Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Dasar Pak Fajar gila, mesum, stres, ngeselin!"
Semua umpatan itu keluar dari mulut Agnes tanpa henti. Kekesalannya masih belum mereda, terutama setiap kali ia mengingat kejadian saat sarapan tadi pagi.
"Vitamin? Vitamin apaan coba? Kalau mencuri ciumanku lagi dan lagi!" gerutunya sambil mengusap bibirnya dengan kasar. Ini bukan pertama kalinya, tapi Agnes masih merasa seharusnya hal itu tidak pernah terjadi. Apalagi, ia terus-menerus kecolongan.
Oke, sekali kecolongan mungkin karena ia kurang waspada. Kali kedua, mungkin ia memang tidak berdaya. Tapi kali ketiga dan seterusnya? Apa ini yang disebut kebodohan?
"Arghhhh!" teriak Agnes frustrasi sambil menjambak rambutnya sendiri.
"Nes, kamu kesambet?" tanya Berta yang baru saja datang dengan ekspresi bingung.
"Ta, pokoknya aku mau bikin racun terbaik di dunia! Biar si Fajar itu otaknya bisa lurus. Sesuai sama wajahnya yang datar itu!" ujar Agnes penuh semangat sambil mengepalkan tangan kuat-kuat.
Berta tertawa kecil, lalu mendekat. "Pak Fajar lagi, Nes?"
"Siapa lagi yang bikin aku udah kayak orang kesurupan kalau bukan dia? Sejak berhubungan dengannya, aku merasa hariku tidak pernah tenang!"
Berta mengacungkan jarinya lalu menggerakkannya ke kiri dan ke kanan dengan cepat sembari berkata, "No, no, no."
"Justru aku merasa kamu semakin hidup, Nes. Lihat wajahmu semakin ceria dan merona. Gak hanya itu, sekarang tiap kali kita bertemu yang kamu bicarakan bukan lagi grup boy band BTS, tapi Pak Fajar. Nih, aku rasa kamu memang sudah kena racun cinta yang ditebarkan Pak Fajar—eh, bukan ditebarkan, tapi lewat mulut ke mulut."
"Berta!" pekik Agnes. Padahal ia sudah serius mendengarkan apa yang dikatakan sahabatnya, tapi ujung-ujungnya malah diledek. Punya sahabat seperti ini memang harus segera dimuseumkan, kan?
"Pelanin suaramu, Nes."
"Habis kamu ngomongnya itu gak pakai logika. Coba dilihat dari mana aku suka sama dia? Yang ada kamu sangat tahu kalau aku mau pisah darinya!" ujar Agnes.
Berta merangkul sahabatnya yang kini duduk di sampingnya. "Oke, kalau kamu gak percaya, kebetulan hari ini jadwal Pak Fajar masuk kelas kita, kan?"
"Iya, ini lagi nungguin itu dosen masuk."
"Coba pejamkan matamu, lalu fokus pada pintu masuk di sana. Sebentar lagi Pak Fajar akan masuk kelas ini. Saat dia datang, kamu buka matamu. Jika jantungmu gak berdetak lebih cepat, aku akan percaya kalau kamu gak suka sama dia. Tapi kalau sebaliknya, berarti kamu sudah tidak tertolong. Dan impianmu untuk pisah gak akan pernah tercapai."
Agnes menganggukkan kepala, ia berani bertaruh pada Berta kalau ia sama sekali tidak menyukai Fajar. Omongan kosong macam apa itu, ya kan?
"Oke." Agnes menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan matanya. Ia merasa ini hanya lelucon konyol yang dibuat Berta untuk menggodanya, tapi ia ingin membuktikan kalau ia tidak terpengaruh oleh kehadiran Pak Fajar.
"Fokus, Nes. Bayangkan pintu itu, dan nanti saat dia masuk, kamu buka matamu," bisik Berta sambil menahan tawa.
"Ya, ya. Aku tahu!" jawab Agnes setengah kesal. Ia mencoba berkonsentrasi, meskipun ia tahu ini tidak ada hubungannya dengan kenyataan.
Terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arah pintu. Hening sejenak. Kemudian suara pintu terbuka.
"Selamat pagi, semua," suara berat yang sudah tak asing lagi terdengar memenuhi ruangan.
Agnes membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada sosok Pak Fajar yang berdiri di depan kelas dengan ekspresi datarnya. Kemeja birunya terlihat rapi, rambutnya tertata sempurna, dan seperti biasa, tatapannya menusuk tanpa banyak usaha.
Jantung Agnes mulai berdetak lebih cepat. Ia merasakan sesuatu yang aneh—campuran gugup dan frustrasi. Ia mencoba mengendalikan diri, tapi percuma. Ia tahu Berta sedang mengamatinya dari samping dengan senyuman licik.
"Bagaimana, Nes?" tanya Berta pelan, nyaris berbisik.
Agnes berpaling cepat, menghindari tatapan sahabatnya. "Apa-apaan sih? Aku normal-normal aja. Jantungku emang kayak gini kalau habis lari pagi."
"Lari pagi? Kamu sejak tadi duduk di sini, Nes. Memangnya saat memejamkan mata, kamu pindah dimensi?" balas Berta sambil menahan tawa.
"Diam, Ta!" bentak Agnes setengah berbisik, mukanya mulai memerah.
Pak Fajar memandang ke arah mereka dari depan kelas, membuat Agnes semakin salah tingkah. "Bisa kita mulai pelajarannya? Atau kalian berdua mau berdiskusi di luar dulu?" tanyanya dengan nada tegas tapi tetap tenang.
Agnes merasa kepalanya mendidih. Ia menunduk sambil bergumam, "Dasar Pak Fajar ngeselin!"
Berta hanya menutup mulutnya, menahan tawa lebih keras. Saat itu juga Sherly yang datang terlambat membawa paper bag untuk Fajar membuat Berta langsung menyenggol lengan Agnes. "Nes, saingan cintamu datang tuh. Mana bawa tentengan lagi."
Agnes langsung mengangkat kepalanya. "Biarin aja, aku masih yakin Pak Fajar akan menolak hadiah itu sama seperti sebelumnya."
"Kamu yakin banget, tapi gimana kalau dia malah menerima? Heh... Kamu memangnya gak tau semenjak Sherly masuk kampus kita dia jadi primadona kampus, apalagi sekarang dia anak bimbingan Pak Fajar, makin meroket namanya."
"Kamu serius? Itu baru kemarin loh, kenapa dia sudah berkembangbiak dan menguasai universitas ini?" tanya Agnes tak percaya.
"Itu namanya kekuatan orang cantik. Makanya aku bilang juga apa, kamu kasih kesempatan padanya sekarang, nikmati rasa cemburumu," jawab Berta.
Agnes menunjuk dirinya sendiri, "Aku cemburu?" Agnes mendengus seolah tak percaya dengan kalimat barusan, "Tidak akan!"
Namun Berta kekeh ingin menunjukkan pada Agnes bahwa sahabatnya ini sedang jatuh cinta, "Nes, kamu kalau belum percaya dengan apa yang aku katakan, sekarang ada cara lain untuk membuktikan kamu menyukai Pak Fajar."
Agnes melirik ke arah Berta, menunggu kalimat selanjutnya, "Cemburu!"
"Heh, ini lagi. Aku bilang gak akan."
Sementara itu, di depan, Sherly tersenyum dengan manis, "Pak Fajar, maaf aku terlambat, hari ini aku buat sarapan terlebih dahulu untuk Bapak," ucapnya sambil menyerahkan paper bag.
Fajar melirik sekilas ke arah Agnes, lalu beralih pada Sherly dengan ekspresi datarnya yang khas, "Sherly..."
Sherly menunjukkan raut wajah yang memohon, ia berkata pelan, "Kak, aku tahu Kakak gak suka sama aku, tapi tolong terima ini ya, jangan bikin aku malu."
Fajar kembali melirik ke arah Agnes, kali ini ia melihat wajah Agnes seperti menahan sesuatu dan tangannya juga mengepal kuat.
"Kak..." ucap Sherly lagi.
"Terima kasih, Sherly. Tapi lain kali tidak perlu repot-repot membawa sesuatu seperti ini," ucapnya sambil menerima paper bag dengan gerakan ragu.
Agnes yang melihat kejadian itu, darahnya mendidih. Ada semacam jarum yang menusuk hatinya, tanpa ia sadari suaranya keluar dengan keras, "Pak Fajar!" teriak Agnes, suaranya bergetar. Kini semua orang fokus padanya.
eh ini kok malah minta tolong ke fajar buat jd kekasih adiknya sehari.. haduuh itu malah bikin sherly tambah gila lah
licik sekali kamu Serly,,,,,,