Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
bab 7 si bawel kembali
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke kamar Bagas setelah Ara membuka tirai dengan cekatan. Suara riuh dari bawah semakin memecahkan keheningan pagi, disertai suara mesin mobil Ayah Bagas yang sudah dinyalakan. Mama Bagas dan Bi Asih sibuk di dapur, mempersiapkan sarapan yang hangat.
"Bagas! Bangun, Gas!" Ara berteriak sambil mengetuk pintu kamar Bagas tanpa henti.
Bagas mengerang, setengah sadar. "Iya, iya... kenapa sih, Ra, pagi-pagi udah berisik banget," gumamnya sambil membuka pintu dengan mata setengah tertutup.
Ara tersenyum, menarik tangan Bagas. "Ayo, keluar sebentar," katanya penuh semangat.
"Ngapain, Ra? Ini masih pagi banget, gue masih ngantuk," protes Bagas sambil mengusap matanya.
Tanpa menjawab, Ara membuka lebar tirai jendela besar di lantai dua, membiarkan sinar matahari pagi menyinari ruangan. Bagas menyipitkan mata, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya terang itu.
"Ara, serius, ada apa sih? Lo ngajak gue ke sini cuma buat lihat matahari?" tanya Bagas dengan nada setengah kesal.
"Iya, nikmati sinar matahari pagi, Gas. Kata nenek, sinar pagi bagus buat kesehatan," jawab Ara sambil tersenyum kecil.
Bagas menghela napas, tapi tetap berdiri di sana. "Oke, kalau kata nenek begitu," ujarnya, masih setengah mengantuk.
Ara pergi sebentar dan kembali dengan sebotol air. "Nih, minum. Jangan lupa, minum setelah bangun tidur itu penting," kata Ara sambil menyodorkan botol itu.
Bagas mengambil botol tersebut dan menatap Ara. "Lo pagi-pagi udah rapi dan wangi banget. Mau ke mana sih, Ra?"
Ara menunduk sejenak. "Ara mau pulang ke Bandung, Gas. Besok udah mulai sekolah lagi, jadi nggak bisa lama-lama di sini. Nenek juga butuh Ara," ucapnya dengan nada sendu.
"Oh... iya, hati-hati, ya," jawab Bagas, merasa sedikit kehilangan. "Lo bawel, dari dulu bawel lo nggak pernah hilang," tambahnya sambil tersenyum kecil.
Ara tertawa pelan. "Bawel itu tanda sayang, Gas. Jangan lupa jaga kesehatan, pola makan, dan latihanmu. Jadi atlet itu butuh komitmen, bahkan dari hal kecil," kata Ara menasehati.
"Siap, Ny. Motivator," balas Bagas sambil mengerling. Setelah sekitar 20 menit berjemur, Bagas beranjak. "Gue mandi dulu, Ra."
Ara menatap Bagas yang sudah melangkah pergi. "Heh, mau ke mana, Gas?"
"Mandi lah. Mau ikut?" jawab Bagas dengan nada menggoda.
"Dih, kamu tuh ya, nggak sopan!" Ara memukul lengan Bagas pelan, lalu tersenyum.
Bagas tertawa dan melangkah masuk ke kamarnya. "Ya udah, gue mau siap-siap sekolah. Ntar gue telat."
Pagi itu, pukul 06.30, Bagas keluar dari kamarnya dengan seragam sekolah rapi, rambut ditata gaya kekinian, dan tas menggantung di bahu. Langkahnya mantap menuruni tangga lantai dua menuju ruang makan. Di meja, roti bakar dengan selai sudah siap menanti. Tanpa ragu, Bagas mengambilnya dan menggigitnya sembari menyesap susu hangat yang tersedia.
Sambil berjalan ke garasi, roti masih terselip di mulutnya. Ia tidak lupa berpamitan pada Bi Asih yang sedang sibuk di dapur, lalu memeluk dan mencium pipi kiri dan kanan sang mama. "Salam untuk Ara ya, Ma," katanya dengan senyum sambil berlalu.
Begitu tiba di garasi, Bagas memencet tombol pembuka kunci mobil sport berwarna hijau pudar miliknya. Ia memasukkan tas dan buku-bukunya ke dalam mobil, lalu memanaskan mesin. Sambil menunggu, ia sempat bercanda dengan Pak Dadang, penjaga rumah mereka yang setia.
Pandangan Bagas terpaku sejenak pada rumah besar yang terasa akan lebih sepi tanpa kehadiran Ara. Suara ceria dan tingkahnya yang selalu berisik akan membuat suasana berbeda. Ara sudah lebih dulu pergi, diantar oleh ayah Bagas menuju stasiun kereta untuk kembali ke Bandung.
Bagas mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan di WhatsApp.
"Heh, nona kecil, hati-hati di jalan. Jaga kesehatan dan salam buat nenek dan keluarga di Bandung. Kalau gue libur, gue bakal nyusul ke sana. Siap-siap aja, ya, pembalasan gue. 😆🤣"
Setelah menekan tombol kirim, Bagas tersenyum kecil dan memutar kunci mobilnya, siap melaju ke sekolah. Hari baru telah dimulai, tapi pikirannya masih terbayang canda tawa Ara yang kini menuju kota lain.
Bagas mengencangkan sabuk pengamannya dan menyalakan mesin mobil sport hijaunya yang mengeluarkan suara halus namun bertenaga. Ia menginjak pedal gas perlahan dan melambaikan tangan ke arah rumah sambil membunyikan klakson sebagai tanda ia telah berangkat. Dari kejauhan, Bi Asih melambaikan tangan dan tersenyum hangat.
Mobil Bagas melaju di jalanan Jakarta yang mulai ramai. Hiruk-pikuk kendaraan dan suara klakson memenuhi udara, namun dia tetap tenang di belakang kemudi. Di dalam mobil, lagu-lagu hip-hop favoritnya diputar, membuatnya lebih bersemangat menjalani hari. Pemandangan kota dengan gedung-gedung pencakar langit dan lampu-lampu lalu lintas menambah nuansa sibuk pagi itu.
Setelah sekitar 30 menit, Bagas tiba di halaman sekolahnya yang megah. Ia memarkirkan mobil sportnya dengan gaya, membuat beberapa siswa yang kebetulan berada di dekat parkiran melirik kagum. Pintu mobil terbuka ke arah atas, menciptakan efek dramatis yang langsung menyita perhatian.
Bagas turun sambil melepas kacamata hitamnya dengan satu tangan, mengulas senyum tipis di wajahnya. Ia menarik tasnya dari bangku belakang dan mengayunkannya ke bahu dengan gerakan santai. Penampilannya yang keren dan modis membuat mata para siswa dan siswi tertuju padanya, beberapa bahkan berbisik-bisik di antara mereka.
"Heh, liat si Bagas deh, keren banget!" bisik salah satu siswi dengan mata berbinar.
"Udah kayak aktor di film-film, gak ada yang ngalahin gayanya," balas temannya sambil tertawa kecil.
Bagas, yang sudah terbiasa dengan perhatian semacam itu, hanya mengangguk sekilas ke arah teman-temannya yang menyapa. Ia melangkah menuju tangga menuju kelasnya di lantai dua, sementara beberapa siswa lain yang berpapasan dengannya memberikan senyuman dan sapaan.
"Yo, Gas! Datang pagi amat, tumben," seru Dion, salah satu temannya, dari ujung koridor.
Bagas membalas dengan anggukan sambil menyeringai. "Iya nih, mau ambil tempat parkir strategis," jawabnya bercanda, disambut gelak tawa Dion.
Semua mata terus memandangnya hingga ia menghilang di balik pintu kelas, meninggalkan kesan yang selalu diingat banyak orang di sekolah itu.
Bagas memasuki ruang kelasnya, menghela napas ringan saat melihat kursi yang masih banyak kosong. Ia melangkah menuju kursinya di barisan tengah, tempat yang menurutnya pas—tidak terlalu mencolok, namun tetap dapat melihat papan tulis dengan jelas. Ia meletakkan tasnya di atas meja dan mulai mengeluarkan buku-buku pelajaran.
Setelah memastikan semua yang ia butuhkan sudah siap, Bagas menyelipkan earphone ke telinganya, menghidupkan musik favoritnya, dan mulai membaca materi di buku. Alunan musik yang tenang mengalir di telinganya, membantu menenangkan pikirannya yang masih diselimuti ketegangan sebagai siswa baru.
Belum lama ia tenggelam dalam bacaannya, sebuah suara menyapanya.
"Hey, Bagas, asyik banget kayaknya. Dengerin apa tuh?" suara itu datang dari Dion, yang tiba-tiba duduk di sebelahnya dengan senyum lebar.
Bagas melepas salah satu earphone-nya, memandang Dion sambil tersenyum kecil. "Oh, cuma playlist biasa aja, buat nungguin guru datang. Kenapa, Lo mau denger juga?"
Dion menggeleng sambil tertawa kecil. "Nggak, gue lebih penasaran sama lagu-lagu yang bikin Lo jadi pinter begini. Udah seminggu di sini, tapi Lo udah kayak veteran."
Bagas tertawa tipis, sedikit mengusap lehernya yang terasa kaku. "Ah, lebay Lo, gue masih belajar adaptasi. Tapi, beneran deh, sekolah ini beda banget sama SMP gue dulu."
"Ya, namanya juga Pelita Bangsa, sekolah buat anak-anak pintar dan tajir," jawab Dion dengan nada bercanda. Ia menepuk bahu Bagas ringan. "Santai aja, Gas. Lo bakal betah di sini, apalagi kalo lo udah kenal sama yang lain."
Sebelum Bagas sempat menjawab, suara ketukan pintu membuat mereka berdua menoleh. Guru mata pelajaran pertama pagi itu sudah tiba, membuat suasana kelas menjadi hening seketika. Bagas menyimpan earphone-nya dan menarik napas panjang, siap menghadapi pelajaran pertama di hari itu.