Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.
Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1_Perkenalan
Seorang gadis berusia 19 tahun, bernama lengkap Anzela Rasvatham, karakter tenang yang dimilikinya, tanpa banyak kata langsung bertindak sesuka hati bila menurut pandangan logikanya, yang dikerjakannya itu benar. Anz kini sedang menempuh pendidikan jurusan hukum di salah satu Universitas ternama di Daerah Franzkot.
Anz baru saja selesai mengikuti mata kuliah, beralih pergi melangkahkan kaki menuju kantin. Anz duduk tenang, memakai earphone, di sudut ruang kantin. Forum chattingan bernama WhatsApp terus menerus berbunyi notifikasi, chat masuk dari sahabat virtual Anz yang bernama Marcell Albertoprazz, berdomisili di daerah Braband “cantik, sedang kegiatan apa akhir-akhir ini?” Tanya Albert.
“Kegiatanku selain untuk kebutuhan, ya kuliah.”
“Kebutuhan apa yang kamu maksudkan? Bukannya semua kebutuhan hidupmu orangtuamu yang tanggung.”
“Iya emang!” tersenyum sendiri untuk beberapa saat, kemudian kembali menetralkan lagi raut wajah datarnya “kebutuhan seperti makan, minum, dan tidur,” ketiknya lagi.
“Itu bukan lagi kebutuhan, emang sudah keharusan. Oh iya, ngomong-ngomong, ini ada pemberitahuan dari oomku, katanya ada lowongan kerja sebagai penjaga tahanan di pulau Albrataz.”
“Dimana itu?”
“Di salah satu pulau negara kita tercinta inilah, sayangku,” menekan kata diujung kalimat “pulau ini jarang ada pengunjung karena mayoritas pengetahuan masyarakat disana agak sedikit dangkal.”
Anz mengangguk mengerti “okey,” balas chatnya lagi “aku mau ikut daftar ah.”
“Ngapain? Bahaya loh.”
“Emang gue pikiran, penasaran aku sama kedangkalan pengetahuan mereka dan bahaya apa yang sayang maksudkan, emang sebahaya apasih? Aku ikut ya.”
“Gak ya Anz, aku takut. Nyesel aku kasih tahu kamu. Jangan nekat kamu ya! Jangan ikutan.”
“Kayaknya pernyataan jangan ikutan itu lebih cocok ditujukan untukmu, Al, karena aku tetap akan ikut pendaftaran. Oh ya, seleksinya dimana?”
“Pusat daerah masing-masing domisili.”
“Koutanya berapa per daerah.”
“Satu daerah satu kouta tersedia.”
“Okey, Al. Semoga kita bertemu di lokasi penempatan. Dan tolong kirimkan link pendaftaran.”
Bunyi notifikasi hp Anz kembali berbunyi yang terakhir kalinya sebagai penutupan dari chattingan mereka berdua. Anz membaca segenap persyaratan yang terlabuhkan dalam forum pendaftaran yang kemudian Anz segera menyiapkan berkas administrasi, melegalisir ijazah, legalisir identitas, membuat surat pernyataan belum pernah jadi terpidana, terdakwa ataupun tersangka dan yang terakhir Anz mendatangi RS untuk mengecek kesehatannya.
Rumah petak berlantai lima, bersusun berderet bagaikan kosan, yang terdiri dari dua baris berhadapan dengan jumlah keseluruhan dua puluh rumah. Setiap satu lantai dari rumah tersebut terdiri dari satu kamar dan satu penghuni. Rumah yang ditempati Anz urutan pertama, nomor kamar lima. Lantai terbawah dijadikan sebagai tempat penyimpan kendaraa beroda dua dan empat. Desain rumah di setiap kamar terdapat satu balkon kecil, seukuran satu setengah meter kali tiga meter. Pemandangan kota terlihat jelas dari atas balkon rumah itu. Anz berdiri, termenung jauh memikirkan tindakan atas pilihan yang ia ambil ini, sudah benar atau belum?
Dari arah barat, matahari terbenam perlahan, sinar cahaya meredup seiring dengan matahari yang tenggelam. Aku belum sepenuhnya yakin atas pilihan yang telah aku mulai, monolog Anz. Berdiam diri, memandangi jalanan yang dipenuhi kendaraan roda dua, empat, dan bahkan lebih. Bulan mulai menyinari perlahan dan bintang ikut serta merayakan dengan kehadirannya, menyinarkan sedikit cahaya yang ada padanya. Waktu terus berlalu, dari second ke detik, dari detik ke menit, dan dari menit menuju jam, entah sudah berapa jam Anz berdiri termenung memandangi bulan dan jalanan bergantian.
Keterlelapan mulai menguasai kesadaran Anz, Anz beranjak berdiri dan pergi, masuk kamar kembali Anz, merebahkan badan dan memejamkan mata ia lakukan sampai beberapa jam lamanya.
Pengaplotan berkas administrasi persyaratan Anz lakukan dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian. Tersubmit. Itulah tulisan terakhir yang Anz lihat dari layar monitor laptop pribadinya yang kemudian pejaman mata singkat dan hembusan napas panjang Anz lakukan. Dentingan suara hp, membuat Anz membuka kembali matanya dan melihat notifikasi masuk atas nama Marcell Albertoprazz “kamu tidak nekat kan, sayang, Anz? Tempat itu bukanlah tempat yang bisa kau datangi untuk main-main.”
“Jika kamu tidak berani ikut, jangan menghalangiku,” balas Anz dengan menetakan salah satu tombol diantara dua tombol yang terletak di body samping hp nya dan meletakkan kembali hp nya itu diatas meja nakas kecil yang berada di hadapan Anz.
Penjadwalan waktu batas pengaplotan berkas administrasi tertera. Tahap selanjutnya adalah pengantaran berkas ke pusat daerah yang telah ditentukan dan dilanjutkan dengan penyeleksian pengetahuan dan kesehatan setiap individu yang telah memenuhi syarat administrasi.
Beragam tes penyeleksian telah Anz lakukan, dimulai dari administrasi, tes wawasan, karakter dan jasmani.
Segenap usaha dan upaya Anz lakukan dan akhirnya Anz dinyatakan lulus ke tahap pendidikan yang akan diadakan secara gabungan antara keseluruhan daerah. Satu daerah tersedia satu kouta dan keseluruhannya terdapat tiga puluh empat daerah yang artinya yang lulus terpilih untuk ikut serta pendidikan adalah tiga puluh empat orang.
Dari masing-masing daerah peserta yang dinyatakan lulus mengikuti pendidikan akan diantar langsung oleh satu persatu panitia masing-masing ke tempat pendidikan tersebut.
...***...
Perjalanan yang Anz tempuh sudah hampir sembilan puluh persen perjalanan, sekitar tujuh puluh lima kilo meter lagi perjalan harus ditempuh. Jalanan tanah lengket, pinggiran jurang dengan kedalaman yang tidak bisa mencapai pandangan mata. Pohon-pohon raksasa tumbuh liar, harimau, gajah, singa, terlihat berkeliaran di area jalan “pak, kita tidak akan mati disinikan?” Tanya Anz pada panitia yang sedang menyetir mobil dengan tenang itu.
Panitia yang bertugas itu hanya terkekeh pelan dan menjawab ringan “kalau kita mati, palingan kita akan jadi makanan mereka.”
Anz menelan ludahnya susah setelah mendengar penuturan panitianya itu, yang kemudian pandangan mata Anz beralih melihat binatang-binatang buas yang berkeliaran bebas, ini bukan mereka yang memasuki kawasan kami, tapi kami yang memasuki kawasan mereka, monolog Anz Lagi.
Entah sudah berapa jam terlewatinya waktu, Anz memilih memejamkan mata, tidak sanggup menahan takut melihat binatang buas, jalanan terjal, dan panitia yang bersamannya yang terlihat lebih menyeramkan dari binatang tersebut.
“Bangun,” ucap seorang laki-laki bertubuh kekar, janggut panjang, badan terbalut baju ketat berwarna hitam dan senjata besar tersangkut di bahunya.
Mata terpejam, perlahan terbuka “sudah sampai ya?” Anz turun dari mobil jeep rubicoom tersebut dan melihat hamparan lautan luas, suara deruan ombak yang begitu terjal, kebiruan warna air laut yang begitu menghanyutkan dan keberadaan mereka kini berada diatas tebing batu bagaikan karang yang tertancap dalam, dikedalaman tengah lautan. “Pak, ini tempat pendidikan atau tempat piknik hiburan?”
“Terserah kamu mau menganggap apa? Pendidikan atau hiburan!” melangkah pergi menuju tenda-tenda hijau bagaikan camping yang telah terpasang, dan tersusun rapi, berderet tiga puluh empat tenda.