Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 LANGKAH PERTAMA BALAS DENDAM
“Kita perlu bicara,” kata Araf pelan.
Cintia menatapnya, hatinya berdebar kencang. “Tentang apa?”
Araf memandangnya lama sebelum akhirnya berkata, “Tentang kamu... dan apa yang sebenarnya kamu rencanakan.”
Cintia terdiam. Pandangannya beralih ke jendela toko yang terbuka, angin dingin Tamansari menyelinap masuk. Ia berusaha menenangkan dirinya, tapi detak jantungnya terasa semakin keras, seperti mengancam menghancurkan ketenangan yang ia bangun selama ini.
“Aku nggak ngerti maksudmu,” jawabnya akhirnya, suaranya datar, tapi tangannya yang menggenggam pinggir meja sedikit gemetar.
Araf menghela napas. “Jangan pura-pura, Cin. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Aku tahu kamu bukan cuma sekadar ingin hidup tenang di sini.”
Cintia menahan napas. Ia menatap Araf dengan tatapan tajam, mencoba membaca niat di balik kata-katanya.
“Kamu pikir aku nggak tahu? Kamu selalu bertanya-tanya tentang Luna—tentang kehidupannya,” lanjut Araf. “Dan aku tahu kamu nggak mungkin sekadar ingin tahu. Kamu punya sesuatu di pikiranmu, kan? Sesuatu yang... nggak benar.”
Cintia tersenyum tipis, tetapi senyuman itu lebih menyerupai ejekan. “Kamu sok tahu, Araf.”
“Cin, aku cuma mau bantu kamu,” katanya, nadanya memohon. “Aku tahu kamu terluka, aku tahu masa lalu kamu nggak mudah. Tapi kalau kamu terus-terusan hidup seperti ini, memendam kebencian, kamu cuma akan menyakiti dirimu sendiri.”
“Bantu aku?” Cintia tertawa kecil, dingin. “Apa yang kamu tahu soal luka, Raf? Kamu nggak tahu apa-apa tentang aku. Kamu nggak tahu apa yang aku alami.”
Araf terdiam. Ucapan Cintia menusuknya, tetapi ia tetap berdiri tegak. “Aku nggak tahu segalanya, benar. Tapi aku tahu kalau kamu nggak bisa terus hidup dengan cara ini. Kamu harus bicara, Cin. Kamu harus jujur.”
“Jujur?” Cintia mendekat, menatap Araf dengan tatapan dingin yang membuatnya bergidik. “Apa kamu pikir aku ini seperti kamu? Kamu selalu berpikir dunia ini bisa diperbaiki dengan kata-kata manismu, ya? Dunia ini nggak sebaik itu, Raf. Dan aku nggak punya kewajiban untuk menjelaskan apa pun ke kamu.”
Araf membuka mulutnya untuk membalas, tetapi Cintia sudah berbalik, meninggalkan toko tanpa sepatah kata pun.
Cintia berjalan cepat ke arah pantai, tempat ia biasa menenangkan diri. Pikirannya berkecamuk, hatinya dipenuhi berbagai emosi yang sulit ia jelaskan. Kata-kata Araf terus terngiang di kepalanya.
“Aku nggak perlu bantuannya,” gumamnya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu Araf benar. Hidupnya selama ini hanyalah serangkaian kebencian dan dendam yang ia pelihara. Ia membenci ayahnya, membenci Luna, membenci semua orang yang pernah menyakitinya.
Sesampainya di pantai, ia duduk di atas pasir, memandangi ombak yang bergulung. Ia merogoh ponselnya, membuka media sosial Luna. Sudah beberapa minggu terakhir ia memantau kehidupan gadis itu. Postingannya dipenuhi foto-foto bahagia: makan malam di restoran mahal, menghadiri acara-acara sosial, dan tersenyum bersama teman-teman suksesnya.
Namun, mata Cintia tertuju pada satu foto tertentu. Sebuah foto Luna bersama seorang pria. Pria itu tampak memeluk Luna dengan mesra, tetapi ada sesuatu dalam senyumnya yang membuat Cintia merasa aneh. Ia memperbesar foto itu, mencari petunjuk apa pun yang bisa ia gunakan.
“Aku tahu ada sesuatu di sini,” gumamnya.
Dari informasi yang ia kumpulkan melalui gosip warga, ia tahu Luna pernah mengalami masalah besar di masa lalu. Cintia belum tahu pasti apa yang terjadi, tetapi ia yakin itu adalah celah yang bisa ia manfaatkan.
Pikirannya mulai bekerja. Ia harus bergerak cepat.
Keesokan harinya, Araf datang lagi ke toko Bu Rini. Ia tampak ragu-ragu, tetapi akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Cintia yang sedang menata rak.
“Cin,” panggilnya pelan.
Cintia menoleh, memasang senyum tipis. “Ada apa?”
“Aku—” Araf terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku minta maaf soal kemarin. Aku nggak bermaksud menuduh kamu atau apa pun.”
Cintia mengangkat bahu. “Nggak apa-apa. Aku udah lupa.”
Namun, Araf tahu itu bohong. Cintia bukan tipe orang yang mudah melupakan sesuatu.
“Kalau ada sesuatu yang kamu butuhkan, aku di sini,” tambah Araf, mencoba menawarkan jalan damai.
Cintia menatapnya, berpikir sejenak. “Kamu serius?”
Araf mengangguk.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku cuma butuh bantuan kecil.”
Araf mengernyit. “Bantuan apa?”
“Aku ingin tahu lebih banyak soal Luna,” jawab Cintia, nadanya ringan seolah itu bukan hal penting.
Araf tampak bingung. “Luna? Kenapa kamu tertarik sama dia?”
Cintia berpura-pura tersenyum. “Nggak ada alasan khusus. Aku cuma penasaran. Dia kan orang sukses sekarang, dan aku cuma ingin tahu gimana dia bisa sampai di titik itu.”
Araf mengangguk pelan, meski ia merasa ada sesuatu yang janggal. “Kamu yakin cuma itu alasannya?”
“Ya,” jawab Cintia tegas. “Kamu mau bantu aku atau nggak?”
Setelah beberapa detik ragu, Araf akhirnya setuju. “Baiklah. Aku akan coba cari tahu.”
Cintia tersenyum puas. Ia tahu Araf tidak sepenuhnya percaya padanya, tetapi itu tidak penting. Yang penting adalah ia berhasil membuat Araf terlibat.
Beberapa hari kemudian, Araf datang dengan informasi baru. Ia mendapati bahwa Luna pernah mengalami skandal besar di salah satu perusahaan tempat ia bekerja beberapa tahun lalu. Meski skandal itu tidak pernah diungkap ke publik, Araf mendengar dari seorang teman bahwa Luna hampir kehilangan reputasinya.
“Aku nggak tahu detailnya,” kata Araf saat mereka berbicara di pantai. “Tapi katanya ada sesuatu yang cukup besar. Mungkin kamu bisa cari tahu lebih banyak dari situ.”
Cintia mengangguk, menyembunyikan senyum kecil di wajahnya. “Terima kasih, Raf. Kamu benar-benar membantu.”
Araf menatapnya curiga. “Cin, kamu nggak akan melakukan sesuatu yang nekat, kan?”
“Kenapa kamu selalu menganggap aku akan melakukan hal buruk?” tanya Cintia, berpura-pura tersinggung.
“Karena aku tahu kamu,” jawab Araf. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti kalau sudah menginginkan sesuatu. Aku cuma mau kamu berhati-hati.”
Cintia tidak menjawab. Ia hanya memandang ke arah laut, pikirannya sudah dipenuhi rencana-rencana untuk langkah berikutnya.
Beberapa hari kemudian, Cintia sengaja mendatangi acara sosial kecil yang dihadiri Luna. Ini bukan pertama kalinya mereka bertemu. Sebelumnya, Luna sudah dua kali meminta maaf dan mengaku menyesal atas apa yang pernah terjadi di masa lalu. Namun, bagi Cintia, kata-kata itu tidak berarti apa-apa. Kali ini, ia ingin melihat Luna dari sudut pandang berbeda.
Ia berdiri di sudut ruangan, memperhatikan gadis itu dari jauh. Luna tampak sempurna seperti biasa, mengenakan gaun mahal dan berbicara dengan penuh percaya diri. Namun, seperti sebelumnya, ada sesuatu di balik senyuman itu. Ada rasa cemas yang tersembunyi, seolah Luna mencoba menutupi sesuatu.
“Jadi ini hidupmu sekarang, ya, Lu?” gumam Cintia pelan.
Ia mendekati meja minuman, berpura-pura sibuk dengan gelasnya ketika Luna tiba-tiba mendekatinya.
“Hai,” sapa Luna dengan senyum ramah.
Cintia hampir terkejut, tetapi ia segera menguasai dirinya. “Hai.”
“Kamu Cintia, kan?” tanya Luna. “Aku nggak yakin, tapi aku rasa aku pernah melihatmu dulu... di sekolah.”
Kata-kata itu membuat Cintia memberengut dalam hati. Luna berpura-pura melupakan dua pertemuan mereka sebelumnya. Ataukah itu cara Luna menghindari percakapan mendalam?
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku