Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Saran seorang sahabat.
"Bastian sakit!"
"Apa? Kok bisa sakit." delikku. Huh, bikin repot saja. Sudahlah bertamu tengah malam, malah pake acara sakit segala lagi. Kok bisa-bisanya ya. Aku melemparkan selimut dan bergegas turun dari ranjang.
"Abang tau dari mana kalau dia sakit."
"Tadi aku ditelepon, katanya dia tak enak badan."
"Kenapa gak telepon Dokter Roby aja, Bang." Dokter Roby adalah dokter keluarga Arbian.
"Sudah, masih diperjalanan menuju kemari."
Aku berdiri di ambang pintu, menatap kedalam kamar dimana Bastian tengah terbaring. Tubuhnya dibalut selimut hingga ke batas leher. Tempat tidur agak bergetar, sepertinya Bastian menggigil.
"Badannya panas gak, Bang."
"Iya Dek, dia demam." Arbian meraba kening Bastian. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Aku pergi ke arah dapur untuk mengambil air putih.
"Berikan ini dulu, Bang." aku mengangsurkan segelas air putih hangat. Lalu aku kembali ke dapur untuk mengambil air untuk mengompres keningnya. Kucelupkan handuk kecil ke dalam baskom berisi air matang. Kemudian Arbian menempelkannya di kening Bastian.
Tidak berapa lama aku mendengar suara deru mobil masuk ke halaman. Arbian keluar kamar untuk menyambut Dokter Roby. Keduanya jalan beriringan masuk ke kamar.
Dokter Roby memeriksa tubuh Bastian. Suhu badannya sangat tinggi. Setelah menyuntikkan obat penurun panas, Dokter Roby juga memberikan secarik kertas berisi resep obat untuk dibeli di apotik. Dokter juga menyarankan kalau demamnya belum turun sebaiknya dibawa saja ke rumah sakit.
"Teman saya sakit apa Dokter?" ucap Arbian.
"Sepertinya gejala typus. Bisa juga karena kelelahan." Dokter Roby menjelaskan cara minum obat dan beberapa hal penting lainnya.
"Maafkan aku ya, telah merepotkan kalian." ucap Bastian lirih setelah Dokter Roby pergi.
"Sudahlah Bas, gak usah mikir apa-apa. Yang penting kamu segera pulih. Makanya jagan terlalu ngoyo kerjanya sampai lupa jaga kesehatan."
Aku hanya terdiam menyaksikan keduanya. Dalam hati aku merasa iba melihat Bastian. Ternyata kedua orang tua serta saudara Bastian tinggal di Jawa. Dia sedang menangani sebuah proyek besar di kota ini. Mungkin karena masih lajang jadi cuek soal kesehatannya.
"Kamu balek tidur aja dek." ucap Arbian saat melihatku menguap. Kulirik jam di atas nakas sudah menjelang pagi. Tanggung sekali buat lanjutin tidur.
Kutinggalkan mereka berdua di kamar. Aku berencana memasak bubur untuk sarapan Bastian. Untukku dan Arbian aku masak nasi goreng saja. Selesai masak aku mengantar sarapan untuk Bastian. Mungkin karena pengaruh obat yang telah bereaksi dalam tubuhnya, demamnya sudah turun.
"Bisa sarapan sendiri, Bas. Atau aku suapin." Canda Arbian membuat Bas tersenyum rikuh.
"Kalo Mbak Rania yang suapin boleh? Aku mau lho." sahutnya membalas candaan Arbian. Mataku melotot kearah mereka berdua yang disambut dengan tawa segar keduanya. Bisa-bisanya Bastian bercanda begitu. Tapi aneh kenapa aku jadi grogi begini. Apalagi saat ingat kejadian di pesta kemarin itu.
"Bercandanya jangan kelewat. Dah dikasih jantung minta hati lagi." balasku judes. Menutupi rasa grogiku, "atau sarapannya aku tarik lagi?" ancamku.
"Weh, sadis banget kamu dek." kekeh Arbian. "Eh, sarapanku mana, Dek?"
"Bentar aku ambilkan." Aku kembali ke dapur. Mengambil sepiring nasi goreng untuk sarapan Arbian. Lalu kembali ke kamar. Bastian sudah duduk di tempat tidur dan menikmati bubur buatanku.
"Makasih ya, Mbak Rania buburnya enak sekali." puji Bastian tulus.
"Sama-sama."
Ku angsurkan nasi goreng ke Arbian dan dia menikmatinya dengan lahap. Aku keluar kamar untuk sarapan juga di ruang makan.
Usai beberes peralatan dapur dan alat makan, aku kembali ke kamarku untuk mandi dan siap-siap mau pergi kerja.
Saat aku bersiap hendak pergi, Arbian masuk ke dalam kamar.
"Gak kerja, Bang?" tanyaku asal saja.
"Aku sudah telepon asistenku gak masuk hari ini."
"Karena Bas, ya?" Aku meliriknya yang duduk di sofa.
"Iya, Dek. Gak enak ninggalin dia sendiri disini."
"Iya juga sih, aku pamit ya." kucium punggung tangan Arbian.
"Abang antar ya."
"Gak usah Bang." tolakku. Tumben dia mau berbaik hati mengantarku kerja. Kecuali hal-hal tertentu semisal hujan turun, Arbian memang mau mengantar jemputku kerja. Lain dari itu aku kemana-mana pergi dengan si hitam manis honda vario kesayanganku.
"Hai Rania, mat pagi. Tumben datang sepagi ini." tegur Uly saat aku memarkirkan sepeda motor. Uly yang baru sampai juga memarkirkan sepeda motornya bersisian denganku.
"Kepagian ya." ledekku.
"Hooh, biasanya 'kan kesiangan, mentang-mentang anak emas." balasnya meledekku. Lalu kami jalan beriringan menuju ruang kerja.
"Eh, aku serius lo. Gak biasanya muncul jam segini." Uly memperhatikan jam yang melingkar di lengannya.
"Kalau begitu aku balik lagi aja." aku pura-pura membalikkan badan. Uly tergelak melihat tingkah konyolku.
"Kirain berantam sama suami gokilmu itu.
"Gak lah, buat apa. Bikin capek aja." Uly memang tau kisah rumah tanggaku. Karena dia adalah tempat curhatku bila dapat masalah. Sebaliknya juga begitu dengannya.
"Yakin baik-baik saja?" deliknya kurang percaya.
"Kenapa gak kamu tukar tambah aja suami kamu itu, Ra. Kalau aku jadi kamu udah aku tinggalkan. Kamu itu berhak bahagia lo. Suami macam apa itu, tinggal seatap tapi hatinya di tempat lain!" ungkapnya kesal.
"Kamu juga sebelas duabelas gilanya. Mau aja nurutin suami gitu."
"Pagi-pagi udah es-mosi gini, ketempelan roh halus, ya." gurauku menyurutkan kekesalannya. Uly mengerucutkan mulutnya mendengar sindiranku.
"Serah dah." balasnya. Aku terbahak meski hanya sejenak. Dalam hati aku memang membenarkan ucapannya itu. Namun, aku sudah terlalu jauh terjebak dengan masalah ini. Susah memulihkannya seperti semula. Padahal aku juga sudah muak dengan diri sendiri karena belum bisa melepaskan diri.
Tiba-tiba sebuah notif di aplikasi berlambang telepon hijau masuk, aku melihat nama si pengirim pesan. Ternyata nama ibu mertua. Menanyakan khabarku dan menyuruh datang kerumah beliau minggu sore. Berarti, lusa.
Aku membalas pesan ibu mertua dan akan mengasih tau sama Arbian.
"Siapa itu?" Uly melirik kearahku.
"Mamer. Nyuruh datang kerumah hari minggu sore." laporku sama Uly.
"Untungnya mertua kamu perhatian banget sama kamu, Ra. Tapi aku kasihan juga. Bagaimana reaksi mereka kalau tau kondisi rumah tanggamu yang sebenarnya." ucapnya prihatin. "Lakimu itu memang laki gak tau diri."
Aku manarik nafas panjang. Menghelanya perlahan seolah mau melepas beban hidupku. Apa yang dikatakan Uly memang benar. Apa kata kedua keluarga besarku jika mengetahui rahasia pernikahan kami ini. Aku saja tidak bisa membayangkannya. Seperti apa amarah yang akan aku terima kelak. Dan alasan apa yang harus aku utarakan nanti.
"Jujurlah, Ra, sama mertua kamu. Setidaknya beliau tau kalau anaknyalah yang bermasalah. Kalau kamu diam terus ntar kamu dituduh membenarkan tindakannya itu. Biar bagaimanapun semua ini salah." Aku tercenung mendengar ucapan Uly. Sarannya itu memang bagus. Tapi masalahnya apa aku punya nyali melakukan saran itu. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor