Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Baru
Aku terduduk di kamar yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya lampu tidur yang remang. Udara terasa begitu sunyi, meski ada suara samar dari luar rumah, entah itu obrolan tetangga atau suara kendaraan yang melintas. Namun, semua itu seperti tidak nyata bagiku. Pikiranku hanya tertuju pada satu hal: bayangan Salma bersanding dengan orang lain.
Aku tahu aku tidak punya hak untuk marah atau merasa dikhianati. Hubungan kami sudah berakhir beberapa bulan lalu. Tapi tetap saja, rasanya seperti dunia runtuh. Bayangan senyumnya, suara tawanya, semua masih terekam jelas di pikiranku. Kini, dia telah melangkah ke kehidupan barunya, meninggalkan aku yang masih terjebak di tempat yang sama.
Selama empat tahun terakhir, hidupku terasa seperti robot. Bangun pagi, bekerja, pulang, tidur, dan mengulang rutinitas yang sama. Setelah lulus sekolah, aku memilih bekerja daripada melanjutkan kuliah. Alasannya? Aku selalu bilang, “Nanti saja,” atau, “Tidak punya waktu.” Tapi kenyataannya, aku takut. Takut gagal, takut tidak bisa menanggung biaya, dan takut mengecewakan Ibu.
Pintu kamar diketuk pelan, membuyarkan lamunanku. Bayu, sahabatku sejak kecil, masuk tanpa menunggu izin. “Aku masuk, ya,” katanya sambil membawa dua cangkir kopi. “Kau nggak bakal nolak kopi buatan aku, kan?”
Aku menghela napas, menerima cangkir itu tanpa berkata apa-apa. Dia duduk di kursi, memandangiku dengan tatapan penuh perhatian.
“Kau nggak bisa begini terus, Lan,” ucapnya. Suaranya terdengar lembut tapi tegas. “Aku tahu ini berat buatmu. Tapi hidup jangan berhenti di Salma.”
“Aku cuma… nggak tahu harus ngapain sekarang,” jawabku lirih. “Empat tahun aku hanya kerja tanpa tujuan yang jelas. Sekarang malah tambah hancur.”
Bayu mengangguk pelan. “Makanya aku ke sini. Aku cuma mau bilang satu hal: bangkit, Lan. Ini saatnya kamu memikirkan dirimu sendiri. Kamu harus punya mimpi lagi.”
Aku menatapnya, setengah bingung, setengah tertantang. “Mimpi? Aku sudah terlalu ketinggalan zaman, Bayu. Apa gunanya sekarang?”
“Belum terlambat,” tegas Bayu. “Dengar, kamu selalu bilang pengen kuliah, kan? Tapi kamu terus tunda-tunda. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Dengan pengalaman kerja empat tahun, kamu lebih siap dan matang dibanding mereka yang baru lulus sekolah.”
Aku terdiam. Kata-katanya seperti tamparan keras. Bayu benar. Aku selalu mencari alasan untuk tidak melangkah.
“Kalau aku daftar kuliah sekarang, apa nggak aneh? Umurku sudah lebih tua dari kebanyakan pelajar,” tanyaku ragu.
“Siapa yang peduli soal umur? Banyak kok orang yang baru kuliah di usia 25, 30, bahkan lebih tua. Yang penting kamu mau belajar. Jangan biarkan rasa takutmu menghalangi langkahmu.”
Aku menyesap kopi. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, aku merasa ada secercah harapan. “Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanyaku.
Bayu tersenyum lebar. “Aku yakin. Aku nggak mau lihat sahabatku terus-menerus terpuruk. Salma mungkin sudah pergi, tapi hidupmu belum selesai.”
Keesokan harinya, aku mulai mencari informasi tentang pendaftaran kuliah. Rasanya seperti memulai perjalanan ke tempat yang asing. Tangan ini gemetar saat mengetik kata kunci “pendaftaran kuliah” di ponselku. Tapi aku tahu, aku harus melangkah.
Siang harinya, aku memutuskan berbicara dengan Ibu. Dia sedang duduk di ruang tamu, mengipasi badannya dengan kipas tangan. “Bu, Alan mau ngomong sesuatu,” ucapku ragu.
“Kenapa, Nak? Ngomong apa? Biasanya tinggal ngomong aja,” jawab Ibu tanpa menoleh.
Aku menarik napas panjang. “Alan mau kuliah, Bu.”
Ibu menatapku, terlihat sedikit terkejut. “Ibu nggak melarang kamu kuliah. Tapi kamu tahu, kan, penghasilan Ibu dari jualan serabi nggak cukup untuk biayain kuliahmu.”
Aku tersenyum, mencoba menenangkan Ibu. “Bu, Alan punya tabungan dari kerja selama empat tahun. Lagipula, Bayu bilang ada beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu. Kita cuma perlu bayar sebagian biayanya.”
Ibu terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Kalau memang begitu, kejarlah mimpimu, Nak.”
Hatiku melompat kegirangan. “Terima kasih, Bu,” kataku sambil memeluknya erat.
“Tapi ingat,” tambah Ibu sambil tertawa kecil, “walaupun kamu kuliah, kamu tetap harus bantuin Ibu jualan.”
Aku ikut tertawa. “Pasti, Bu. Alan nggak akan lupa bantu Ibu.”
Hari-hari berikutnya penuh dengan kesibukan. Aku mengurus dokumen, mengisi formulir pendaftaran, dan bahkan mencoba mengikuti seleksi beasiswa. Awalnya, aku merasa gugup setiap kali harus bertemu orang baru. Namun, perlahan, aku mulai terbiasa.
Pada hari pengumuman, aku duduk di depan laptop dengan jantung berdebar. Setelah memasukkan nomor pendaftaran, layar menunjukkan tulisan “Selamat! Anda diterima.” Air mataku jatuh. Aku langsung memeluk Ibu dan memberi tahu kabar bahagia itu.
Saat berdiri di depan cermin, aku melihat bayangan diriku yang berbeda. Bukan lagi Alan yang terjebak masa lalu, melainkan Alan yang siap menghadapi tantangan. Hidup memang tidak pernah mudah, tetapi aku belajar bahwa setiap langkah kecil yang kita ambil menuju mimpi adalah kemenangan besar. Salma mungkin sudah pergi, tetapi aku tahu sekarang: kebahagiaan sejati bukan datang dari orang lain, melainkan dari diriku sendiri.
Malam itu, suasana kota Cilacap terasa hangat meski angin malam berembus lembut. Jalanan penuh dengan kendaraan, namun suasana di sudut kecil angkringan favorit kami tetap tenang. Lampu-lampu jalan dan aroma khas nasi kucing bercampur dengan suara alunan musik akustik dari pengamen di kejauhan.
Aku sengaja mengajak Bayu ke sini. Angkringan ini adalah tempat kami sering nongkrong saat remaja, berbagi cerita dan tawa. Namun kali ini, aku ingin melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar nongkrong.
“Bay, pesan dulu, aku yang traktir,” kataku sambil tersenyum.
Bayu menatapku dengan alis terangkat. “Wah, traktiran. Ada apa nih? Jangan-jangan habis dapat bonus?”
Aku hanya tertawa kecil, lalu memesan dua porsi nasi kucing dengan lauk sate telur puyuh dan tempe bacem. Tidak lupa dua gelas teh jahe hangat untuk menghangatkan suasana.
Setelah makanan tiba dan kami mulai makan, aku membuka percakapan yang sudah lama ingin kusampaikan.
“Bay,” panggilku pelan. “Hm?” Bayu menjawab sambil mengunyah sate. “Sebenarnya aku ngajak kamu ke sini karena aku mau bilang sesuatu,” lanjutku.
Bayu menghentikan kunyahannya, menatapku dengan bingung. “Apa tuh? Jangan bikin tegang gini, Lan.”
Aku tersenyum, berusaha menghilangkan rasa canggung. “Aku cuma mau bilang terima kasih.” “Terima kasih? Buat apa?” tanyanya, tampak tulus.
“Buat semuanya, Bay. Buat kopi-kopi yang kamu bawakan saat aku terpuruk, buat semangat yang kamu kasih, dan buat tamparan keras waktu kamu nyuruh aku bangkit. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu apa aku bisa sampai di titik ini.”
Bayu terdiam. Wajahnya mulai berubah, seolah-olah dia sedang berusaha menahan sesuatu. “Ah, Lan, nggak perlu lebay gitu lah. Aku cuma ngasih saran. Semua yang kamu capai sekarang itu karena usaha kamu sendiri,” katanya, mencoba merendah.
“Tapi tetap aja, Bay. Kalau bukan kamu yang dorong aku buat mulai, aku nggak bakal punya keberanian untuk daftar kuliah. Aku nggak bakal punya keberanian buat mimpi lagi. Jadi, sekali lagi, makasih banyak, Bay.”
Bayu akhirnya tersenyum lebar. “Ah, kamu jadi bikin aku terharu, Lan. Tapi serius, aku bangga banget sama kamu. Kamu buktiin kalau kamu bisa bangkit, dan aku tahu kamu bakal jadi orang sukses.”
Kami melanjutkan makan sambil berbincang tentang banyak hal. Bayu, seperti biasa, selalu punya cerita-cerita lucu yang membuatku tertawa hingga lupa waktu. Namun, malam itu terasa lebih bermakna karena aku akhirnya bisa mengungkapkan rasa terima kasih yang sudah lama ingin kusampaikan.
Sebelum kami pulang, aku menatap Bayu dan berkata, “Bay, kapan pun kamu butuh bantuan, aku akan selalu ada buat kamu, seperti kamu ada buat aku.”
Bayu menepuk pundakku sambil tertawa. “Itu udah tugas sahabat, Lan. Jangan lupa, kapan-kapan traktir lagi, ya!”
Kami tertawa bersama, meninggalkan angkringan dengan perasaan hangat. Malam itu, aku merasa lebih dari sekadar bersyukur; aku merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bayu.