Dua orang Kakak beradik dari keluarga konglomerat dengan sifat yang berbeda, sama-sama jatuh cinta pada seorang wanita.
Satria yang diam-diam telah menjalin cinta dengan Aurora terpaksa menelan kenyataan pahit saat mengetahui wanita yang dinikahi Kakaknya Saga adalah kekasih hatinya, Aurora.
Satria yang salah paham pada Aurora, jadi sakit hati dan frustasi. Cintanya pada Aurora berubah menjadi dendam dan kebencian.
Satria melakukan banyak hal untuk merusak rumah tangga kakak dan mantan kekasihnya itu.
Hingga akhirnya, Saga meninggal karna penyakit kelainan jantung yang ia derita dari kecil.
Satria malah menuduh, Aurora lah peyebab kematian sang Kakak.
Rasa benci yang mendalam, membuat Satria terus menerus menyiksa batin Aurora.
Apakah Aurora sanggup bertahan dengan ujaran kebencian Satria? Sementara Aurora masih sangat mencintai Satria.
Jangan lupa mampir ke karya author yang lain ya, 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afriyeni Official, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEBAHAGIAAN YANG TIADA
Kesedihan hati Aurora membawa tubuhnya perlahan menyusuri taman belakang. Jika Saga berangkat kerja, ia sering kali duduk menyendiri di taman itu menumpahkan perasaannya sembari menikmati kesunyian tempat yang cukup indah dengan bunga-bunga peliharaan Nilam sang ibu mertua.
Aurora duduk disebuah bangku yang ada di taman dan memperhatikan sekeliling taman yang selalu terawat baik karena Nilam sangat hobi memelihara bunga.
Tak sengaja, mata Aurora tertuju pada pintu besi yang selalu tertutup rapat dan agak tersembunyi di taman itu. Aurora sudah lama penasaran ingin melihat apa yang ada dibalik pintu besi itu.
"Apakah itu gudang? Setahuku gudang ada diujung sana. Ruangan apa itu? Apa itu jalan keluar menuju belakang rumah?" berbagai pertanyaan timbul dihati Aurora.
Dia sangat penasaran. Andai itu memang pintu keluar masuk lewat belakang, mungkin ia bisa sedikit bebas meluangkan waktu menikmati udara luar rumah. Begitulah yang ada dalam benaknya.
Perlahan Aurora bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati pintu besi itu. Kedua tangannya menempel di dinding pintu dan mendorong pintu itu pelan.
Krieet...,
Bunyi derit pintu yang telah berkarat terdengar saat pintu itu terbuka. Aurora mengintip sejenak ke dalam ruangan yang ada dibalik pintu.
Deretan berbagai alat musik tampak berjejer rapi terpajang di setiap sudut ruangan itu. Aurora terpukau, rasa penasaran nya makin tinggi. Dengan berani ia menyelinap masuk ke dalam ruangan itu secara mengendap endap.
Ummph...,!
Sepasang tangan kekar tiba-tiba menyergap dan membekap mulutnya dari belakang. Aurora tersentak kaget. Raut wajahnya sontak pucat pasi.
Sesosok pria yang tak ia lihat wujudnya memeluk tubuhnya dengan kuat. Aurora coba meronta tapi tak bisa. Pelukan pria itu begitu kuat hingga aroma parfum yang dikenakan pria itu bisa tercium jelas olehnya. Aurora mengenali aroma parfum itu.
"Jangan bersuara, mbok Tina bisa tahu kalau kau ada disini." bisik pria itu dibelakang telinganya.
Aurora mengenali suara itu. Jemarinya perlahan menggenggam tangan kekar yang membekap mulutnya. Perlahan tangan pria itu mengendur dan melepaskan bekapan tangannya dari mulut Aurora.
"Kapan kau datang? Kenapa sembunyi disini?" tanya Aurora tanpa berusaha lagi melepaskan diri dari pelukan Satria yang mendekapnya erat.
Ada rasa rindu bercampur kebahagiaan dalam hati Aurora saat menyadari siapa yang memeluknya dari belakang.
"Kemarin, saat kau nekat pulang meninggalkanku sendirian di motel, aku kembali kesini. Aku tak bisa langsung memberi tahu kepulanganku pada semua orang. Aku tak mau menambah kekacauan yang lebih parah." ucap Satria pelan.
Hati Satria teramat senang, karena bisa berduaan dengan Aurora saat itu. Kedua tangannya begitu erat memeluk Aurora, seolah tak ingin melepaskannya lagi.
"Kau sudah menimbulkan kekacauan dari awal. Kau sudah merusak pesta pernikahan kakak mu dan juga membawa kabur istrinya. Apalagi yang kau rencana kan sekarang? Kenapa kau kembali kerumah ini?" perkataan Aurora diiringi pertanyaan yang seolah mendakwanya membuat Satria sedikit gusar.
Satria melepaskan pelukannya dan memutar tubuh Aurora hingga menghadap kearahnya. Tatap mata Satria yang sendu dan penuh binar kerinduan membuat Aurora luluh lantak.
Satria menelan salivanya menahan perasaan sakit yang menusuk hatinya bertubi-tubi. Begitu juga dengan Aurora, ia tak kuasa memandang Satria yang menatapnya dengan perasaan sedih. Wajahnya pun jatuh tertunduk menatap kearah samping menyembunyikan genangan air mata yang mulai luruh di pipinya.
"Kau wanita tak punya hati Aura. Tidakkah kau mengerti sedikitpun, mengapa aku melakukan itu semua? Aku hanya ingin membawamu pergi dari neraka ini. Aku ingin hidup bahagia bersamamu." Satria menjelaskan maksud hatinya pada Aurora.
Aurora tersenyum getir mendengar ucapan Satria.
"Bahagia? bahagia mana yang kau maksud? Apa kau pikir dengan hidup kabur bersamamu aku bisa hidup bahagia selamanya? Itu bullshit! Aku, Saga dan kau takkan pernah bahagia Satria. Aku ingin bebas dari kalian berdua. Kau dan Saga telah membuat hidupku makin tersiksa. Kalian berdua egois!" jerit Aurora pelan dengan nada terdengar pilu.
Tenggorokan Satria terasa kering mendengar perkataan Aurora. Dia pikir, rasa cintanya yang besar pada Aurora, cukup membuat diri Aurora bahagia jika Aurora mau kabur dengannya. Nyatanya tidak, Aurora malah memilih ingin pergi dari hidupnya.
"Apa kau tidak mencintaiku lagi Aura?" Sorot mata Satria perlahan mengendur makin redup dan sendu.
Aurora menarik nafas panjang, bibirnya tampak bergetar saat menatap Satria dengan air mata yang jatuh berderai.
"Aku akan mengikis cinta itu. Mungkin sangat berat, tapi aku harus melakukannya." jawab Aurora mereguk air ludahnya pahit.
Satria tercenung, ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari bibir Aurora. Tubuhnya sedikit limbung dan terhempas duduk diatas sofa yang ada dalam ruangan itu. Satria tertunduk kesal meremas rambut dengan kedua tangannya.
Rasa kalut dan gundah bercampur aduk dalam dadanya. Satria meraup wajahnya kasar dan mendadak bangkit dari duduknya lalu menyeret tangan Aurora dengan kasar keluar dari ruangan itu.
"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku Satria. Tanganku sakit!" Aurora menjerit sakit tatkala tangannya yang melepuh terkena siraman teh panas tersentuh oleh tangan Satria.
Pegangan tangan Satria perlahan mengendur dan terlepas. Matanya menatap luka melepuh di tangan Aurora dengan tatapan penuh selidik.
"Kenapa tanganmu bisa terluka?" Satria memandang Aurora penasaran.
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir perempuan yang ia cintai itu. Aurora tak menjawab seolah ada sesuatu yang ia ia sembunyikan. Hal itu membuat Satria makin marah, Saga tak merawat Aurora dengan baik.
Tangan kekar Satria pun berganti memegang tangan Aurora yang satu lagi. Emosinya membuncah seketika.
"Kau harus bercerai dengan Saga hari ini juga. Aku akan menikahi mu, setelah itu kita pergi dari rumah ini. Aku tak peduli walau mama dan papa membuang ku. Yang pasti kau harus ikut denganku!" ujar Satria lalu menarik Aurora dengan paksa menuju pintu dapur yang terhubung kedalam rumah kediaman Wiratama.
"Tidak, aku tidak mau! Lepaskan! Lepaskan tanganmu Satria. Kau sudah gila! Itu bukan jalan yang terbaik!" Aurora meronta mencoba melepaskan pegangan tangan Satria.
"Lalu apa yang menurutmu baik heh? Menghancurkan dirimu sendiri? Menghancurkan perasaanku? Apa kau pikir itu terbaik? Aku tak akan mengalah demi menjaga hati orang lain Aura? Mama, papa dan Saga, mereka tak mempedulikan perasaanku. Aku tak mau kehilangan cintamu. Aku cuma punya kamu' Aura! Kenapa kita tidak bersatu untuk membina kebahagiaan kita? Kau dan aku juga layak untuk bahagia!" ujar Satria penuh kemarahan.
Suara Satria yang terdengar sedikit keras berbicara, mengejutkan mbok Tina yang tengah membereskan dapur setelah habis memasak untuk makan siang.
Dahinya berkerut heran mendengar suara Satria yang terdengar samar-samar hinggap ditelinga nya.
"Kenapa tuan muda ngomel-ngomel sendiri? Apa dia sedang telpon-telponan dengan orang? Bahaya kalau suaranya kedengaran sama nyonya besar. Nyonya bisa tahu kalau tuan muda sembunyi dibelakang." batin mbok Tina berkecamuk.
Ia bergegas membersihkan tangannya di wastafel kemudian berjalan cepat menuju pintu belakang. Baru saja mbok Tina ingin keluar, ia nyaris ber bentrokan dengan Aurora yang mendadak dari luar pintu.
"Eits! Copot, eh pot pot copot! copot tung jantungku copot!" mbok Tina yang agak sedikit latah, langsung kaget melihat Aurora yang juga terkejut melihat sosok pembantu itu di depan pintu.
"Maaf mbok, jadi ngagetin mbok." ujar Aurora menahan geli dalam hati melihat reaksi latah mbok Tina yang jarang terjadi.
"Untung si mbok gak jantungan kayak tuan Saga. Kalo gak, bisa mampus si mbok!" rungutnya kesal dengan bibir monyong lima senti.
Aurora hanya tersenyum tipis.
"Iya mbok, maaf." jawab Aurora singkat sambil berlalu melewati tubuh mbok Tina yang sedikit menghalangi tubuhnya untuk masuk kedalam rumah.
"Nyonya darimana? Kok tau-tau muncul dari belakang?" tanya mbok Tina dengan pandangan curiga.
"Oh..., aku habis nyiram bunga-bunga di taman belakang." jawab Aurora asal berbohong.
"Bunga apaan disiram jam segini? Udah kesiangan juga, entar bunga-bunga nyonya besar jadi layu, siapa yang tanggung jawab? Aku gak mau loh, disalahkan nyonya besar." ujar mbok Tina heran.
Aurora tak mempedulikan perkataan mbok Tina. Dia terus berjalan melewati dapur menuju kamarnya. Ia butuh ketenangan. Apa yang baru saja dikatakan Satria jadi beban pikirannya saat ini.
"Perempuan gatal itu pasti bohong! Barusan aku dengar suara tuan muda Satria bicara dibelakang. Jangan-jangan? Ah, tidak mungkin. Mereka kan gak kenal!" pikir mbok Tina mencoba menghilangkan prasangka buruk yang bergayut di dadanya.
.
.
.
BERSAMBUNG
shakila jg sudah masuk team keluarga mental