkahnya melambat saat ia mendekati kontrakannya. Wajah Eliza langsung terlintas di benaknya. Ia ingat saat dulu sahabatnya pernah menginap di tempat ini, semua terasa sederhana dan nyaman.
Tapi sekarang ia pulang dengan membawa beban besar di punggungnya. Tidak ada yang tahu, dan ia bersyukur untuk itu.
Namun rasa syukur itu bercampur dengan kepedihan. Ia tak pernah membayangkan akan membawa pulang rasa malu seperti ini.
Hugo kembali muncul dalam pikirannya. Nama itu muncul begitu saja, seperti tamu tak diundang yang mengetuk pintu di tengah malam.
Mereka sudah berpisah, itu benar. Tapi perasaan kehilangan itu belum sepenuhnya pergi. Lily menghela napas. Mungkin, mungkin saja ini alasannya ia membuat keputusan yang gila seperti itu. Tapi alasan itu pun tidak membenarkan apa yang ia lakukan.
Kini ia berdiri di depan pintu kontrakannya. Nafasnya tertahan, dadanya terasa sesak. Tangan Lily gemetar saat meraih gagang pintu.
Di balik pintu ini ada tempat yang seharusnya menjadi pelariannya, tempat untuk beristirahat dan melupakan. Tapi ia tahu, apa yang ia tinggalkan di luar sana, dan apa yang ia bawa dalam pikirannya, tidak akan hilang begitu saja.
Lily tahu beban ini adalah miliknya sendiri, dan tak ada seorang pun yang bisa membantunya menanggungnya.
Lily membuka pintu kontrakannya perlahan, tubuhnya yang lelah terasa semakin berat. Namun, begitu pintu itu terbuka, ia terhenti sejenak.
Di dalam ruangan, Hugo terlihat duduk dengan santai di sofa kecil mereka, seolah tidak ada yang terjadi. Detak jantung Lily tiba-tiba menjadi lebih cepat, bukan karena rindu, melainkan karena rasa marah yang tak terkendali.
Kemarahannya yang sudah terpendam sejak hari pertama tahu bahwa Hugo berselingkuh dengan Daisy kini kembali muncul. Perasaan itu bercampur dengan rasa sakit dan penyesalan yang semakin dalam setelah kejadian semalam.
Hugo menoleh dan tersenyum begitu melihat Lily, senyumnya yang seakan tak ada masalah apa pun. “Akhirnya kamu pulang juga,” ucapnya dengan nada ringan.
Ia berdiri dan berjalan mendekati Lily dengan ekspresi penuh harapan, seperti dulu, membuat Lily semakin marah.
“Aku sudah bilang aku menyesal soal Daisy. Itu tidak berarti apa-apa Li. Aku ingin kita memulai dari awal,” ucap Hugo dengan nada memelas, tangannya terulur ingin meraih tangan Lily.
Tetapi Lily hanya mundur satu langkah, menatap Hugo dengan ekspresi datar. Ia kemudian melepaskan tas ranselnya dan meletakkannya di kursi tanpa berkata apa-apa, pandangannya tetap tidak mengarah pada Hugo.
“Li?” Hugo memanggil, kali ini suaranya terdengar lebih mendesak. Tapi Lily tetap diam. Ia berjalan melewati Hugo menuju dapur, sibuk membuka lemari mencari secangkir teh hangat yang bisa menenangkan dirinya.
Namun, Hugo yang merasa diabaikan, tak sengaja menarik syal Lily yang terlepas dari bahunya. Syal itu terlepas dan memperlihatkan bercak merah yang ada di leher Lily.
Hugo terdiam sejenak, matanya tertuju pada bercak itu, wajahnya berubah dari terkejut menjadi dingin.
“Jadi ini?” suaranya tiba-tiba terdengar lebih rendah, tajam, dan penuh kecurigaan. “Kamu selingkuh di belakangku?”
Lily berhenti berjalan. Tubuhnya membeku, tetapi ia tak ingin memperpanjang pertengkaran ini. “Kita sudah berakhir. Kamu tidak punya hak lagi untuk memarahiku.”
Namun, Hugo tidak terima. Ia melangkah maju, mendekati Lily dengan ekspresi semakin dingin. “Berakhir? Aku tidak pernah bilang ingin berakhir. Kamu tau aku memaafkan kesalahanmu ini. Aku tidak peduli apa yang kamu lakukan semalam. Yang penting, aku ingin kita kembali bersama. Kita mulai lagi dari awal. Kita menikah, dan kita bangun semuanya bersama.”
Lily menoleh dan menatap Hugo dengan tatapan datar. Kata-kata itu tidak menggerakkan hatinya sedikit pun.
“Aku ingin kita menikah dengan pesta yang besar. Meriah. Kamu tau kan, aku selalu ingin membahagiakanmu?”
Lily menghela napas panjang, matanya menatap Hugo tanpa ragu. “Aku tidak punya uang lagi. Aku sudah habiskan semuanya,” jawabnya tanpa emosi.
Perkataan itu membuat Hugo tertegun. Wajahnya yang semula lembut berubah menjadi dingin. “Uang kita?” tanyanya, nada suaranya penuh kekesalan. “Uang tabungan kita habis secepat itu?”
Lily mendongak dan menatap Hugo tajam. “Uang tabungan kita? Kamu hanya menaruh separuhnya. Separuh lagi uang hasil kerja kerasku. Kamu lupa? Dan jangan lupa juga, apartemen yang kamu beli itu bukan dari uang tabungan kita. Itu uang dari nenekku, hadiah untuk pernikahan kita nanti.”
Hugo terdiam sejenak, ekspresinya berubah bingung. Kemudian ia mengubah ekspresinya menjadi lebih lembut, seolah mencoba meredakan ketegangan.
“Lily, aku minta maaf. Kita tidak perlu membahas itu. Kita fokus saja ke masa depan. Kamu masih punya harta warisan dari orang tuamu kan? Kita juga masih punya waktu mengumpulkan uang lagi. Lagi pula kalau kita menikah, aku bisa bantu mengatur itu. Aku akan jaga semuanya untuk kita.”
Lily memandang Hugo dalam diam, ekspresinya tetap datar. Ia mendengar kata-kata Hugo, tetapi tidak merasakannya.
Semua yang diucapkan Hugo terasa seperti janji-janji kosong, sesuatu yang dulu mampu membuatnya luluh. Namun sekarang, perasaan itu sudah lama hilang.
Hugo mungkin benar, pikirnya. Ia masih mencintai pria itu. Namun, jauh di dalam hatinya, Lily tahu bahwa cinta itu telah ternoda.
Perasaan itu hancur berkeping-keping oleh pengkhianatan dan manipulasi. Hugo mungkin melihatnya sebagai wanita yang bisa ia kendalikan, yang mudah dimanipulasi, tetapi Lily tahu ia harus membuat keputusan, sebuah keputusan untuk dirinya sendiri.