Takdir Di Ujung Cinta
Soraya adalah seorang gadis sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil bersama ayah dan ibunya. Setelah ayahnya meninggal dunia akibat penyakit, keluarga mereka jatuh miskin. Utang-utang menumpuk, dan ibunya yang lemah tidak mampu bekerja keras. Soraya, yang baru berusia 22 tahun, harus menjadi tulang punggung keluarga.
Prang
Terdengar suara pecahan kaca dari bawah kamar Soraya. Ia pun langsung terbangun dari tidurnya. Melihat sang ibu sudah tak berada di sampingnya, membuat Soraya panik.
"Ibu" gumamnya.
Soraya langsung bangkit dari ranjang, dengan mengambil blazer tipis guna menutup tubuhnya yang hanya terbalut gaun tipis, Soraya turun dengan tergesa-gesa.
"Apa yang terjadi bu?"
Tanyanya begitu melihat sang ibu sudah duduk di sebuah sofa dengan tangisan yang pilu.
"Mereka,,, mereka menagih hutang-hutang ayahmu! Jika mereka tidak mendapatkannya maka mereka akan mengambil rumah ini"
Soraya hanya bisa menghela nafasnya panjang. Ia tahu jika mereka tidak akan mampu membayar dan melunasi hutang-hutang ayahnya tersebut.
"Sudah bu, sebaiknya kita kembali tidur! Besok aku akan mencari pinjaman! Ibu jangan khawatir."
Sheila menatap kepada putrinya dengan mata yang penuh dengan air mata. Ia menggelengkan kepala pelan, seolah ingin menolak janji putrinya.
"Soraya, kau sudah terlalu banyak berkorban. Aku tak ingin melihatmu menderita lebih dari ini..." ucap Sheila lirih,
Suaranya nyaris tak terdengar di tengah isak tangis.
Soraya berlutut di hadapan ibunya, memegang kedua tangan wanita itu dengan erat.
"Bu, aku sudah dewasa. Ini tanggung jawabku. Kita akan melewati ini bersama. Percayalah padaku," katanya
Sambil menatap mata ibunya dengan penuh keyakinan.
Sheila hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun di hatinya ada kekhawatiran mendalam. Soraya terlalu muda untuk memikul beban sebesar ini, pikirnya. Namun, ia tahu tak ada pilihan lain. Mereka hanya memiliki satu sama lain sekarang.---
Keesokan paginya, Soraya bangun lebih awal dari biasanya. Ia mengenakan pakaian terbaiknya—meskipun sederhana, tetap rapi. Setelah memastikan ibunya sudah sarapan, ia berpamitan.
"Aku akan kembali sebelum malam, Bu. Jangan lupa makan dan istirahat, ya," ucap Soraya sambil mencium kening Sheila.
Soraya berjalan ke kota terdekat, berharap bisa mencari pekerjaan tambahan atau pinjaman untuk melunasi sebagian utang mereka. Namun, di setiap tempat yang ia datangi, ia hanya mendapat penolakan.
"Kami tidak bisa mempekerjakan mu saat ini," atau
"Maaf, kami tidak memberikan pinjaman kepada individu tanpa jaminan," adalah jawaban yang terus ia dengar sepanjang hari.
Ketika sore menjelang, Soraya merasa lelah dan putus asa. Ia duduk di bangku taman kota, mencoba menenangkan pikirannya. Tiba-tiba, seorang pria paruh baya dengan pakaian rapi mendekatinya.
"Maaf, Nona, apakah Anda membutuhkan bantuan?" tanyanya.
Soraya terkejut, tetapi dengan sopan ia menjawab,
"Tidak, Pak. Saya hanya sedang beristirahat."
Namun, pria itu tetap berdiri di dekatnya.
"Saya mendengar Anda tadi bertanya tentang pekerjaan di toko sebelah. Apakah Anda sedang mencari pekerjaan?" tanyanya lagi.
Soraya ragu sejenak sebelum mengangguk.
"Ya, saya butuh pekerjaan. Tapi kebanyakan tempat tidak membutuhkan karyawan baru," jawabnya jujur.
Pria itu tersenyum kecil.
"Kalau begitu, mungkin saya bisa membantu. Nama saya Pak Adrian. Saya memiliki sebuah perusahaan kecil di kota ini. Kami sedang mencari seseorang yang bisa membantu di bagian administrasi. Apa Anda tertarik?"
Mata Soraya berbinar. Ini seperti secercah harapan di tengah kegelapan.
"Tentu saja, Pak! Saya sangat tertarik. Tapi... saya belum punya banyak pengalaman," ujarnya dengan nada cemas.
Pak Adrian mengangguk pelan.
"Tidak apa-apa. Yang penting adalah kemauan untuk belajar. Jika Anda bersedia, datanglah ke kantor saya besok pagi. Saya akan memberikan detailnya."
Dengan perasaan lega dan sedikit harapan, Soraya mengucapkan terima kasih kepada Pak Adrian. Mungkin ini awal dari perubahan yang ia butuhkan untuk menyelamatkan keluarganya.
Namun, ia tidak tahu bahwa pertemuan ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya—lebih dari yang pernah ia bayangkan.
Soraya pulang dengan langkah ringan. Harapan mulai tumbuh dalam hatinya. Mesti ini hanya langkah pertama. Saat tiba di rumah ia menatap ibunya sedang duduk menatap kosong ke arah jendela.
"Bu, aku punya kabar baik" ucap Soraya penuh semangat.
Soraya mencoba mengusir suasana muram di rumah mereka.Sheila menolah, matanya masih memerah karena tangis malam tadi.
"Apa itu nak? "
Soraya langsung duduk dan menghampirinya dan menggenggam tangan ibunya.
"Aku mendapatkan pekerjaan bu. Aku akan mulai bekerja besok" ucapnya sambil tersenyum lebar.
Sheila terkejut mendengar kabar itu. Ia menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca, namun kali ini bukan karena sedih, melainkan haru.
"Benarkah, Soraya? Pekerjaan seperti apa? Apa tempatnya aman? Kau yakin bisa melakukannya?" tanya Sheila beruntun, rasa khawatirnya masih tak sepenuhnya hilang.
"Iya, Bu. Aman, kok," jawab Soraya dengan nada meyakinkan. "Aku akan bekerja di bagian administrasi di sebuah perusahaan kecil. Pemiliknya, Pak Adrian, orangnya baik. Ia memberiku kesempatan meski aku belum punya banyak pengalaman."
Sheila mengangguk pelan. Di satu sisi, ia bangga pada keberanian dan tekad putrinya. Namun, di sisi lain, hatinya tetap berat karena tahu bahwa Soraya akan memasuki dunia yang penuh tantangan.
"Baiklah, Nak. Tapi, ingat, kalau ada sesuatu yang terasa tidak baik, jangan ragu untuk bercerita padaku, ya. Jangan memaksakan diri," ujar Sheila lembut sambil membelai rambut Soraya.
"Iya, Bu. Aku janji," Soraya menjawab sambil tersenyum. Ia merasa sedikit lega melihat ibunya lebih tenang.---
Keesokan paginya, Soraya berangkat ke kantor Pak Adrian dengan penuh semangat. Saat tiba di sana, ia terkesan dengan suasana tempat kerja yang sederhana namun teratur.
Namun bukannya sebuah pekerjaan yang dijanjikan oleh Pak Adrian sebelumnya. Soraya malah dihadapkan dengan sebuah pilihan yang bisa menguntungkan nya.
Soraya tampak aneh melihat pak Adrian tampak diam. Tak berapa lama seorang pria bertubuh tegap namun berpakaian sangat rapi dan memiliki wajah yang sangat tampan tiba-tiba masuk bersama satu orang pria yang tak kalah tampannya darinya.
"Silahkan masuk, Tuan" ucap Adrian.
Soraya menatap lekat kepada dia orang pria yang di sapa oleh Adrian. Ada rasa takut namun Soraya mencoba tetap tenang.
"Ini gadis yang saya maksud Tuan" ucap Adrian, seraya menatap Soraya intens.
Soraya menyela, ia belum menyadari apa yang akan terjadi padanya.
"Apa-apaan ini, Pak Adrian? Gadis yang di maksud? Maksud anda apa? " pekiknya.
Soraya panik setengah mati, ia takut jika pria-pria ini adalah seseorang yang juga berhubungan dengan hutang-hutang ayahnya. Tak lama satu pria yang pertama dilihat Soraya mendekatinya.
"Tenang, nona,. Kami tidak akan menyakitimu." ucap Ray.
Ray pun mengambil sebuah map berwarna hijau dan meletakkannya diatas meja.
"Silahkan duduk, nona" tambah Ray.
Sementara Arman hanya duduk di kursi Adrian dan menatap keluar jendela tanpa melihat mereka sedikit pun.
Soraya menelan ludah dengan gugup. Ia merasa seluruh tubuhnya menegang, tapi akhirnya ia menuruti ucapan Ray dan duduk perlahan di kursi yang disediakan. Tatapannya berpindah-pindah antara Ray dan Adrian, mencoba memahami situasi yang sedang terjadi.
Ray membuka map hijau itu dan mendorongnya ke arah Soraya.
"Nona Soraya, sebelum saya menjelaskan lebih jauh, tolong baca ini terlebih dahulu," katanya dengan nada datar.
Soraya meraih map itu dengan tangan gemetar dan membukanya. Di dalamnya terdapat dokumen-dokumen yang terlihat resmi. Matanya menyusuri halaman pertama dan langsung terpaku pada tulisan di bagian atas:
"Perjanjian Kerjasama Eksklusif"
Soraya membaca lebih jauh. Isinya menjelaskan bahwa dirinya akan dipekerjakan sebagai "pendamping pribadi" salah satu pemilik perusahaan, yaitu Arman, selama satu tahun. Sebagai imbalannya, semua utang keluarganya akan dilunasi, dan ia akan mendapatkan gaji besar setiap bulan.
Soraya meletakkan map itu dengan cepat, seolah-olah dokumen itu terbakar di tangannya.
"Apa maksudnya ini? Pendamping pribadi? Ini bukan pekerjaan administrasi seperti yang Anda janjikan, Pak Adrian!" suaranya meninggi, campuran antara marah dan takut.
Pak Adrian tampak canggung, sementara Ray tetap tenang. Akhirnya, Arman yang duduk di kursi Adrian berbicara untuk pertama kalinya. Ia berbalik menghadap Soraya dengan wajah tanpa ekspresi.
"Tenang, Nona Soraya. Tidak ada yang memaksa Anda. Ini hanya sebuah tawaran," katanya dengan suara rendah namun tegas.
"Kami tahu situasi Anda. Kami tahu bahwa Anda membutuhkan uang untuk melunasi utang-utang ayah Anda dan menyelamatkan rumah Anda. Ini adalah cara tercepat untuk melakukannya."
Soraya menatapnya tajam.
"Jadi, Anda pikir saya akan menjual diri saya demi uang? Saya datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk dijadikan pendamping siapa pun!"
Arman tidak menunjukkan reaksi emosional apa pun.
"Tidak ada yang mengatakan bahwa Anda harus menjual diri Anda. Peran Anda sebagai pendamping hanya mencakup menghadiri acara-acara resmi, menemani saya dalam perjalanan bisnis, dan menjaga citra publik perusahaan. Semua itu profesional. Anda akan dihormati sepenuhnya."
Soraya menatapnya ragu.
"Kalau begitu, mengapa tidak ada perempuan lain yang bisa melakukannya? Mengapa saya?"
Arman menghela napas pelan, lalu berdiri dan berjalan mendekati jendela.
"Karena saya memilih Anda. Saya tidak percaya orang sembarangan, dan saya melihat Anda adalah orang yang jujur dan berkomitmen."
Ray menambahkan dengan nada lebih lembut,
"Nona, ini memang bukan pekerjaan biasa. Tapi kami yakin Anda mampu melakukannya. Dan, seperti yang sudah kami katakan, tidak ada paksaan. Jika Anda menolak, kami tidak akan mempersulit Anda."
Soraya terdiam. Tawaran itu memang terdengar menggiurkan. Ia bisa melunasi semua utang ayahnya dalam waktu singkat dan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk ibunya. Namun, hati kecilnya merasa ragu. Bagaimana jika semua ini hanya jebakan? Bagaimana jika ada sesuatu yang lebih dari sekadar "pendamping pribadi"?
Ia bangkit dari kursinya, mengembalikan map itu ke meja, dan menatap mereka dengan tegas.
"Saya tidak bisa memberikan jawaban sekarang. Saya butuh waktu untuk berpikir."
Ray mengangguk.
"Tentu saja. Ambil waktu sebanyak yang Anda butuhkan. Tapi kami perlu jawaban Anda dalam waktu tiga hari."
Soraya berjalan keluar dari ruangan itu dengan langkah cepat, meninggalkan semua keraguan dan kebingungan di belakangnya. Di luar kantor, udara terasa dingin menusuk. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan hatinya yang bergolak.
Saat tiba di rumah, Sheila langsung menyadari ada yang berbeda dengan putrinya.
"Ada apa, Soraya? Kau terlihat gelisah," tanya Sheila khawatir.
Soraya menggigit bibirnya. Ia ingin menceritakan semuanya, tapi ia juga takut membuat ibunya semakin tertekan.
"Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya sedikit lelah," jawabnya akhirnya.
Namun, malam itu Soraya tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar. Haruskah ia menerima tawaran itu demi menyelamatkan ibunya? Atau haruskah ia mencari jalan lain, meskipun ia tidak tahu apa itu?
Dalam hatinya, ia tahu tiga hari ke depan akan menjadi hari-hari terberat dalam hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments