Rasa bersalah yang menjerumuskan Evelin, atlet renang kecil untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seluruh keluarganya. Kesepian, kosong dan buntu. Dia tidak mengerti kenapa hanya dia yang di selamatkan oleh tuhan saat kecelakaan itu.
Namun, sebuah cahaya kehidupan kembali terlihat, saat sosok pria dewasa meraih kerah bajunya dan menyadarkan dia bahwa mengakhiri hidup bukanlah jalan untuk sebuah masalah.
"Kau harus memperlihatkan pada keluargamu, bahwa kau bisa sukses dengan usahamu sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesal menyelamatkanmu dari kematian." Reinhard Gunner.
Semenjak munculnya Gunner, Evelin terus menggali jati dirinya sebagai seorang perenang. Dia tidak pernah putus asa untuk mencari Gunner, sampai dirinya tumbuh dewasa dan mereka kembali di pertemukan. Namun, apa pertemuan itu mengharukan seperti sebuah reuni, atau sangat mengejutkan karena kebenaran bahwa Gunner ternyata tidak sebaik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elsa safitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lampion harapan
Evelin tidak membuat tanggapan. Dia hanya menyipitkan matanya dan kembali pada pemandangan di hadapan mereka. Dia menghela nafas panjang lalu mendongak. Matanya yang memantulkan cahaya tampak begitu lembut dan cantik.
"Tidak perlu khawatir, aku tidak memiliki perasaan seperti itu."
Gunner tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis ke arah lampion yang terus mengudara ke langit. Senyum itu menyembunyikan sesuatu, namun Evelin tidak dapat menangkapnya. Dia merasa kehilangan kata-kata dan terjebak dalam kebingungan.
Lampion itu berkelip-kelip seperti bintang-bintang kecil, mempesona dan tak terjangkau. Evelin merasa sedang menatap ke jurang yang dalam, penuh misteri dan keraguan. Dia tidak tahu apa yang tersembunyi di balik senyum Gunner.
"Lihat, lampion itu sangat indah! Apa maknanya bagimu?"
Gunner tiba-tiba bertanya. Pertanyaan itu terdengar berbeda dari sebelumnya. Tentu saja dia mengatakan itu untuk mengubah topik pembicaraan.
"Makna apa?"
Saat Evelin balik bertanya, Gunner mengeluarkan lampion yang terlipat dari sakunya. Lampion itu berwarna merah muda, tanpa motif di permukaannya. Gunner mengembangkan lampion itu dengan hati-hati, sehingga cahaya lembut memancar dari dalam. Dengan pena kecil, dia menuliskan kata-kata yang tak terucapkan di balik kertas lampion: "Semoga Evelin bisa bergabung dalam Olimpiade tahun ini." Harapan itu terbentuk, terbungkus dalam cahaya lembut yang memancar dari tulisannya dan membuat Evelin terdiam takjub.
Gunner menyerahkan Lampion itu dengan gerakan lembut, seperti menyerahkan sebagian dari dirinya. Pena kecil itu terlihat kecil di samping lampion, namun berisi kekuatan untuk menciptakan harapan. Evelin menerima lampion itu dan membaca harapan yang di tulis oleh Gunner. Dia menatap Gunner dan mata mereka bertemu dalam kesadaran yang tak terucapkan.
"Buatlah harapanmu."
Evelin tidak membuat tanggapan. Dia mulai menulis harapannya di tempat yang berbeda. Ketika Gunner penasaran dan ingin melihat, Evelin membalikkan lampion, menyembunyikan tulisannya dengan cepat.
Gunner mengalah, membiarkan Evelin menyembunyikan harapannya. Dia tersenyum dan mundur. Dengan pena yang masih bergetar, dia menuliskan harapannya: "Semoga Gunner mendapat kebahagiaan, di setiap tahun dan setiap saat."
Evelin menatap tulisannya dengan mata berkilauan karena cahaya dari lampion yang memantul. Kemudian, dia menyerahkan Lampion itu kembali pada Gunner. Dia berharap harapannya dapat terkabul. Gunner menerima lampion itu dengan senyum misterius, melepaskan lampion ke udara dan menatapnya dari kejauhan.
"Semoga harapanmu dapat terkabul, Evelin. Aku akan membantu mendoakannya."
"Terimakasih."
mereka menikmati pemandangan lampion yang terus meningkat, menabur sebuah cahaya di atas awan dengan setiap harapan yang berbeda. Di tahun baru ini, mereka harap dapat menjalani hidup dengan lebih baik.
***
Musim dingin membawa keheningan dan keindahan. Para mahasiswa menikmati liburan panjang mereka dengan bermain salju dan menonton film. Namun, Evelin memiliki visi yang berbeda. Dengan semangat tak terhenti, dia memutuskan untuk berenang di tengah udara dingin, menantang dirinya untuk lebih kuat dan tangguh.
Dia meminta izin pada pelatih untuk menggunakan kolam di dalam kampus. Awalnya pelatih tersebut tidak mengizinkan karena kampus tutup saat libur musim dingin. Namun, ketika Evelin memaksa untuk meminta kunci menuju kolam renang, pelatih tersebut memberikannya dengan syarat Evelin tidak boleh terlalu memaksakan diri.
Kolam renang yang tenang dan jernih menjadi latar belakang yang sempurna bagi Evelin. Dia meluncur ke permukaan air dengan anggun dan terkontrol. Tubuhnya ramping dan kuat, terlihat dari setiap gerakan yang dia buat. Cahaya lampu kolam memantulkan kilauan air, menciptakan efek visual yang menakjubkan. Setiap gerakan tangan dan kaki Evelin menciptakan gelombang kecil yang memperkuat kesan dinamis. Wajahnya tenang, fokus pada gerakan renang yang harmonis.
Saat Evelin mendayuh kaki dan tangan dengan nyaman di kolam renang yang tenang, sebuah siluet tiba-tiba muncul di luar jendela. Dia menduga seseorang mungkin ingin bergabung berenang. Namun, ternyata itu adalah Fanny yang kembali untuk mengambil tas yang terlupakan sebelum liburan.
Terkejut dengan kehadiran Fanny yang tiba-tiba, Evelin menapakkan kakinya ke lantai dan mata mereka bertemu dalam jarak yang cukup jauh. Fanny memberinya senyuman seolah-olah sudah mengetahui bahwa Evelin akan berada di sana untuk berenang di musim dingin.
"Senior?"
"Evelin, kau sangat gigih. Sebenarnya apa alasanmu berenang selama ini? Apa karena kau memang menyukainya, atau karena kau begitu terobsesi untuk mengikuti Olimpiade?"
Evelin terpaku, mempertanyakan alasan di balik ketekunannya. Apakah untuk menghilangkan rasa sakit yang terus menghantui atau mencari kebahagiaan yang pernah hilang? Evelin mencari jawaban dalam kesunyian kolam, namun suara keraguan terus mengganggu.
Dengan suara yang penuh perasaan, Evelin menjawab, "Aku berenang karena aku benar-benar menyukainya. Ini membuatku bahagia dan bebas."
Fanny terlihat terkejut, tetapi memilih untuk tidak berkomentar. Dia membalas senyuman Evelin, lalu berbalik dan berjalan menjauh. Di ambang pintu, dia menoleh dan berkata, "Jangan memaksakan diri, Evelin. Kesehatanmu lebih penting."
Evelin mengangguk lembut, memandangi punggung Fanny yang semakin menjauh. Dia melanjutkan berenang dengan gerakan yang harmonis. Ketika langit mulai berubah menjadi ungu keemasan, dia keluar dari kolam dan memutuskan untuk segera pulang.
Saat Evelin melewati bar, sebuah kenangan yang awalnya terkubur kini muncul secara bertahap. Dia teringat malam itu, saat mabuk dan menatap bulan dengan pandangan kabur, merasa kehilangan kendali. Lalu, Gunner muncul secara tiba-tiba, menyelamatkannya dari keadaan memalukan dan mengangkatnya dari tanah.
Evelin mencari ingatan lain, namun tidak menemukannya. Yang teringat hanya saat dia memeluk Gunner, mengeluh kedinginan, sementara Gunner memakai jaket tebal sendirian. Rasa malu dan kesadaran akan kenangan itu membuat Evelin berjongkok di tengah jalan. Dia berjongkok, menutup mata dan berusaha menghapus ingatan itu dari pikirannya. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya hanya ilusi, namun kenangan itu tetap terpatri.
Sebuah kelompok pria, termasuk Gunner tiba-tiba keluar dari bar dan menemukan seorang gadis berjongkok di tengah jalan, wajahnya tertunduk dan tidak bergerak. Gunner mendekati dengan langkah pelan, "Hei, nona. Apa kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?"
Sentuhan Gunner di pundaknya membuat evelin mendongak, menemukan mata Gunner yang terkejut dan bingung. Wajahnya memerah karena malu, dan dia merasakan detak jantung yang cepat.
"Evelin?"