KESHI SANCHEZ tidak pernah tahu apa pekerjaan yang ayahnya lakukan. Sejak kecil hidupnya sudah bergelimang harta sampai waktunya di mana ia mendapatkan kehidupan yang buruk. Tiba-tiba saja sang ayah menyuruhnya untuk tinggal di sebuah rumah kecil yang di sekelilingnya di tumbuhi hutan belukar dengan hanya satu orang bodyguard saja yang menjaganya.
Pria yang menjadi bodyguardnya bernama LUCA LUCIANO, dan Keshi seperti merasa familiar dengan pria itu, seperti pernah bertemu tetapi ia tidak ingat apa pun.
Jadi siapakah pria itu?
Apakah Keshi akan bisa bertahan hidup berduaan saja bersama Luca di rumah kecil tersebut?
***
“Kamu menyakitiku, Luca! Pergi! Aku membencimu!” Keshi berteriak nyaring sambil terus berlari memasuki sebuah hutan yang terlihat menyeramkan.
“Maafkan aku. Tolong jangan tinggalkan aku.” Luca terus mengejar gadis itu sampai dapat, tidak akan pernah melepaskan Keshi.
Hai, ini karya pertamaku. Semoga kalian suka dan jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fasyhamor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Bisa Menepati Janji
Malam harinya, Keshi duduk di sofa ruang tamu dengan takut. Ayahnya sudah berjanji akan membawa Nina kemari supaya dirinya bisa bertemu lagi, mungkin ini akan menjadi yang terakhir kalinya Keshi bertemu dengan Nina.
Suara langkah kaki membuat gadis itu mendongak cepat, matanya melihat sosok seorang penjaga yang sedang menyeret Nina dengan kasar.
Keshi meneguk saliva melihat itu, Nina terlihat basah kuyup, kedua tangannya terikat di belakang.
“Nina.” Keshi memanggilnya dengan lirih.
Nina mendongak dengan tatapan nyalang kearah Keshi, sedetik kemudian gadis itu mengulas senyum ganjil.
“Halo, Keshi.” Nina membalas sapaan Keshi, membuat Keshi menjadi takut dengan gadis itu.
Penjaga itu mendudukkan Nina dengan kasar pada kursi kayu, lalu mengingat kedua kaki Nina supaya menempel dengan kursi kayu tersebut.
Keshi duduk berhadapan dengan Nina. Keshi menatap seorang penjaga yang berdiri tegap di belakang Nina.
“Bisakah kamu pergi?” usir Keshi dengan pelan pada penjaganya itu.
“Ya? Maafkan saya, Nona. Saya…”
“Kumohon.” pinta gadis itu sungguh-sungguh.
Penjaga itu pun hanya dapat menghela napas dan mengangguk, ia berjalan keluar dari mansion dan mengawasinya dari jarak jauh.
“Nina.” Keshi memanggil temannya lagi. Tidak, Nina bukanlah temannya lagi sekarang.
Ekspresi Nina berubah menjadi datar dengan tatapan mata yang tajam.
“Apa kamu ingin membunuhku karena aku sehabis menusukmu?” tanya Nina.
Keshi menggigit bibir bawahnya menahan tangis.
“Oh, benar. Mana mungkin gadis naif sepertimu bisa membunuh orang.” Nina melanjutkan menggunakan nada mengejek. Sebentuk seringai sinis terlihat di wajahnya.
“Kenapa kamu melakukan itu padaku?” sekuat tenaga Keshi bertanya tanpa nada bergetar, walau sungguh saat ini ia ingin sekali menangis.
“Apa kamu bodoh? Apa perkataanku saat itu masih tidak kamu pahami? Ayahmu membunuh ibuku!” Nina menaikkan nada bicaranya, membentak.
“Apa kamu punya buktinya? Kamu hanya sedang di manfaatkan oleh ayahmu sendiri, Nina.” jawab Keshi dengan tegas.
Nina tertawa sinis, kedua tangannya yang terikat di belakang tubuh sedang mengepal kuat-kuat.
“Apa pedulimu jika aku di manfaatkan oleh ayahku? Kamu bilang aku tidak punya buktinya? Memang benar aku tidak mempunyai buktinya, tapi aku melihat jelas siapa pelaku yang membunuh ibuku dan itu adalah ayahmu, Keshi!” Nina berteriak kencang, kedua matanya berkaca-kaca menatap gadis di hadapannya yang pernah ia anggap teman.
“Aku mendengar saat itu ada suara tembakan yang berasal dari ruang kerja ayahku, saat aku menyusul ke sana dan hendak membuka pintunya, ayahmu keluar dari ruang kerja ayahku dengan darah di tangannya. Ibuku sudah mati saat aku masuk ke dalam ruang kerja ayahku, Keshi! Ibuku bersimbah darah dalam pelukan ayahku!” Nina terisak pilu saat menjelaskan itu semua.
Keshi meneteskan air matanya, ia sendiri tidak tahu harus mempercayai ayahnya atau Nina.
“Jika ayahku memang benar pelakunya, sudah pasti sejak dulu dia sudah masuk penjara.” jawab Keshi, nadanya berubah menjadi parau.
Nina masih terisak, bibirnya menyunggingkan senyum miring.
“Kamu memang naif, Keshi. Apa sampai sekarang kamu tidak tahu apa pekerjaan asli ayahmu?”
Keshi melebarkan matanya, jantungnya berpacu cepat. Apa Nina tahu pekerjaan ayahnya?
“Apa?”
“Kamu ingin tahu? Aku bahkan tahu semua jejak yang ayahmu lakukan selama ini.” Nina menjawab.
Keshi terdiam, ia benar-benar tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Melihat keterdiam Nina membuat gadis itu kembali membuka suaranya.
“Ayahmu adalah seorang…”
“Apa ini Nina Lewely? Anak kedua dari Mikael Lewely dan Ana Lewely?” seorang pria masuk ke dalam ruang tamu, menghentikan ucapan Nina.
Dante mengulas senyum lebar menatap Nina, kepalanya menunduk melihat sepupunya yang terdiam menatap kosong ke depan dengan wajah berderai air mata.
“Adik kecil, ini sudah malam. Saatnya kamu tidur.” Dante mengulurkan kedua tangannya ke hadapan Keshi, bermaksud untuk menggendongnya menuju kamar.
Keshi melirik tajam pada sepupunya dan menghempas kasar kedua tangan Dante. Gadis itu bangkit berdiri dan berjalan melewati Dante dengan cepat menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Dante menatap kepergain Keshi lalu mengalihkan pandangannya pada Nina yang masih menangis kecil.
“Tutup mulut kecilmu, sayang.” ucap Dante pada Nina yang kini menatap dirinya dengan tatapan tajam.
Pria usia 28 tahun itu memijat tengkuknya yang terasa tegang karena di gunakan untuk mengejar Mikael selama berhari-hari ini.
“Kurung dia di ruang bawah tanah lagi.” Dante berucap pada seorang penjaga yang tadi membawa Nina masuk ke dalam mansion.
Penjaga itu mengangguk, ia membuka ikatan kaki dan segera menarik tubuh Nina dengan kasar untuk keluar dari mansion menuju ruang bawah tanah yang ada di dekat rumah para penjaga.
“Biarkan aku yang membawanya ke bawah.” Luca menghadang si penjaga yang membawa Nina.
Penjaga itu menukikkan kedua alisnya tajam. “Ini tugas yang di berikan padaku, bung.”
“Biarkan aku yang membawanya.” Luca kembali membujuk.
Penjaga itu menatap selidik pada wajah datar Luca, mencari maksud tertentu yang di sembunyikan wajah datar tersebut. Tetapi ia tidak menemukan apapun, jadi penjaga itu pun mendorong tubuh Nina pada Luca, membiarkan bodyguard nona majikannya yang membawa gadis itu.
Luca menyeret Nina untuk mengikuti langkahnya yang cepat menuju ruang bawah tanah.
Nina berkali-kali menoleh pada pria tampan itu dengan senyum menggoda.
“Luca…aku tahu kamu pasti akan menolongku.” ucap gadis itu.
Luca mengernyit jijik pada perkataan Nina, ia secepatnya segera menuruni tangga dan mendorong tubuh Nina untuk duduk di kursi kayu yang berada di ruangan tanpa jendela tersebut.
“Menolongmu? Dalam mimpimu.” jawab Luca, matanya menatap remeh pada Nina yang duduk di hadapannya.
Nina masih tersenyum, kepalanya mendongak tinggi karena tubuh Luca sangatlah tinggi.
“Kamu akan menolongku ‘kan, Luc?”
“Tidak.”
“Luc, aku sudah tahu dari ayahku kalau kamu duluanya bekerja pada ayahku. Kamu sekarang berada di hadapanku untuk membantuku ‘kan?” Nina menatap Luca dengan tatapan memohon sekaligus menggoda.
Luca menarik seringai tipis.
“Aku sudah tidak bekerja pada ayahmu lagi. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Kamu ingin tahu kenapa? Karena ayahmu tidak bisa menepati janjinya kepadaku, jadi saat aku melihat ketidakberdayaan dirimu seperti ini, itu sudah sangat puas untukku.” jawab Luca.
Nina terperangah, matanya membola mendengarnya.
“Ayahku menjanjikan sesuatu padamu?” tanya Nina, ia menelan salivanya gugup.
Luca menengadahkan kepalanya dengan tangan berada di tengkuknya. Bibirnya tidak lagi menyeringai tipis, matanya kini menatap tajam pada Nina.
“Aku bisa menepati janji yang dulu ayahku buat, tapi kamu harus bantu aku melarikan diri dari sini, Luc.” Nina menatap memohon pada Luca.
“Sayangnya kamu tidak akan bisa menepati janji yang ayahmu dulu buat kepadaku.”
“Kenapa?”
“Karena dia sudah mati, jadi tidak perlu untuk menepati janji itu.” jawab Luca, ada nada tercekat saat mengatakan kalimat tersebut.
“Luc, kumohon tolong aku.” pinta Nina, air mata jatuh ke pipinya.