NovelToon NovelToon
Gelapnya Jakarta

Gelapnya Jakarta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Sistem / Mengubah Takdir / Anak Lelaki/Pria Miskin / Preman
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 Pengejaran Terakhir

Langit mulai berubah, menandakan pergantian malam menuju fajar. Hutan yang gelap kini sedikit lebih terang dengan semburat oranye di cakrawala. Raka, Nadia, dan Pak Hasan terus melangkah dengan sisa tenaga yang mereka miliki. Mereka berhasil mendekati perbatasan hutan, tetapi ancaman masih membayangi.

"Lo lihat itu?" bisik Raka sambil menunjuk ke arah depan. Sebuah jalan setapak kecil dengan lampu redup menandai akhir dari hutan lebat.

"Jakarta," jawab Nadia lirih. Napasnya tersengal, tetapi matanya penuh harapan. "Kita hampir sampai."

Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara gemerisik kembali terdengar di belakang mereka. Suara langkah kaki cepat yang berusaha menutupi jejaknya.

"Mereka ngejar kita lagi," bisik Pak Hasan dengan nada serius.

Raka langsung mengambil posisi siaga. "Nadia, lo bawa Pak Hasan ke jalan itu. Gue tahan mereka di sini."

Nadia menatap Raka dengan ragu. "Lo nggak bisa sendirian, Raka! Mereka lebih banyak!"

"Percaya sama gue," jawab Raka tegas. "Kalau gue nggak tahan mereka sekarang, kita semua bakal ketangkep."

Pak Hasan meletakkan tangannya di bahu Raka. "Hati-hati, Nak. Kita nggak akan ninggalin lo."

Raka mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia menunggu sampai Nadia dan Pak Hasan mulai bergerak menuju jalan setapak sebelum ia mengambil posisi di balik pohon besar. Di tangannya, ia memegang sebuah batang kayu—satu-satunya senjata yang ia temukan di hutan.

**Pertempuran di Tengah Hutan**

Tiga pria muncul dari balik semak-semak, wajah mereka menunjukkan tekad untuk menangkap. Salah satu dari mereka membawa senjata api, sementara yang lainnya bersenjatakan pisau.

"Keluar, bocah! Gue tahu lo di situ!" teriak salah satu dari mereka.

Raka tidak menjawab. Ia menunggu dengan sabar sampai mereka mendekat, menyusun rencana di kepalanya. Ketika salah satu pria bersenjata pisau melangkah cukup dekat, Raka melompat keluar dari persembunyiannya dan menghantamkan batang kayu itu ke kakinya, membuat pria itu jatuh tersungkur.

"Kurang ajar!" teriak pria yang lain sambil mengarahkan senjatanya ke Raka.

Sebelum pria itu sempat menarik pelatuk, Raka melemparkan kayu ke arah wajahnya, cukup untuk mengalihkan perhatian. Ia segera menerjang, merebut senjata dari tangan pria itu, meskipun harus menerima pukulan keras di rusuknya.

Pertarungan berlangsung sengit. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, Raka menggunakan kecepatan dan kecerdasannya untuk melawan. Ia berhasil menjatuhkan dua dari mereka, tetapi yang terakhir, pria dengan tubuh besar, memberikan perlawanan sengit.

Pria itu mendorong Raka ke tanah, menindihnya dengan berat tubuhnya. "Lo pikir bisa ngelawan kami?"

Raka menggertakkan gigi, mencoba melawan meskipun tubuhnya mulai lemah. Ia meraba-raba tanah di sekitarnya, mencari sesuatu yang bisa digunakan, sampai akhirnya tangannya menemukan sebuah batu. Dengan sekuat tenaga, ia menghantamkan batu itu ke kepala pria tersebut, membuatnya jatuh ke samping.

Raka bangkit dengan napas terengah, memandang ketiga pria yang kini terkapar di tanah. Tapi ia tahu, ini belum selesai.

**Di Ujung Jalan**

Sementara itu, Nadia dan Pak Hasan berhasil mencapai jalan setapak. Dari kejauhan, terlihat sebuah truk tua yang sedang melintas. Nadia melambaikan tangan dengan panik.

"Berhenti! Tolong!" teriaknya.

Sopir truk, seorang pria tua dengan wajah penuh keriput, memperlambat laju truknya dan membuka jendela. "Ada apa, Nak?"

"Kami butuh bantuan. Ada orang yang mengejar kami," jawab Nadia cepat.

Tanpa banyak bertanya, pria itu membuka pintu belakang truknya. "Cepat naik. Gue bakal bawa kalian keluar dari sini."

Nadia membantu Pak Hasan naik ke dalam truk, tetapi ia terus menoleh ke arah hutan, berharap melihat Raka muncul.

"Dia pasti datang," gumamnya pelan.

Tidak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar. Raka muncul dari balik pepohonan, wajahnya penuh luka, tetapi matanya tetap menyala dengan tekad.

"Nadia! Pak Hasan!" serunya sambil berlari ke arah mereka.

Nadia langsung melompat turun dari truk untuk membantunya. "Lo berhasil?"

Raka mengangguk sambil tersenyum lelah. "Mereka nggak akan ngikutin kita lagi. Tapi kita harus cepat pergi."

Mereka berdua naik ke truk, dan pria tua itu segera menancapkan gas, membawa mereka menjauh dari hutan menuju jalan raya yang mulai ramai oleh kendaraan pagi.

Di dalam truk, suasana hening sejenak. Ketiganya duduk berdampingan, saling menatap dengan kelelahan tetapi juga rasa lega. Mereka tahu bahwa perjuangan belum selesai, tetapi setidaknya untuk saat ini, mereka berhasil keluar dari ancaman terdekat.

"Ini belum selesai," kata Pak Hasan, memecah keheningan.

"Kita masih harus bawa bukti ini ke tempat yang aman. Jakarta mungkin penuh dengan musuh, tapi di sana juga ada harapan."

Raka menatap keluar jendela, melihat matahari yang mulai terbit. Sinar lembutnya menerobos kaca truk, seolah memberi penghiburan setelah malam yang panjang. "Apa pun yang terjadi, gue nggak akan biarin mereka menang. Kita bakal terus maju."

Nadia menyandarkan kepala ke dinding truk, mencoba mengatur napas yang masih tersengal.

“Tapi kita harus hati-hati. Semakin dekat kita ke Jakarta, semakin besar juga resikonya. Mereka nggak akan berhenti ngejar kita, Raka.”

Raka mengangguk. “Gue tahu. Tapi kita udah sejauh ini. Lo lihat tadi? Mereka kalah karena kita nggak nyerah. Ini soal waktu, dan gue yakin kita bakal menang kalau kita bertahan.”

Sopir truk itu, yang sejak tadi diam mendengarkan, akhirnya bersuara.

“Kalian anak-anak muda yang kuat. Gue nggak tahu apa yang kalian hadapi, tapi semangat kayak gitu yang bikin hidup ini berarti. Selama kalian percaya sama diri sendiri, nggak ada yang nggak mungkin.”

Kata-kata sederhana itu membuat ketiganya saling menatap. Mereka tahu perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan. Tapi untuk pertama kalinya sejak malam itu, ada rasa percaya bahwa mereka tidak sendiri, bahwa ada orang-orang yang mungkin tanpa mereka sadari, akan menjadi bagian dari perjuangan ini.

Di tengah deru truk yang terus melaju, matahari kini sepenuhnya terbit, menyinari jalanan yang mulai ramai. Bagi Raka, Nadia, dan Pak Hasan, ini adalah awal dari babak baru, sebuah pertempuran terakhir di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah tidur. Mereka tahu, di sana ada kegelapan yang menunggu, tetapi juga ada cahaya harapan yang masih harus mereka kejar.

Truk melaju kencang di jalanan yang mulai dipenuhi aktivitas pagi. Raka, Nadia, dan Pak Hasan duduk dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri, namun hati mereka terikat pada satu tujuan: menyelesaikan misi ini, apapun risikonya.

Sesekali, Raka melirik ke luar jendela, matanya tajam mengamati setiap kendaraan yang lewat. Ia tahu, meski mereka sudah keluar dari hutan, ancaman belum sepenuhnya hilang. Jakarta, kota yang penuh harapan dan bahaya, akan menjadi medan terakhir mereka.

"Jalan ini... mengingatkan gue sama masa lalu," kata Pak Hasan, suaranya serak, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

"Dulu, waktu gue masih muda, gue sering lewat sini. Tapi nggak pernah bayangin bakal sampai di titik ini."

Nadia menoleh pada Pak Hasan, memberi tatapan lembut. "Pak, kita semua ngalamin hal yang nggak terduga. Kita bisa melewati ini bareng-bareng."

Pak Hasan tersenyum tipis, matanya terlihat lelah, namun penuh semangat.

"Lo bener, Nak. Kadang, jalan kita nggak jelas, tapi selama kita terus maju, kita pasti sampai."

Raka menatap jauh ke depan, matanya berbinar dengan tekad.

"Kita harus sampai ke sana, Pak. Kita nggak boleh berhenti sebelum kebenaran terungkap."

Di kejauhan, terlihat gedung-gedung tinggi Jakarta mulai mendekat. Lampu-lampu kota bersinar dalam gelapnya pagi, seperti tanda bahwa dunia mereka akan segera berubah. Ada bahaya yang menanti, tetapi di balik itu, ada kesempatan untuk mengubah segalanya.

Raka menarik napas dalam-dalam. "Ini baru permulaan."

Di jalan yang penuh tantangan ini, mereka tahu tidak ada yang pasti. Namun, satu hal yang pasti: mereka akan berjuang sampai akhir, karena meskipun Jakarta penuh dengan musuh dan rintangan, mereka tahu bahwa kebenaran yang mereka bawa adalah senjata yang tak akan pernah bisa dihentikan.

1
Irhamul Fikri
kenapa bisa kesel kak
ig : mcg_me
gw pernah hidup kayak gini di bawah orang, yg anehnya dlu gw malah bangga.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)
ig : mcg_me
semangat Arka
Irhamul Fikri: wah pastinya dong, nanti di bagian ke 2 lebih seru lagi kak
total 1 replies
Aditya Ramdhan22
wow mantap suhu,lanjutkan huu thor
Irhamul Fikri: jangan lupa follow
Irhamul Fikri: siap abngku
total 2 replies
Putri Yais
Ceritanya ringan dengan bahasa yang mudah dipahami.
Irhamul Fikri: jangan lupa follow
Irhamul Fikri: Terima kasih kak
total 2 replies
Aditya Warman
berbelit belit ceritanya
Aditya Warman
Tolong dong tor,jangan mengulang ngulang kalimat yg itu² aja ..boring bacanya...jakarta memang keras...jakarta memang keras...
Heulwen
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Uchiha Itachi
Bikin saya penasaran terus
Zuzaki Noroga
Jadi nagih!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!