Park Eun-mi, seorang gadis Korea-Indonesia dari keluarga kaya harus menjalani banyak kencan buta karena keinginan keluarganya. Meski demikian tak satupun calon yang sesuai dengan keinginannya.
Rayyan, sahabat sekaligus partner kerjanya di sebuah bakery shop menyabotase kencan buta Eun-mi berikutnya agar menjadi yang terakhir tanpa sepengetahuan Eun-mi. Itu dia lakukan agar dia juga bisa segera menikah.
Bagaimana perjalanan kisah mereka? Apakah Rayyan berhasil membantu Eun-mi, atau ternyata ada rahasia di antara keduanya yang akhirnya membuat mereka terlibat konflik?
Yuk! Simak di novel ini, Kencan Buta Terakhir. Selamat membaca.. 🤓
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 20
"Tujuh belas ribu Won", ucap Asna tanpa melihat pada In-ho, sebagaimana pada pelanggan yang lain.
In-ho kemudian mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dan menyerahkannya pada Asna. Matanya masih ke arah wanita itu dengan tatapan sendu. Ingin rasanya mengajak Asna bicara hati ke hati tentang apapun yang telah menyebabkan perubahan sikapnya. Tapi tentu saja tak mungkin, sekedar menyapa pun tak akan mendapat tanggapan darinya. In-ho meringis dalam hati, Asna adalah sesuatu yang terasa jauh dari jangkauannya.
"Selamat pagi, Assalamualaikum", ucap seseorang yang baru datang kepada Rayyan.
"Wa'alaikumussalam", Rayyan menyahut dengan sedikit sungkan pada Eun-mi, mengira Eun-mi masih kesal padanya.
"Sarapanku mana?".
Sontak Rayyan kelabakan, karena jatah Eun-mi sudah ia hibahkan pada salah satu baker yang memang belum sarapan.
"Itu.. Aku bikinkan sebentar ya. Kamu tunggu aja", sahut Rayyan segera berdiri bermaksud memasak sarapan untuk Eun-mi.
"Oh iya, itu ada teman kencan butamu", Rayyan menunjuk In-ho yang terlihat baru selesai membayar.
Eun-mi mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Rayyan.
"Selamat pagi", sapa In-ho seraya membungkuk pada Eun-mi.
Eun-mi pun membalasnya sambil tersenyum tipis kemudian melirik ke arah Rayyan yang kini terlihat salah tingkah.
"A..aku.. permisi dulu. Silahkan", ucap Rayyan mempersilahkan Eun-mi dan In-ho untuk duduk di set meja tempat dia duduk tadi lalu segera berlalu menuju pintu belakang.
Sesampainya di lantai tiga tempat tinggalnya, Rayyan segera ke dapurnya untuk memasak. Lalapan, itu yang dipilihnya. Biar cepat karena ini sudah cukup terlambat bagi Eun-mi untuk sarapan.
Tapi pikirannya berada di lantai satu, tepatnya di ruang etalase. Ada rasa tersisih dalam hatinya saat melihat Eun-mi dan In-ho bersama, walaupun dia sendiri yang menyuruh mereka. Apa dia tak rela? Mungkin, tapi bukankah ini solusi terbaik untuk membantu Eun-mi. Bukankah perasaan dan pikirannya tak penting bila dibandingkan dengan apa yang bisa dia berikan untuk Eun-mi?
Jadilah selama memasak, pikiran Rayyan terus berkutat tentang hal itu. Setelah selesai, ia segera turun membawa sarapan itu menuju ruangan Eun-mi. Bukan satu, tapi dua. Sepertinya hari ini ia harus menyediakan seporsi lagi untuk Wina agar bisa menemani Eun-mi sarapan.
Saat dia di dapur, Eun-mi ternyata baru masuk dari pintu ruang etalase. Dia menatap Rayyan dengan senyuman yang terlihat dipaksakan.
"Kamu masak apa?", tanyanya, kemudian mendekati Rayyan untuk melihat apa yang dia bawa.
"Cuma lalapan, gak papa ya?", sahut Rayyan tak enak.
"Satu buat Wina biar kalian bisa makan bareng", sambungnya.
"Makasih" hanya itu yang keluar dari mulut Eun-mi.
"Eng.. teman kencanmu..", Rayyan tak meneruskan kalimatnya.
"Oh, dia sudah pergi. Dia tadi bilang kalau.. dia sudah memikirkannya dan dia bersedia", entah mengapa Eun-mi menjadi tertunduk saat mengatakannya.
Rayyan meletakkan bawaannya di meja dapur karena tangannya terasa sedikit lemas. Lalu dia tersenyum.
"Alhamdulillah... berarti selesai juga drama kencan buta kamu Mi. Selamat", ucap Rayyan.
Eun-mi hanya mengangguk-angguk, tapi tatapannya masih menunduk.
"Oke, sekarang cepat sarapan. Calon pengantin gak boleh sampai sakit. Ayo!", ajak Rayyan yang kembali mengambil dua piring yang tadi diletakkannya.
"Terus, kamu..", kini giliran Eun-mi yang tertahan.
Rayyan mengerutkan dahinya, tak mengerti arah kalimat Eun-mi.
"Maksudku, rencana pernikahan kamu gimana?", tanya Eun-mi ragu-ragu.
"Aku? Ya.. kayak kemarin aku bilang. Kalau urusan kamu sudah beres, aku akan nerusin prosesnya. Mungkin dalam satu dua hari ini akan ada chef baru yang akan membantuku di sini. Dia nanti yang akan menggantikan aku dan sementara biar belajar penyesuaian dulu sama sistem kerjaku", sahut Rayyan.
Apa?! Bahkan Rayyan sudah menyiapkan pengganti dirinya? Eun-mi meringis dalam hati mendengarnya. Sepertinya Rayyan memang benar-benar ingin segera pulang ke Indonesia untuk menikah.
"Kamu sudah ketemu orangnya?!", Eun-mi merasa kalau ini terlalu cepat.
"Sudah, temanku waktu di Singapura. Kontrak kerjanya selesai dua hari yang lalu. Waktu kutawari kerja di sini, dia langsung mau bahkan sepertinya bersemangat. Mungkin besok atau lusa dia kemari", sahut Rayyan seraya berjalan ke arah ruangan Eun-mi.
Mau tak mau Eun-mi mengikutinya. Di dalam ruangan terlihat Wina tengah serius mengerjakan tugasnya. Dia sedikit terkejut saat melihat Rayyan meletakkan sepiring sarapan di mejanya.
"Temenin aku makan ya Win. Rayyan tadi sudah sarapan duluan", pinta Eun-mi.
Wina langsung sumringah. Walau sudah sarapan, ia takkan keberatan kalau disuruh makan lagi. Lalapan pula, tak mungkin bisa ia tolak.
"Makasih Mbak", ucapnya, lalu menutup laptopnya.
"Makasih Ray, sering-sering ya?", Wina melirik usil pada Rayyan.
Rayyan tak suka, ia pun segera permisi meninggalkan ruangan itu.
"Kok Mbak Eun-mi kelihatan gak mood gitu. Lagi bete ya?", selidik Wina yang melihat Eun-mi menyendok sarapannya dengan malas.
"Gak kok, cuma kebetulan urusan pekerjaanku lagi banyak. Perusahaan sedang ada proyek besar, jadinya menyita waktu sama pikiran. Udah, kamu gak usah ikut-ikutan mikirin itu. Fokus sama urusan toko aja. Aku mengandalkan kamu lho", ucap Eun-mi.
Wina menyerah. Mungkin kali ini dia memang harus menahan diri untuk tak terlalu ikut campur, walaupun itu membuatnya tak puas hati.