Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Seiring waktu, hubungan antara Gavin dan Dasha semakin hangat. Mereka tetap menjaga profesionalisme di kantor, tetapi di luar itu, Gavin mulai menunjukkan perhatiannya dengan cara-cara yang sederhana namun bermakna. Ia sering mengundang Dasha untuk makan siang atau sekadar mengobrol santai setelah jam kerja. Dasha, yang awalnya ragu, perlahan mulai merasa nyaman dengan perhatian Gavin.
Nathan, anak Gavin, menjadi salah satu alasan hubungan mereka semakin erat. Setiap kali Dasha datang berkunjung, Nathan selalu bersemangat. Ia sering meminta Dasha membacakannya buku cerita atau bermain dengannya di taman. Melihat kebahagiaan Nathan saat bersama Dasha membuat Gavin semakin yakin bahwa Dasha bukan hanya wanita luar biasa, tetapi juga sosok yang membawa kehangatan ke dalam rumahnya.
Suatu hari, di akhir pekan yang cerah, Gavin mengajak Dasha dan Nathan untuk piknik di taman kota. Mereka menggelar tikar di bawah pohon rindang, menikmati sandwich buatan Gavin dan jus yang dibawa Dasha. Nathan berlari-lari riang, sementara Gavin dan Dasha duduk berdampingan, menikmati suasana damai.
"Terima kasih sudah datang hari ini," kata Gavin, memandang Dasha dengan tatapan tulus.
"Justru aku yang harus berterima kasih. Sudah lama aku tidak merasa sesantai ini," jawab Dasha sambil tersenyum.
Gavin terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Dasha, aku tahu mungkin ini terdengar mendadak. Tapi aku merasa hidupku berubah sejak kamu hadir, bukan hanya di kantor, tapi juga di rumah. Aku ingin kamu tahu bahwa aku serius dengan perasaanku. Aku ingin hubungan kita lebih dari sekadar kolega atau teman."
Dasha terkejut, meski jauh di dalam hatinya, ia tahu momen ini akan tiba. Ia menghela napas panjang, mencoba menyusun kata-kata. "Gavin, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi hubungan seperti ini tidak mudah, terutama karena posisi kita di kantor. Aku hanya ingin memastikan kita benar-benar siap untuk ini."
Gavin mengangguk, menghormati kekhawatiran Dasha. "Aku paham, dan aku tidak ingin terburu-buru. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku bersedia melakukan apa pun untuk membuat ini berhasil. Kamu penting bagiku, Dasha."
Percakapan itu menjadi titik awal hubungan mereka yang lebih serius. Meski belum banyak yang tahu, Gavin dan Dasha mulai saling mendukung dalam kehidupan pribadi mereka. Gavin sering menemani Dasha di acara keluarga atau sekadar menghabiskan waktu bersamanya di akhir pekan. Sebaliknya, Dasha selalu ada untuk mendukung Gavin, baik di kantor maupun sebagai ayah tunggal yang terkadang merasa kewalahan.
Beberapa bulan kemudian, saat makan malam di restoran favorit mereka, Gavin mengambil langkah besar. Dengan Nathan yang duduk di antara mereka, ia menggenggam tangan Dasha dan berkata, "Dasha, aku tahu ini belum lama, tapi aku yakin dengan apa yang aku rasakan. Aku ingin kita menjadi keluarga. Nathan sangat menyayangimu, dan aku juga. Maukah kamu menjadi bagian dari hidup kami selamanya?"
Dasha menatap Gavin, lalu Nathan yang tersenyum lebar di sampingnya. Hatinya terasa hangat, dan tanpa ragu, ia menjawab, "Ya, Gavin. Aku mau."
Malam itu, langkah mereka menuju masa depan baru dimulai. Tidak hanya sebagai dua orang yang saling mencintai, tetapi juga sebagai sebuah keluarga yang akan saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.
.
.
.
.
Setelah Dasha menerima lamaran Gavin, langkah selanjutnya adalah memperkenalkannya kepada kedua orang tua Gavin. Gavin tahu betul bahwa keluarganya sangat berarti baginya, dan dukungan mereka terhadap hubungannya dengan Dasha menjadi hal yang penting.
Suatu Sabtu sore, Gavin mengundang Dasha untuk makan malam bersama di rumah orang tuanya. Sebelum mereka berangkat, Gavin sempat terlihat sedikit gugup.
"Kamu yakin nggak apa-apa?" tanyanya sambil membantu Dasha mengenakan mantelnya.
Dasha tersenyum menenangkan. "Gavin, aku akan baik-baik saja. Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri, kan?"
Gavin mengangguk, meskipun masih ada sedikit kekhawatiran. "Iya, tapi aku ingin mereka melihat betapa luar biasanya kamu. Aku tahu mereka pasti menyukaimu."
Saat mereka tiba di rumah besar bergaya kolonial milik orang tua Gavin, Dasha merasa sedikit terintimidasi oleh suasana mewahnya. Namun, begitu pintu terbuka dan ibu Gavin, Linda, menyambut mereka dengan hangat, rasa gugup itu perlahan menghilang.
"Oh, kamu pasti Dasha! Gavin banyak bercerita tentangmu," kata Linda sambil memeluk Dasha ringan.
"Ibu, jangan buat Dasha malu," Gavin menggoda, membuat mereka semua tertawa kecil.
Ayah Gavin, Richard, juga menyambut dengan ramah. "Selamat datang, Dasha. Kami senang akhirnya bisa bertemu denganmu."
Makan malam disajikan di ruang makan besar dengan chandelier menggantung di atas meja. Suasananya akrab dan santai, dengan Linda yang terus mengajukan pertanyaan ringan kepada Dasha.
"Jadi, Dasha, Gavin bilang kamu juga seorang pekerja keras. Apa yang membuatmu memutuskan untuk bekerja di bidang operasional?" tanya Linda sambil menuangkan minuman.
Dasha menjawab dengan tenang, "Saya suka tantangan dan melihat bagaimana proses kecil bisa menciptakan sesuatu yang besar. Tapi yang lebih penting, saya merasa bahwa pekerjaan saya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, seperti yang kami lakukan di perusahaan Gavin."
Richard mengangguk, tampak terkesan. "Jawaban yang bagus. Saya suka cara berpikirmu."
Selama percakapan berlangsung, Linda dan Richard semakin menyukai kepribadian Dasha yang hangat namun percaya diri. Linda bahkan sempat bercanda, "Sepertinya Gavin akhirnya menemukan seseorang yang bisa mengimbangi energinya, ya? Dasha, kamu punya kesabaran yang luar biasa."
Dasha hanya tersenyum, sementara Gavin tertawa kecil. "Benar, Bu. Dasha punya cara untuk membuatku tetap waras di tengah semua kesibukan."
Setelah makan malam, mereka pindah ke ruang keluarga untuk minum teh. Nathan, yang juga ikut ke pertemuan itu, bermain dengan Linda sementara Richard mengobrol lebih dalam dengan Dasha.
"Kamu tahu, Gavin bukan tipe orang yang mudah membawa seseorang ke rumah. Jadi fakta bahwa dia membawa kamu ke sini berarti kamu sangat istimewa baginya," kata Richard serius.
Dasha merasa terharu mendengar itu. "Gavin juga sangat berarti bagi saya. Dia dan Nathan adalah orang-orang yang saya ingin habiskan waktu saya bersama."
Richard tersenyum puas. "Itu jawaban yang saya ingin dengar."
Saat malam berakhir, Linda memeluk Dasha lagi sebelum mereka pergi. "Dasha, kami sangat senang Gavin menemukanmu. Kami benar-benar menantikan untuk mengenalmu lebih jauh."
Dalam perjalanan pulang, Gavin menatap Dasha dengan senyum lega. "Aku bilang apa? Mereka menyukaimu."
Dasha tertawa kecil. "Mereka orang-orang yang luar biasa. Aku merasa diterima dengan sangat baik."
Gavin meraih tangan Dasha, menggenggamnya erat. "Aku tahu ini langkah besar, tapi aku merasa semakin yakin bahwa kita benar-benar cocok. Dan aku senang mereka bisa melihat betapa luar biasanya kamu."
Dengan kehangatan keluarga Gavin yang mendukung hubungan mereka, Dasha merasa bahwa hidupnya semakin lengkap. Ia tahu, langkah menuju masa depan bersama Gavin kini terasa semakin nyata dan penuh harapan.