Lintang Ayu Sasmita merasa terguncang saat dokter mengatakan bahwa kandungannya kering dan akan sulit memiliki anak. Kejadian sepuluh tahun silam kembali menghantui, menghukum dan menghakimi. Sampai hati retak, hancur tak berbentuk, dan bahkan berserak.
Lintang kembali didekap erat oleh keputusasaan. Luka lama yang dipendam, detik itu meledak ibarat gunung yang memuntahkan lavanya.
Mulut-mulut keji lagi-lagi mencaci. Hanya sang suami, Pandu Bimantara, yang setia menjadi pendengar tanpa tapi. Namun, Lintang justru memilih pergi. Sebingkai kisah indah ia semat rapi dalam bilik hati, sampai mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan Tegas dari Pandu
"Ibu tadi ke rumah ya?"
Basa-basi pertama yang Pandu ucapkan setelah sambungan telepon terhubung dengan mertuanya.
"Iya, kenapa? Istrimu ngadu yang aneh-aneh ya?"
"Istriku tidak ngadu, dia malah diam saja kok, Bu. Tapi, aku melihat bekas tamparan di pipinya. Itu Ibu, kan?"
"Salah sendiri Lintang nyerocos nggak jelas. Makanya ya, Pandu, lain kali jangan terlalu dimanja Lintang itu. Jadi ngelunjak. Jadi kurang ajar dia, nggak cuma ke Ibu, tapi ke mamamu juga. Kamu mau kalau mamamu dilawan terus sama istrimu."
Pandu menarik napas panjang. Kemudian memejam dan mengepal. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Ningrum. Bagaimana bisa seorang ibu mengatakan hal itu untuk anaknya sendiri. Di mana hati nuraninya?
"Pandu, Ibu tahu nggak mudah menjadi suami Lintang. Dia sifatnya kayak gitu, egois, susah diatur, aleman. Kamu kalau udah nggak betah, ceraikan saja dia. Nikah sama yang lain. Ibu nggak apa-apa, memang Lintang-nya kayak gitu kok. Dia—"
"Cukup, Bu!" pungkas Pandu dengan setengah membentak. Dia sudah muak dengan setiap kata yang keluar dari mulut Ningrum. Kata yang benar-benar tidak pantas keluar dari mulut seorang ibu.
"Pandu—"
"Sampai kapanpun, aku tidak akan cerai dengan Lintang! Aku mencintai Lintang, Bu. Aku menelepon Ibu sekarang bukan untuk menjelek-jelekkan Lintang, aku justru ingin menegaskan sekali lagi kepada Ibu, jangan pernah menyakiti Lintang lagi! Aku lebih paham bagaimana Lintang, Bu. Dia tidak mungkin ngomong aneh-aneh kalau Ibu sendiri tidak mencacinya. Bu, cukup ya! Jangan berbuat semena-mena lagi pada Lintang. Sekarang dia sudah menjadi istriku, Bu. Yang bertanggung jawab atas hidupnya adalah aku. Yang berhak mengaturnya juga aku. Jadi, Ibu berhentilah ikut campur! Aku bisa mendidik istriku sendiri."
Pandu kembali memotong ucapan Ningrum. Suaranya masih sama tegas. Bahkan, intonasi malah lebih tinggi dari sebelumnya.
"Pandu, apa-apaan sih kamu. Ibu ini cuma mau mendidik Lintang biar dia jadi istri yang benar. Kalau nggak becus gitu, Ibu malu sama kamu, sama Jeng Wenda."
"Bagiku Lintang adalah wanita terbaik, Bu. Jadi tidak alasan bagi Ibu untuk malu padaku," sahut Pandu.
"Tapi, Jeng Wenda itu—"
"Ini rumah tanggaku, Bu. Urusannya hanya denganku. Jadi, jangan bawa-bawa Mama untuk mencari alasan," potong Pandu untuk yang kesekian kalinya.
Mendengar itu, Ningrum berdecak kesal.
"Kamu ini, sama-sama susah dibilangi. Lintang itu nggak bisa punya anak. Gimana masa depan pernikahanmu nanti kalau tetap mempertahankan dia? Kalaupun kamu nggak mau cerai, ya minimal nikah lagi, biar kamu itu bisa punya keturunan."
Pandu tertawa. "Kadang aku berpikir, Ibu ini benar-benar ibu kandungnya Lintang atau bukan. Kenapa sekali pun tidak pernah bicara yang baik tentang Lintang. Seakan-akan dia itu adalah seburuk-buruknya wanita. Mohon maaf, Bu, sikap Ibu selama ini sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang ibu."
"Kamu semakin keterlaluan ya, Pandu. Ibu ini mengusahakan yang terbaik untuk kamu. Karena gimanapun juga, Ibu ini berteman baik dengan Jeng Wenda."
"Apa yang terbaik untukku, aku yang paling tahu. Bukan Ibu atau Mama. Asal Ibu tahu, bagiku anak bukan standar kebahagiaan. Ada anak atau tidak, tak ada pengaruhnya dalam kebahagiaan rumah tangga. Justru kalau Ibu mau tahu, kebahagiaan tertinggiku adalah hidup damai dengan Lintang. Damai tanpa ada campur tangan Ibu atau Mama." Pandu tak punya segan lagi. Untuk apa, Ningrum sendiri tak pernah segan dengannya.
Lantas sebelum Ningrum kembali bicara, Pandu melanjutkan kalimatnya.
"Tolong ya, Bu, ke depannya jangan sakiti Lintang lagi. Jangan ikut campur rumah tangga kami lagi. Aku adalah suami sahnya Lintang, di mata agama maupun negara. Sekarang yang paling punya hak atas Lintang adalah aku. Jadi, kalau Ibu tetap semena-mena, aku juga bisa bertindak jauh. Sekali lagi Ibu menampar Lintang, aku tidak akan segan untuk membawanya ke ranah hukum."
Ningrum berdecak kesal. Lalu menggerutu tak jelas, "Kenapa sih kamu itu sangat membela Lintang?"
"Karena kalau bukan aku, siapa lagi yang membelanya, Bu? Bahkan, Ibu sendiri yang melahirkannya juga tidak pernah membela, kan?"
"Kamu belum tahu aja siapa Lintang. Kamu akan menyesal kalau udah tahu, Pandu!"
"Siapapun Lintang, aku akan tetap mencintai dan membelanya. Sekarang, esok, nanti, dan sampai aku mati," sahut Pandu tanpa ada keraguan sedikit pun.
Ningrum tertawa, menertawakan sikap Pandu yang menurutnya sangat bodoh. Sementara Pandu sudah muak mendengarnya. Maka tanpa basa-basi lagi, ia akhiri sambungan telepon tersebut secara sepihak.
"Aku akan tetap menjagamu, Sayang. Selama aku masih hidup, nggak akan kubiarkan siapapun menyakitimu," batin Pandu sambil melangkah mendatangi istrinya lagi.
Bersambung...
semoga aja ada orang yang merekam dan melaporkan ke pihak kepolisian dan mengusut tuntas kebenaran nya itu dan orang2 yang terlibat ditangkap serta dihukum
Konspirasi apa lg tuh antara Alby dan Utari , Rayana sekarang kamu tahu siapa suami dan bapak mu